Mongabay.co.id

Pertama Kalinya Di Indonesia, Banteng Kembali Ke Habitat Alaminya

 

Konservasi satwa terancam punah di Indonesia mencatat sejarah baru yaitu dilepasliarkannya dua ekor banteng (Bos javanicus javanicus) ke habitat alaminya di Taman Nasional (TN) Baluran, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, pada Jumat, 4 September 2020. Pelepasliaran kedua ekor banteng  tersebut dilakukan oleh Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Wiratno.

Kedua banteng berkelamin jantan tersebut merupakan individu yang lahir di Suaka Satwa Banteng di TN Baluran, sebuah program penangkaran banteng untuk mendukung percepatan pemulihan populasi spesies terancam punah yang hanya tersisa kurang dari 5000 ekor di alam ini. Individu banteng pertama yaitu Tekad, yang lahir pada tanggal 9 Juli 2014, dan individu kedua yaitu Patih yang lahir pada 23 Mei 2016.

“Tujuan dari pelepasliaran banteng ini adalah untuk memperkaya keragaman genetik banteng yang ada di Taman Nasional Baluran,” jelas Wiratno.

baca : Pelestarian Banteng Jawa Bergantung pada Pengelolaan Kawasan Konservasi

 

Untuk pertama kalinya di Indonesia dua ekor banteng (Bos javanicus javanicus) hasil penangkaran di Suaka Satwa Banteng dilepasliarkan ke habitat alaminya di Taman Nasional (TN) Baluran pada Jumat, (4/9/2020) oleh Dirjen KSDAE KLHK. Foto : KLHK

 

Sebagaimana diketahui, saat ini kantong populasi utama banteng yang tersisa di Jawa hanya berada di Baluran, Alas Purwo, Meru Betiri di Jawa Timur dan Ujung Kulon di Jawa Barat. Keempat habitat tersebut sudah terisolasi oleh area pemukiman dan budidaya, yang tidak memungkinkan bagi banteng-banteng tersebut untuk saling terhubung.

Isolasi tersebut mengakibatkan populasi banteng di satu populasi  tidak dapat kawin dengan banteng dari populasi lain. Dalam jangka panjang, isolasi genetik seperti ini akan mengakibatkan turunnya kualitas genetik dan berdampak pada berbagai hal, seperti penyakit genetik hingga potensi banteng menjadi kerdil.

Lebih lanjut, Wiratno menyatakan bahwa Suaka Satwa Banteng merupakan salah satu strategi untuk mengintervensi faktor alam yang sudah sulit terjadi. Suaka Banteng menjadi semacam gene pool yang berfungsi untuk menampung banteng dari berbagai kantong populasi, kemudian ditangkarkan untuk menghasilkan individu banteng dengan variasi genetik yang lebih beragam. Anakan dari Suaka Satwa Banteng inilah yang nantinya dilepasliarkan ke alam untuk memberikan “fresh blood” untuk menjaga variasi genetik populasi di alam tetap terjaga.

baca juga : Banteng Jawa, Salah Satu dari 25 Spesies Satwa Prioritas Konservasi

 

Tekad dan Patih, dua ekor banteng (Bos javanicus javanicus) hasil penangkaran di Suaka Satwa Banteng yang dilepasliarkan ke habitat alaminya di Taman Nasional (TN) Baluran pada Jumat, (4/9/2020). Foto : KLHK

 

Sedangkan Pujiadi, Kepala Balai Taman Nasional Baluran, dalam pidatonya menjelaskan bahwa metode pelepasliaran banteng yang berasal dari Suaka Satwa Banteng ini juga berbeda dengan pelepasliaran satwa yang biasa dilakukan sebelumnya. Mengingat banteng ini lahir di penangkaran, metode yang dilakukan adalah soft release, di mana satwa harus melalui proses panjang untuk siap baik secara perilaku maupun kemampuan bertahan hidup. Kedua banteng tersebut sudah menjalani proses habituasi selama 8 bulan sebelum dilepasliarkan.

Setelah dilepasliarkan, banteng tersebut juga akan dipantau secara intensif. Dengan dukungan dari Copenhagen Zoo, kedua banteng tersebut dipasang GPS Collar agar posisi pergerakannya dapat terpantau melalui satelit. Juga memudahkan bagi tim yang memonitor pergerakan untuk menemukan banteng tersebut karena dilengkapi dengan pemancar radio yang dapat dilacak melalui receiver.

“Pasca pelepasliaran ini, tim akan mengikuti banteng dan mencatat setiap perilaku banteng selama kurang lebih 3 bulan. Catatan pemantauan perilaku ini akan menjadi informasi penting bagi refensi ke depan jika akan dilakukan pelepasliaran dari Suaka Satwa Banteng, sekaligus menjadi dasar respon cepat untuk menyelamatkan banteng jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya kalah dalam berkompetisi dengan banteng liar ataupun masih kurang mampu menyesuaikan diri dengan ketersediaan pakan alami,” jelasnya lebih lanjut.

menarik dibaca : Banteng Kalimantan, Satwa Langka Ini Perlu Perlindungan Serius

 

Dua ekor banteng (Bos javanicus javanicus) hasil penangkaran di Suaka Satwa Banteng dilepasliarkan ke habitat alaminya di Taman Nasional (TN) Baluran pada Jumat, (4/9/2020) oleh Dirjen KSDAE KLHK. Foto : KLHK

 

Populasi banteng liar di Baluran sendiri, selama lima tahun terakhir menunjukkan trend peningkatan populasi yang menggembirakan. Dari estimasi 44-51 individu di tahun 2015, meningkat menjadi 124 – 140 individu di tahun 2019. Estimasi populasi tersebut didapatkan dari analisa data kamera trap yang dilakukan setiap tahun.

Wiratno menyampaikan optimisme terkait konservasi banteng di Taman Nasional Baluran.” Dengan kemampuan reproduksi yang relatif cepat, di mana hampir setiap tahun banteng mampu bereproduksi, optimisme populasi banteng dapat pulih di Taman Nasional Baluran sangat tinggi,” tegasnya.

Selama tingkat ancaman seperti perburuan dapat ditekan hingga nol, banteng di Baluran akan dapat pulih dan mencapai angka yang aman untuk kelestarian populasinya. Selain menekan ancaman, upaya untuk menyiapkan habitat ideal bagi banteng juga tetap harus dilakukan.

Saat ini tantangan berat bagi Baluran adalah upaya memulihkan ekosistem savana yang  terinvasi pohon akasia berduri (Acacia nilotica) dan menyebabkan sumber pakan banteng dan satwa ungulata lainnya menjadi berkurang. Setidaknya, lebih dari 6000 hektar savana di Baluran tertutupi oleh rerimbunan akasia yang penyebarannya sangat invasif.

 

Exit mobile version