Mongabay.co.id

Berebut Air di Lembah Sembalun

 

 

 

Rumah Jayadi menyatu dengan kebun dan tempat pengolahan kopi, persis di jalan utama jalur pendakian ke Gunung Rinjani. Dari halaman rumah, bisa melihat puncak Rinjani. Di lahan seluas 50 are itu, Jayadi bangun satu rumah panggung, satu aula, dapur, satu ruangan tempat mesin roasting, dan ruang meracik kopi. Akhir pekan, rumah ini ramai wisatawan lokal.

Kalau ada yang mau camping, Jayadi akan lebih sibuk. Dia menyiapkan makanan dan menu kopi, juga air bersih. Tandon 1.000 liter harus naik ke dalam pikap. Lalu berangkat ke satu sumur warga, Jayadi menyedot air sumur. Setelah penuh, Jayadi pulang, menyedot air dari dalam tandon dan menyimpan di sumur bawah aula.

Kalau membawa mesin air sendiri, dan lakukan sendiri, Jayadi hanya bayar Rp10.000 per tandon ke pemilik sumber air. Kalau terima jadi, dia harus merogok kocek Rp100.000 untuk per tandon. Jayadi memilih lebih repot.

Dalam seminggu, dia bisa beberapa kali mengambil air. Kalau tamu ramai, makin banyak kebutuhan air.

“Tidak ada sumber air,’’ kata pemilik usaha Kopi Key ini.

 

Sebuah mobil mengangkut tandon untuk air bersih di Desa Sajang. Desa Sajang krisis air bersih sejak gempa 2018. Air bersih desa ini diambil dari Desa Sembalun Lawang. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Tidak jauh dari Jayadi berdiri sebuah hotel cukup besar. Boleh dibilang satu penginapan favorit. Pada akhir pekan penginapan dengan pemandangan puncak Rinjani ini diserbu wisatawan.

Pada musim pendakian buka, penginapan ini selalu ramai. Acara-acara besar pun sering digelar. Lokasi penginapan ini masih satu jalur dengan Jayadi, hanya lokasi Jayadi sedikit lebih tinggi.

Pemandangan sangat kontras. Kalau Jayadi harus sibuk bolak balik mengambil air dengan tandon, tamu di penginapan ini bisa menikmati puncak Rinjani sambil berenang. Bukan hanya Jayadi, beberapa warga di desa ini juga merasakan kekurangan air.

G-Trek, salah satu penginapan kecil, milik warga pernah menolak tamu yang hendak menginap. Air tidak mengalir. Pemilik homestay kelelahan mengambil air bersih. Pada malam 17 Agustus itu, saat tamu ramai, dia menolak beberapa tamu yang hendak menginap karena kekurangan air bersih.

Pengelolaan air bersih di Sembalun, rumit. Terlihat dari pipa-pipa menyilang satu sama lain.Saya menelusuri pipa itu hingga ke mata air. Di salah satu sumber air adalah Rantemas. Air dari tempat ini mengalir ke Desa Sembalun dan Timbagading.

Ada dua pipa besar menempel di dinding bukit. Pipa inilah yang menjadi andalan warga di dua desa itu. Selain melayani perkantoran, pipa ini juga masuk ke rumah warga, penginapan, restauran. Sejak mulai beroperasi, air dari Rantemas tidak pernah mencukupi kebutuhan.

“Bukannya tambah melimpah namun makin kecil air yang mengalir,’’kata Royal, pengusaha penginapan dan café.

Royal juga Ketua Pokdarwis Lombok Timur ini bilang, konsultan dan pelaksana proyek tidak memerhatikan kondisi mata air. Tidak menghitung penduduk, pertumbuhan ekonomi dari pariwisata, dan kondisi mata air.

Proyek itu menelan dana hingga Rp2.5 miliar. Pihak desa juga mengeluarkan dana Rp180 juta untuk mendukung proyek ini. Kini, dengan dana itu Royal merasa hasil tidak maksimal. Dana besar tetapi tidak bisa menyediakan akses air bersih ke masyarakat.

Perebutan sumber mata air pun terjadi. Yang punya modal besar bisa membeli mata air. Bagi masyarakat umum, harus menerima air dengan debit seadanya. Kalau ingin air lebih banyak, mereka harus keliling membawa tandon.

 

Jayadi harus membeli air untuk mengisi sumur di rumahnya. Dia membangun sumur besa di bawah aula di camping ground miliknya. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

***

Suara mesin air meraung-raung memecah kesunyian persawahan di Sembalun Bumbung. Mesin tersimpan di bangunan 1,5 X 1,5 meter. Kabel panjang membentang dari permukiman ke arah bangunan seperti gudang itu.

Di dalam gudang itu mesin air kapasitas besar disimpan si pemilik, sebuah hotel tak jauh dari pintu masuk pendakian Gunung Rinjani. Hotel yang memiliki kolam renang.

Pada akhir pekan, saat tamu ramai, mesin itu meraung-raung sepanjang hari. Menyedot air dari persawahan yang selalu basah. Di persawahan itu ada beberapa kolam. Air kolam dari dalam tanah, menyembur beberapa mata air. Mesin air milik hotel itu berada di samping kolam.

Sawah yang penuh air itu milik Amaq Odak. Di satu kolam, Amaq Odak menunjukkan pipa hitam. Pipa itu mengalir sampai ke Bawak Nao, Desa Sajang. Selain itu, ada pipa lain yang mengalir ke beberapa dusun. Pipa itu dibangun swadaya oleh masyarakat dan pemerintah desa. Sebagai pemilik lahan tempat mengambil air, Amaq Odak tidak menarik bayaran.

“Kalau untuk warga saya mau,’’ katanya.

Bagaimana dengan mesin air besar yang khusus melayani hotel itu? Amaq Odak bilang, mesin itu dibangun di tanah kerabatnya. Bertetangga dengan lahannya. Dia tidak tahu bagaimana perjanjian dulu. Yang pasti, pemilik hotel tahu bahwa di lahan itu banyak sumber mata air. Tidak perlu menyedot langsung dari kolam di lahan Amaq Odak. Menggali sumur di sekitar, di luar lahan Amaq Odak pun bisa mendapatkan air bersih.

Beberapa orang pernah menemui Amaq Odak. Mereka mau membeli lahan yang berlimpah air itu. Lahan tidak bisa ditanami. Amaq enggan melepas. Dia tahu, orang-orang itu ingin membeli karena sumber air bersih. Amaq tahu, betapa mahal air bersih di Sembalun.

Beberapa penginapan juga ingin mengajak kerjasama Amaq Odak. Semacam sewa lahan, khusus mengambil air bersih. Menggali sumur dan memasang mesin air. Lagi-lagi Amaq menolak.

Dia tidak enak hati kalau membisniskan air di lahan itu.

“Saya mau kalau pemerintah. Pemerintah bisa bangun PDAM untuk warga,’’ kata pria yang menjadi tenaga honorer di Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) itu.

Amaq mengajak saya berkeliling ke beberapa sumber air di lahan itu. Salah satu kolam, pipa besar mengarah ke saluran irigasi. Pipa itu untuk mengairi persawahan. Bukan hanya untuk sawah Amaq, juga sawah-sawah yang dilewati irigasi itu. Nantinya, dari saluran irigasi itu pemilik sawah menyedot air.

Air irigasi bersumber dari kolam Amaq itu tidak diairi setiap hari, haya saat penyiraman.

Sumber mata air tidak hanya dikavling oleh penginapan-penginapan besar juga perorangan. Mereka pemilik lahan, kadang menyewa lahan di sumber mata air itu.

Baiq Sri Mulya, Ketua Kelompok Perempuan Sembalun Belajar (KPSB) menunjukkan, kepada saya sumber-sumber air bersih yang dikavling korporasi maupun individu. Di satu lokasi, dia memperlihatkan, bangunan tempat mesin air mengalir ke satu hotel.

Di tempat lain, mesin air besar itu melayani beberapa keluarga. Padahal saat sama, warga sekitar kekurangan air bersih.

Baiq Sri Mulya khawatir kalau penyaluran sumber air bersih model ini terus terjadi, masyarakat akan kekurangan air bersih.

 

Bangunan seperti gudang kecil ini tempat memasang mesin air. Mesin air itu disedot dari sumur yang dibangun di dekatnya. Mesin air ini milik salah satu penginapan yang memiliki kolam renang. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Mata air tempat pengambilan air itu memang milik pribadi tetapi pemerintah desa, kecamatan, bahkan kabupaten, kata Sri, seharusnya mengambil langkah untuk mengelola. Boleh mengambil air bersih dari lahan pribadi warga, katanya, tetapi untuk masyarakat.

“Ada warga yang kesulitan air, sementara di dekatnya itu pemilik lahan memiliki sumber air yang banyak,’’ katanya.

Sri bilang, Sembalun perlu pemimpin tidak biasa. Kepala desa tidak bisa sekadar menjalankan rutinitas program. Semua desa di Sembalun, katanya, perlu kepala desa yang memikirkan serius masalah desa, seperti soal air.

Kelompok Perempuan Sembalun Belajar meminta kepada para kepala desa dengan lokasi jadi sumber air beberapa penginapan agar menertibkan sumur-sumur pribadi itu. Pengeboran air untuk kebutuhan pariwisata maupun pribadi harus dikontrol. Pemerintah desa, katanya, harus mulai rehabilitasi lahan untuk konservasi air bersih.

“Kami juga meminta perempuan diberikan ruang terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan,’’ katanya.

 

 

Pengelolaan air bersih

 

Lalu Kanahan, Kepala Desa Sajang, tampak berkeringat ketika menghadiri undangan Kelompok Perempuan Sembalun Belajar. Mengenakan celana olahraga, baju kaos, dan sandal jepit, dia bilang baru selesai gotong royong dengan membersihkan sampah dan memantau pipa air bersih. Dalam sebulan terakhir beberapa warga merasakan debit air berkurang. Kadang air mengalir sangat kecil. Bersama warga, Kanahan mencari tahu gangguan itu.

Dalam diskusi tentang air bersih, Kanahan mengakui air Sajang selama ini sangat bergantung pada desa tetangga, Sembalun dan Sembalun Lawang.

Sejak gempa 2018, beberapa mata air di Sajang hilang. Warga pernah survei mencari sumber air bersih baru, hasil nihil. Sumber air bersih lama tertimbun dan hilang setelah gempa.

Selama berbulan-bulan, warga Sajang mengambil air ke desa tetangga pakai tangki. Beberapa warga patungan untuk mengambil air. Warga yang punya tangki dan mobil pikap sendiri bisa lebih mudah mengambil air.

“Kami bersyukur ada bantuan pipa,’’katanya.

Sajang sangat bergantung dengan pasokan air bersih dari desa tetangga. Karena itu, Kades Sajang Kanahan siap membantu kalau ada program rehabilitasi mata air. Masyarakat Sajang siap membantu ke desa lain kalau ada program rehabilitasi mata air.

Program dari desa saat ini, katanya, tetap berusaha mencari sumber air terdekat. Dia sadar mengalirkan air hingga 12 km banyak faktor yang bisa menghambat air hingga ke rumah warga. Belum lagi kalau debit air berkurang.

Camat Sembalun Zaidar Rahman meminta, semua kepala desa duduk bersama mengurus air bersih. Selama ini, katanya, ada desa punya PAMDes, ada desa bergantung pada desa lain. Ada juga desa berlimpah sumber air bersih, tetapi belum optimal terkelola.

Seperti Desa Sembalun Bumbung yang memiliki banyak sumber mata air. Karena banyaknya mata air itu, akhirnya banyak pihak memanfaatkan air dari Sembalun Bumbung. Dia berharap, pihak desa mau memimpin untuk mengelola seluruh sumber air bersih itu.

Begitu juga dengan Desa Sembalun Lawang, memiliki sumber air bersih. Ada yang dialirkan hingga ke Sajang. Zaidar mengusulkan semua desa di Sembalun yang memanfaatkan sumber air bersih yang sama membuat PAMDes bersama. Artinya, masing-masing desa memiliki saham di PAM itu. PAMDes inii dikelola oleh pengurus yang dibentuk bersama semua desa.

“Pengelolaan selama ini belum bagus, harus ada PDAM Desa bersama,’’ katanya.

Dedy Asriady, Kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) mengusulkan, pengelolaan air bersih di Sembalun satu lembaga. Lembaga ini bisa dari kabupaten (PDAM) atau dari desa masing-masing.

Balai TNGR, katanya, siap mendukung jika akan mengambil air dari mata air di TNGR. Balai TNGR akan membantu mengurus perizinan dan dokumen lain. Balai TNGR juga meminta air dari TNGR itu hanya boleh dikelola satu pihak.

“Jangan nanti semua pasang pipa. Kami tidak mau seperti itu,’’ katanya.

Air dari TNGR, bisa ditampung dalam satu bak besar. Dari bak besar itulah dialirkan ke desa-desa. Balai TNGR hanya mengizinkan satu pipa. Dia bilang, harus ada jaminan pipa dikelola pemerintah, bukan untuk kepentingan pribadi atau usaha perorangan.

Balai TNGR juga meminta, sebelum program itu jalan dilakukan kajian teknis. Dia menyarankan, Camat Sembalun bersama para kepala desa konsultasi dengan Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Mereka, katanya, tahu teknis dalam mengalirkan air.

“Kami punya mata airnya, tapi tidak menguasai teknis mengalirkannya. Kalau bisa minta Dinas PUPR untuk mengkaji teknisnya,’’ katanya.

Saat ini, ada mata air di Propok, yang menjadi kewenangan Balai TNGR. Dedy juga yakin ada mata air di KPH Rinjani Timur.

Sesama instansi pemerintah tentu saja Balai TNGR dan KPH Rinjani Timur akan mendukung kalau pemerintah kecamatan dan pemerintah desa mau memanfaatkan mata air di dalam kawasan.

 

 

Bendungan Rantemas yang mengering. Perlu dilakukan rehabilitasi lahan dan secara khusus konservasi mata air. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version