Mongabay.co.id

Menanti Listrik Mikro Hidro Menerangi Ampiri Lagi

 

 

Basri, lelaki yang sehari-hari mengajar di SD Inpres Ampiri, Desa Bacu-Bacu, Kecamatan Pujananting, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, berdiri di depan sebuah rumah. Meski tidak ada jadwal mengajar, seragam Aparatur Sipil Negara [ASN], lengkap ia kenakan. Selasa [11/8/2020] pagi, saya bertemu dengannya sekitar Pukul 09.15 Wita.

Dusun Ampiri, secara geografis berada di dataran tinggi, di antara pegunungan yang berbatas langsung dengan Kabupaten Soppeng dan Bone. Sebagaimana daerah lain di Indonesia, pandemi COVID-19, membuat proses pembelajaran tatap muka di sekolah ini juga ditiadakan.

“Dilarang pemerintah, jadi kami buat kelompok belajar yang gurunya datang ke rumah-rumah murid. Karena, mau belajar online tidak bisa, jaringan untuk menelpon saja tidak ada apalagi internet,” tuturnya.

Dusun Ampiri merupakan satu dari tiga dusun yang ada di Desa Bacu-Bacu. Untuk sampai ke sini kita harus siap dengan segala risiko. Ini dikarenakan jalurnya cukup ekstrim, mendaki dan belum sepenuhnya jalan diaspal. Butuh sekitar empat jam, menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat dari Makassar.

Tahun 2008 lalu, Ampiri sempat menjadi pembicaraan hangat. Dusun terpencil ini menarik perhatian masyarakat luas setelah berhasil mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro [PLTMH]. Pembuatnya Harianto Albarr, pemuda asli Ampiri yang melihat peluang pemanfaatan aliran sungai desanya untuk menghasilkan listrik.

Sebelumnya, wilayah ini sama sekali tanpa listrik. Kondisi yang sudah berlangsung puluhan tahun. Harianto yang menimbah ilmu di jurusan Kimia, Universitas Negeri Makassar [UNM], memulai proyek kecil-kecilan dengan mengajak temannya yang memang jago soal kelistrikan.

Dengan alat dan biaya seadanya, PLTMH awal yang dibangun Harianto hanya menghasilkan lisrik sebesar 1000 watt. Baru di tahun 2012, dengan bantuan CSR dan Kementerian ESDM, dibangunlah PLTMH yang bisa menghasilkan listrik hingga 100 Kwh. Dengan tenaga sebesar itu, aliran listrik bisa menjangkau seluruh rumah sebanyak 120 unit di Ampiri.

“Akhirnya, semua warga ada yang beli televisi, kulkas, dan peralatan elektronik lain. Termasuk, Sekolah Dasar itu juga pakai listriknya untuk laboratorium, sejumlah pertemuan, dan lainnya yang sungguh bermanfaat,” kenang Basri yang sudah berstatus guru di SD Inpres Ampiri sejak 1983.

 

Hardianto Albarr, perintis PLTMH Ampiri saat memantau mesin turbin di tepi sungai Dusun Ampiri, Desa Bacu-Bacu, Barru. Foto: Dok. Hardianto Albarr

 

Tantangan

Tahun 2018, menjadi akhir beroperasinya roda-roda mesin turbin PLTMH Ampiri. Tak ada lagi listrik yang menerangi rumah-rumah warga. Tak ada pula aktivitas penagihan di akhir bulan. Warga Ampiri kini harus bolak-balik membeli voucher token PLN di kantor Camat Pujananting, di Desa Doi-Doi yang jaraknya sekitar 11 kilometer.

Pilihan menggunakan listrik PLN bukan dikarenakan PLTMH yang dibangun Harianto Albarr itu tak lagi beroperasi. Atau pun mengalami kerusakan parah. Hanya saja, kondisi demikian akibat akumulasi dari ketidakpedulian warga mengelola PLTMH.

Harianto menjelaskan, di awal berdirinya PTLMH, mayoritas warga menganggap kehadirannya sebagai bentuk bantuan murni. Dalam artian, setiap pengelolaan dan pembiayaan adalah beban dari pihak yang membangun.

“Masyarakat kurang sadar, dalam anggapan mereka listrik ini bantuan jadi terserah saya. Misalnya, mereka kan dikenakan biaya beban setiap bulan itu 10 ribu Rupiah, namun itu susah. Mereka lebih senang membeli listrik dari PLN sampai 100-150 ribu Rupiah per bulan,” terang Harianto, dihubungi Senin [17/8/2020].

Senada, Basri yang juga sempat menjadi pengelola PLTMH Ampiri mengakui, tantangan terbesar yang dihadapi adalah mendorong partisipasi warga. Bukan hanya melulu pembayaran, tetapi juga dalam hal pemeliharaan dan pengelolaan bersama.

Basri menerangkan, tak semua warga terlibat perawatan. Semisal, jika ada kerusakan, hanya beberapa saja yang berinisiatif membeli keperluan alat di Kota Barru. Belum lagi proses memasangnya, dibutuhkan waktu berjalan kaki ratusan meter dengan jalur menanjak dan melalui semak-semak, menuju mesin turbin di sungai.

“Untuk iuran, kami sudah beri pilihan semisal dengan beras yang nanti bisa dijual untuk operasional. Pernah juga ditawarkan agar ada yang mengelola, dibayar perbulan, tapi warga juga tidak mau. Saling berharap memperbaiki kalau ada yang rusak,” tuturnya.

Tina, warga yang ditemui di Ampiri mengatakan, ketidakpedulian merawat PLTMH benar adanya. Secara pribadi ia mengaku masih berharap PLTMH yang dikelola Harianto beroperasi kembali.

Perempuan yang membuka warung kebutuhan harian ini mengatakan, dua tahun terakhir ia menggunakan listrik PLN yang biayanya jauh lebih mahal. Belum lagi listrik PLN yang kerap padam akibat kerusakan dan lainnya.

“Lebih murah memang, kalau beroperasi kembali saya tetap mau pakai. Minimal sebagai cadangan bila listrik PLN padam,” katanya.

 

Murid SD Inpres Ampiri saat belajar kelompok di luar sekolah dikarenakan pandemi, Selasa [11/8/2020]. Foto: Dok. Alfian/Tribun Timur

 

Aliran listrik PLN di Dusun Ampiri hadir di akhir 2016 dan beroperasi penuh pada 2017. Manajer Unit Layanan Pelanggan [ULP] Barru, Maskur M Nasir, yang dikonfirmasi Kamis [13/8/2020], tak memungkiri sejumlah wilayah di Kecamatan Pujananting termasuk Desa Bacu-Bacu masih sering terjadi pemadaman, akibat tak maksimalnya fungsi peralatan PLN yang ada.

Hanya saja, khusus Desa Bacu-Bacu, pengelolaannya berada di bawah naungan PLN Pangkep. Akan segera dilakukan perbaikan guna meminimalisir pemadaman. “Bacu-Bacu sudah proses pembangunan,” ucapnya.

Untuk wilayah Kabupaten Barru, menurut data UPL Barru, rasio elektrifikasi sudah mencapa 98 persen. Ditargetkan, akhir 2020 bisa mencapai 99,98 persen wilayah teraliri listrik. Satu tahun terakhir khusus wilayah Kecamatan Pujananting, UPL Barru sudah mengoperasikan listrik di Dusun Ere’ di Desa Jangan-Jangan dan Dusun Bontopayung di Desa Pujanting.

Untuk mencapai target rasio elektrifikasi 99,98 persen, UPL Barru kembali mengusulkan dua Dusun untuk segera dikerjakan. Yaitu Dusun Landange dan Dusun Dengen-Dengen, Desa Pujananting, tahun ini.

“Jarak dari sistem yang ada sekitar 10 kilometer, jadi memang sedikit sulit,” papar Maskur.

 

Pemukiman warga Dusun Ampiri, Desa Bacu-Bacu, Pujananting, Barru, Sulawesi Selatan. Foto: Dok. Alfian/Tribun Timur

 

Butuh kreativitas

Secara umum, Provinsi Sulawesi Selatan [Sulsel] memiliki potensi Energi Baru Terbarukan [EBT] yang bisa dimanfaatkan maksimal untuk kelistrikan. Apalagi, Sulsel merupakan satu dari 16 Provinsi yang disebutkan Dewan Energi Nasional [DEN] sudah memiliki Rencana Umum Energi Daerah [RUED].

Hanya saja, RUED Sulsel masih dalam tahap pengusulan menjadi Peraturan Daerah. Kepala Bidang Energi Baru Terbarukan dan kelistrikan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM] Sulsel, Achmad Habib, menerangkan rancangan Perda RUED sudah masuk dalam badan legislasi daerah.

Berdasarkan pemetaan potensi, Sulsel memiliki berbagai macam EBT yang bisa dimanfaatkan, termasuk Tenaga Mikrohidro yang memiliki daya 5 kW hingga 1 mW. Achmad memaparkan, untuk PLTMH di Sulsel yang dibangun menggunakan APBD melalui Dana Alokasi Khusus [DAK] dan APBN sejak 2011-2019 mencapai 32 unit. Sebanyak 4.300-an rumah memanfaatkan PLTMH yang dibagun ini.

Tapi memasuki 2020, tercatat dari 32 unit itu tidak semuanya beroperasi. Achmad menjelaskan, pada umumnya kehadiran PLTMH ditarget beroperasi selama 5 tahun, sebelum PLN masuk. “Memang seperti itu targetnya, sebelum PLN betul-betul masuk,” katanya, dihubungi Sabtu [15/8/2020].

PLTMH yang dibangun, sesungguhnya bisa beroperasi lebih lama lagi. Hanya saja, Achmad mengungkapkan, permasalahan yang biasa muncul adalah pengelolaan dari pihak yang diserahterimakan tidak maksimal. Pada posisi ini dibutuhkan kreativitas dari pemerintah setempat, mulai kabupaten hingga desa.

“Sekarang itu masalah SDM pengelola. Kita bicara PLTMH dan PLTS yang sudah berjalan lima tahun, setelah itu harusnya pemerintah daerah lebih kreatif atau bisa melalui Bumdes,” terangnya.

Ia mencontohkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya [PLTS] yang dulunya dikelola salah satu Perusahaan Daerah [Perusda] Kabupaten Pangkep. PLTS yang bertenaga 1 MWp itu sempat tak lagi beroperasi, lantaran 600 rumah yang menjadi pelanggannya berkurang telah masuknya PLN.

PLTS yang terletak di Kelurahan Samalewa, Kecamatan Bungoro, itu akhirnya dipindahtangankan atau dikelola PLN. Alhasil PLTS tersebut tak berhenti beroperasi.

Tawaran untuk melanjutkan pengoperasi PLTMH maupun PLTS versi Achmad, tentu tak selamanya berjalan mulus. Harianto yang mengelola PLTMH Ampiri mengatakan, masih pikir-pikir untuk mengusulkan pengelolaan kepada Badan Usaha Milik Desa [Bumdes] Bacu-Bacu ataupun kepada PLN.

Dengan tenaga listrik yang dihasilkan 1 Kw, tentunya hanya bisa mengaliri listrik untuk 120 rumah di Ampiri. Itu pun digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, belum mampu untuk industri.

“Saya pikir masih banyak unit-unit bisnis yang jauh lebih menguntungkan. Listrik ini tidak cukup profit untuk sebuah badan usaha, bentuknya harus ada tanggung jawab sosial,” terangnya.

 

Mesin PLTMH di Dusun Ampiri, Desa Bacu-Bacu, Pujananting, Barru, yang tak lagi beroperasi, Selasa [11/8/2020]. Foto: Dok. Alfian/Tribun Timur

 

Tanggung jawab sosial

Setelah berhasil membangun PLTMH di kampung halamannya, Harianto yang merupakan alumni SMAN 1 Barru, telah membangun juga sekitar 50 PLTMH di wilayah Sulawesi, Maluku, dan Papua.

Sejak 2017 hingga sekarang, beberapa wilayah di Papua atas dasar inisiatifnya, dibangun PLTMH dengan memanfaatkan berbagai bentuk pendanaan. Mulai bantuan CSR, fundraising hingga penggunaan dana desa.

Dengan kesadaran dan tanggung jawab sosial, setelah bertahun keliling Indonesia guna menghadirkan listrik bagi yang membutuhkan, Harianto berinisiatif kembali ke kampung halamannya. Mengoperasikan kembali PLTMH yang merupakan cikal-bakal usaha yang digelutinya sekarang.

“Dalam waktu dekat, saya ada rencana memperbaiki PLTMH di Ampiri. Ada tanggung jawab sosial untuk menerangi kampung halaman. Akan lebih baik bila tanggung jawab itu dilakukan perorang dan semua pengguna listrik,” tuturnya.

Selain menyangkut niatnya, kembali mengoperasikan PLTMH yang ia bangun, Harianto juga mendorong pemuda-pemuda Barru untuk mengambil tanggung jawab sosial serupa. Apapun bentuknya, menurutnya Barru dengan segudang potensi alam dan SDM, bisa didorong menjadi wilayah yang lebih baik lagi.

Dengan harapan ini pula Harianto memproklamirkan program ‘Barru Mendunia’. “Artinya, saya ingin mengajak anak muda di kampung khususnya di Barru, ayo kita berdayakan diri dengan model pemberdayaan. Sebagai anak muda, kita harus bisa memberdayakan potensi diri dan keunggulan daerah,” tutupnya.

 

* Alfian, penulis adalah jurnalis Tribun Timur. Artikel ini didukung Mongabay Indonesia.

 

 

Exit mobile version