Mongabay.co.id

Menyoal Perubahan Ratusan Hektar Cagar Alam Kawah Ijen jadi Taman Wisata Alam

Pegunungan Ijen dengan panorama menakjubkan ini juga rumah beragam satwa. Perubahan ratusan hektar dari cagar alam ke taman wisata alam, membuat berbagai kalangan khawatir. Foto: Jhon R Tambunan

 

 

 

 

“Kami selama ini selalu patuh kepada pemerintah. Pemerintah nyuruh kami jaga jarak, kami jaga jarak. Pemerintah nyuruh kami pakai masker, kami pun pakai masker. Tapi untuk masalah Cagar Alam Ijen, mohon maaf kalau kali ini kami melawan. Kami menolak kalau Cagar Alam Ijen diubah-ubah luasannya,” kata Rana Dwi Arisandi, dalam orasi kala aksi di Kantor Bupati Banyuwangi, 24 Agustus lalu.

Rana juru bicara Meneng Budina Masjid (MBM), salah satu elemen Aliansi Peduli Ijen (API). Komunitas ini beranggotakan pemuda-pemudi Desa Ketapang, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi. Aksi mereka ini protes perubahan fungsi ratusan hektar Cagar Alam Ijen jadi taman wisata alam.

Adnan, koordinator aksi API menyebut, proses surat keputusan tidak melibatkan masyarakat langsung. Penerbitan SK Menteri LHK ini, katanya, tanpa melibatkan masyarakat yang bakal menerima dampak dari perubahan status itu.

Beberapa pekan ini berbagai elemen masyarakat di Jawa Timur, aksi dan protes atas penurunan fungsi ratusan hektar kawasan Cagar Alam Ijen, menjadi Taman Wisata Alam.

Data dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur (BBKSDA), kawasan hutan Pegunungan Ijen sudah sejak lama sebagai cagar alam. Dasar hukumnya, Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 46 tertangal 9 Oktober 1920 Stbl No. 736 dengan luas 2.560 hektar.

 

Protes Aliansi Peduli Ijen (API) penurunan fungsi Cagar Alam Ijen ke Taman WIsata Alam. Foto: API

 

Pada 10 Desember 1981 melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 10017, sebagian dari CA Kawah Ijen ini jadi Taman Wisata Alam (TWA) Kawah Ijen seluas 92 hektar.

Data terbaru, melalui Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 318 tertanggal 30 Juli 2020, mengubah 214, 12 hektar Cagar Alam Kawah Ijen Merapi Ungup-ungup jadi TWA. Cagar alam tersisa 2.253,88 hektar dan TWA makin luas, 306,12 hektar.

Defit Ismail, Koordinator Forum Komunikasi Mahasiswa dan Masyarakat (Forkomm) Banyuwangi, prihatin penurunan fungsi cagar alam ini.

“Miris sekali, demi memenuhi hasrat pariwisata, pemerintah menurunkan fungsi kawasan.TA dari 92 hektar jadi 306,12 hektar. Itu bukanlah luasan yang sedikit,” katanya.

Berdasarkan UU No. 5/1990 pasal 1 ayat (10), cagar alam merupakan suaka alam yang karena keadaan alam mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistem atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangan berlangsung secara alami.

 

Kawah Ijen. Foto: Jhon R Tambunan

 

Idealnya, kata Defit, agar ekologi pulau terjaga dan seimbang, 30% dari luasan pulau harus sebagai hutan, terutama berstatus kawasan konservasi atau lindung. Keberadaan kawasan hutan terlindungi ini, terlebih di Pulau Jawa dengan luasan hutan minim, karena mengemban fungsi antara lain, rumah terakhir satwa. Ia juga resapan air yang menjamin kesinambungan keperluan air penduduk Pulau Jawa maupun pangan karena pertanian perlu keberlanjutan pasokan air.

Data Forest Watch Indonesia (FWI) 2006 mencatat, luas hutan P. Jawa tinggal 11%. Pada Agustus 2016, data Departemen Hukum Lingkungan, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai penyelenggara Forum Akademisi untuk Reposisi Tata Kelola Hutan Jawa, luas hutan Jawa tinggal 3 juta hektar atau sekitar 4,3%.

Dengan sisa hutan segini, Jawa harus menyangga kebutuhan pangan, air, dan oksigen sekitar 4.600 desa.

“Sayangnya, kondisi ini disikapi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan jauh dari harapan. Susutnya hutan di Jawa semestinya disikapi upaya menjaga kawasan cagar alam tersisa, justru sebaliknya.” Lewat keputusan KLHK justru mempermudah alih fungsi kawasan suaka alam.

 

Panorama alam Ijen. Foto: Jhon R Tambunan

 

Dia menduga, penurunan status ini ada kaitan dengan kepentingan investasi pariwisata. Dia bilang, sulit tak menghubungkan perluasan TWA Ijen Merapi Ungup-Ungup ini dengan rencana pembangunan cable car (kereta gantung).

Selain berada di bawah bayang-bayang kepentingan investasi parawisata, katanya, Ijen juga berada dalam ancaman eksplorasi proyek panas bumi milik PT Medco Cahaya Geothermal (MCG) seluas 62.620 hektar.

ForkoMM menilai, dalam membuat keputusan perluasan TWA, pemerintah hanya mengedepankan sisi profit tanpa mengindahkan ekosistem (flora dan fauna) maupun keselamatan warga dari ancaman bencana alam.

Dalam rilis Forkomm mendesak, antara lain, pertama, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera mencabut Surat Keputusan No: 318 tertanggal 30 Juli 2020. Kedua, mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan membatalkan penurunan fungsi Cagar Alam Kawah Ijen ke TWA.

Ketiga, mendesak Bupati Banyuwangi dan Gubernur Jatim, untuk membatalkan atau menggagalkan proyek pembangunan di Pegunungan Ijen dengan alasan pariwisata yang berpotensi merusak ekosistem. Baik flora dan fauna maupun mengancam keselamatan warga dari bencana alam.

Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) Jawa Timur pun memutuskan tak turut menandatangani berita acara konsultasi publik guna penataan blok Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Kawah Ijen Merapi Ungup-Ungup.

 

Kunjungan wisatawan ke Ijen. Foto: Jhon R Tambunan

 

Ari Restu Kurniawan, Koordinator FK3I Jatim, mengatakan, keputusan FK3I Jatim menolak menandatangani berita acara konsultasi publik. Penolakan itu, katanya, merupakan konsistensi sikap awal FK3I Jatim yang menolak rencana perluasan zona wisata TWA Kawah Ijen Merapi Ungup-Ungup.

Setahun lalu, katanya, FK3I Jatim sudah menolak perluasan TWA Kawah Ijen. Penolakan ini sudah mereka sampaikan pada April 2019.

“Kami sampaikan sikap itu dalam sosialisasi hasil tim terpadu penelitian usulan perubahan fungsi pokok dari cagar alam ke TWA. Keputusan FK3I tak menandatangani berita acara konsultasi publik itu bentuk konsistensi sikap kami ambil sejak setahun lalu,” katanya.

FK3I Jatim tetap memenuhi undangan konsultasi publik agar mengetahui langsung perkembangan rencana perluasan TWA Kawah Ijen. “Kami ingin mengetahui langsung, bukan dari ‘katanya.’ Kami juga ingin tahu apakah masukan-masukan kritis yang pernah disampaikan pada April 2019 itu diakomodasi ataukah hanya dilewatkan begitu saja.”

FK3I, sebagai kader konservasi mitra UPT di bawah KLHK khusus BBKSDA Jawa Timur. “Penolakan ini, sebagai mitra, sikap kami sewajarnya sahabat, berkewajiban mengingatkan, terlebih kepada pihak-pihak yang memang memiliki kewenangan menjaga kelestarian hutan untuk tak justru mengurangi fungsi-fungsi ekologis hutan.”

FK3I Jatim menilai, perluasan TWA Kawah Ijen justru merentankan fungsi Gunung Merapi Ungup-Ungup sebagai cagar alam.

Pada 1999, hutan ini terpilih sebagai kawasan riset harimau Jawa. Riset oleh FK3I Jatim dan KSDA Wilayah III Jember ini, 19 tahun lalu berhasil menyimpulkan, Gunung Raung, Gunung Ijen, Gunung Merapi Ungup-Ungup—Maelang, merupakan koridor ekologi dan lanskap penting bagi harimau Jawa.

Nilai penting itu juga dikuatkan dengan hasil penelitian lembaga penelitian satwa liar dan karnivor, Peduli Karnivor Jawa, pada 2005. Riset itu memperlihatkan, di kawasan itu ada sekitar 65 macan tutul Jawa (Panthera pardus melas). Sekitar 65 macan tutul itu, di areal distribusi Gunung Raung—Gunung Ijen—Gunung Merapi Ungup-Ungup—Maelang.

Dari kajian itu, pada 2014, ada Simposium Nasional Macan Tutul Jawa mengukuhkan lanskap Raung—Gunung Ijen—Gunung Merapi Ungup-Ungup—Maelang sebagai lanskap penting macan tutul Jawa. Simposium ini diselenggarakan Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan—saat ini Ditjen Konservasi dan Sumber Daya dan Ekosistemnya (KSDA), pada Februari 2014 di TSI Cisarua, Bogor.

Nilai penting CA/TWA Kawah Ijen Merapi Ungup-Ungup lain adalah sebagai habitat alami raptor (burung pemangsa) yang dilindungi seperti sikep-madu Asia, elang kelabu, elang ular, elang hitam, elang perut karat, dan elang Jawa.

Bagi kelestarian raptor lindung, bisa dirunut dari momentum pelepasliaran elang Jawa pada Januari 2013. Pemilihan lokasi tentu berdasarkan pada beberapa pertimbangan penting kawasan, sebagai lokasi habituasi dan pelepasliaran elang Jawa.

Perluasan TWA Kawah Ijen, katanya, justru mendegradasi nilai-nilai penting kawasan yang selama ini telah menaunginya.

Gunung Ijen, merupakan gunung berapi  terletak di perbatasan antara  Kabupaten Banyuwangi dan Bondowoso, Jawa Timur dengan ketinggian 2.386 mdpl.

Ia memiliki danau kawah asam terbesar di dunia. Dibentuk gunung api kembar dengan Gunung Merapi yang telah padam. Kawah Ijen merupakan panorama alam Indonesia, dengan kawah asap belerang mengepul.

Di kawah gunung ini terdiri atas endapan batuan sisa letusan. Kawah Ijen merupakan kaldera terbesar di Indonesia. Sampai sekarang, bijih belerang ditambang tradisional warga. Kaldera Ijen juga memiliki potensi panas bumi untuk pembangkit listrik.

Secara geografis, Cagar Alam Kawah Ijen, sebelah utara dibatasi hutan Gunung Remuk, sebelah Barat dibatasi jalan lintas Banyuwangi–Bondowoso. Di sebelah selatan, dibatasi aliran Sungai Banyulinu, dan sebelah timur berbatasan dengan Lereng Gunung Merapi.

Lukman Hakim, Koordinator Laskar Hijau Banyuwangi, menilai, ada kepentingan korporasi besar di balik rencana perluasan TWA Kawah Ijen Merapi Ungup-Ungup.

“Saya yakin itu. Tidak cuma yakin 100%, tetapi 200%. Dua ratus persen saya yakin ada kepentingan korporasi di balik perluasan TWA Kawah Ijen.”

“Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mestinya fokus upaya perbaikan kualitas lingkungan di Pegunungan Ijen. Bukan mengambil kebijakan memperparah kerusakan. Tidak diluaskan saja, sudah ada kerusakan di sekitar Ijen, apalagi jika diluaskan.”

Pada Februari 2020, Laskar Hijau Banyuwangi bersama beberapa warga Desa Bayu Kecamatan Songgon, telusur Sungai Binau. Tidak hanya mengamati hulu dan kawasan mata aia, juga melanjutkan rute penelusuran ke gunung-gunung dekat Kawah Ijen, seperti Kawah Wurung, Gunung Kukusan, hingga Gunung Remuk. Mereka menemukan beberapa titik di kawasan yang rusak, dan ada pula longsoran.

 

 

Keterangan foto utama:  Pegunungan Ijen dengan panorama menakjubkan ini juga rumah beragam satwa. Perubahan ratusan hektar dari cagar alam ke taman wisata alam, membuat berbagai kalangan khawatir. Foto: Jhon R Tambunan

 

Exit mobile version