Mongabay.co.id

Saat Biogas Melimpah, Masyarakat di Lombok Mampu Mandiri Energi

 

Aroma khas kotoran sapi terendus saat memasuki pekaragan rumah Amaq Samat (50) di Desa Ubung, Kecamatan Jonggat, Lombok Tengah. Yang berbeda, baunya tidak anyir. Pekarangan rumah itu tampak bersih dari kotoran sapi.

Ternyata semua kotoran sapi itu dimasukkan Amaq Samat ke dalam digester biogas, persis di sebelah rumahnya.  Tiap pagi ia dan istrinya, Mawiati (50), mengangkut kotoran dari kandang menuju reaktor biogas berkapasitas 4 meter kubik.  Jarak digester itu hanya beberapa meter saja dari kandang sapi miliknya.

Saat saya berkunjung, Amaq Samat dengan senang hati menunjukkan cara mengolah kotoran sapi menjadi sumber energi ramah lingkungan.

Sebelum masuk ke dalam digester, kotoran terlebih dahulu dimasukkan ke dalam inlet atau bak pengaduk. Kotoran yang dicampur air diaduk sampai menjadi bubur. Biasanya disebut slurry biogas.

Setelah itu, slurry biogas dialirkan melalui saluran yang sudah dibuat ke dalam digester. Bak penampung berbentuk kubah ini hampa udara. Fungsi utamanya sebagai reaktor penampung gas metana (CH4) dari kotoran sapi yang diendapkan.

Gas metana yang terkumpul di bagian kubah kemudian dialirkan menjadi energi. Amaq Samat memasang pipa yang disambung sampai ke dapur rumahnya. Bila gas sedang tidak digunakan, saluran pipa bisa ditutup setiap waktu.

“Kalau mau pakai saya buka, kalau tidak saya tinggal tutup,” jelasnya.

 

Nyala api kompor biogas milik Amaq Samat tampak biru. Foto: Sirtupillaili

 

Digester berkapasitas 4 meter kubik itu menghasilkan 0,83 meter kubik gas. Amaq Samat bisa memakainya untuk segala keperluan selama empat jam berturut-turut.

“Tapi istri saya biasanya hanya memakai dua jam untuk memasak,” kata Samat.

Terkadang, gas tersebut mereka buang agar bisa memasukkan kotoran sapi lagi. Bahkan, Samat sengaja memasak air dalam volume banyak, selain untuk menghabiskan gas, ia juga bisa mandi air hangat. Baginya itu kemewahan tersendiri.

”Kalau mau dapat gas tinggal masukkan kotoran sapi,” katanya.

Dulu, sebelum memanfaatkan biogas, Samat seperti warga lain kerap panik karena kelangkan bahan bakar.  Sebelum menggunakan biogas dia memakai minyak tanah dan kayu bakar untuk memasak.

Sekarang tidak lagi. Lima ekor sapi miliknya menghasilkan sekitar 50 kg kotoran setiap hari. Sedangkan reaktor biogasnya hanya mampu mengolah maksimal 30 kg kotoran. Sisanya 20 kg dia simpan untuk besoknya lagi. ”Tidak ada yang terbuang sekarang,” katanya, tersenyum.

Bila terjadi pemadaman listrik, Amaq Samat pun tidak panik. Ia memanfaatkan biogas untuk menyalakan lampu. Meski belum seterang lampu biasa, namun ia tidak susah-susah membeli lilin atau minyak tanah. Energi biogas juga belum bisa dipakai untuk menyalakan barang elektronik.

Di sisi lain, keluarga Amaq Samat juga mendapatkan keuntungan secara ekonomi. Limbah biogas dimanfaatkan sebagai pupuk organik dengan kualitas tinggi. Pupuk padat maupun cair sangat laris. Kalau ada yang mau beli dia menjual Rp10 ribu per 10 kg-nya.

Tiap 30 kg kotoran sapi yang diolah, 75 persen keluar dalam bentuk limbah padat dan limbah cair 25 persen. Limbah slurry itu diolah menjadi pupuk organik. Dalam sebulan, ia rata-rata menghasilkan 1 ton pupuk biogas.

”Kalau permintaan pupuk tinggi kadang saya ambil dari warga lain, kami kerja sama,” kata Samat.

 

Amaq Samat (50 tahun) sedang mengaduk kotoran sapi di bak pengaduk sebelum dimasukkan ke dalam digester biogas, di Desa Ubung, Kecamatan Jonggat, Lombok Tengah. Foto: Sirtupillaili

 

Bisa dari Limbah Dapur untuk ke Digester

Amaq Samat bersyukur bisa memanfaatkan biogas dengan maksimal. Kerja keras dan ketekunannya sejak 2013 membuahkan hasil. Bahkan ia kerap diundang ke luar daerah untuk menceritakan pengalaman memanfaatkan biogas.

Pada tahun 2013, untuk pembuatan biogas dia menghabiskan Rp 6,5 juta. Tapi Amaq Samat hanya mengeluarkan uang Rp 1,5 juta, sisanya bantuan subsidi dari Yayasan Rumah Energi Rp 2 juta, dan pemerintah daerah Rp 3 juta.

Saat program ini dimulai, di Desa Ubung terdapat 30 warga yang mendapatkan bantuan pembuatan biogas. Hampir semuanya berfungsi.

Dengan pola kerja sama antara pemerintah, lembaga swasta, dan masyarakat pembangunan biogas ini berjalan masif. Partisipasi masyarakat sangat penting. Dengan partisipasi itu mereka punya rasa memiliki dan tanggungjawab untuk merawat.

Sayangnya, ada juga beberapa warga yang mendapatkan bantuan biogas tidak memanfaatkan dengan baik. Karena malas, kurang tekun merawat, digester biogasnya tidak berfungsi.

“Ada yang juga ditinggal untuk kerja jadi TKI di Malaysia,” tuturnya.

 

Amaq Samat, warga Desa Ubung, Kecamatan Jonggat, Lombok Tengah sedang menunjukkan hasil pupuk organik dari limbah biogas. Foto: Sirtupillaili

 

Manfaat biogas juga dirasakan Abdul Indrawan alias Efek, pengelola tempat wisata Lombok Rafting, di Desa Batu Mekar, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat.

Bedanya, -alih-alih kotoran sapi, Abdul Indrawan memanfaatkan limbah dapur untuk dimasukkan ke dalam digester. Selain mengurangi sampah dapur, ini juga bisa menghemat pembelian gas elpiji.

Baginya, biogas adalah sumber energi ramah lingkungan dan manfaatnya banyak sekali.

Limbah biogas juga dia manfaatkan menjadi pupuk organik. Pupuk tersebut dipakainya memupuk sayuran-sayuran. Sayur itu juga sering dimasak buat para tamu yang memesan paket makanan.

“Daripada beli pupuk di toko-toko kan mahal, lebih baik pakai ini dan lebih sehat,” ujarnya.

Berbeda dengan reaktor digester Amaq Samat, biogas milik Abdul Indrawan merupakan digester portabel. Reaktor biogas itu bisa dipindah-pindah. Hal itu memudahkan pelaku usaha seperti dirinya.

Hal itu pula yang membuat Hj Ummi Ningsih, warga Desa Narmada, Kecamatan Narmada, Lombok Barat tertarik memanfaatkan energi terbarukan dari biogas. Sejak 2013, ia membangun reaktor biogas di pekarangan rumahnya.

Manfaat yang didapatkan pun sangat banyak, terutama untuk memasak. Bila dibandingkan dengan gas elpiji, menurutnya lebih hemat menggunakan biogas. Selain itu, dia juga mendapatkan pupuk untuk tanaman di rumahnya.

“Limbah padatnya saya manfaatkan sebagai bahan campuran pakan ikan,” jelasnya.

Meski tidak memiliki kandang sapi, ia justru tertarik membuat biogas. Ia prihatin kotoran sapi tetangganya disia-siakan. Banyak yang membuang ke kali.

Karena konsisten mengembangkan energi ramah lingkungan, termasuk pengolahan sampah, Hj Ummi kini kerap dikunjungi mahasiswa untuk belajar, termasuk tamu-tamu dari luar negeri yang tertarik.

 

Sahraun, warga Desa Bonjeruk, Kecamatan Jonggat, Lombok Tengah menunjukkan lampu biogas miliknya. Foto: Sirtupillaili

 

Butuh Partisipasi Warga

Biogas milik Amaq Samat, Lombok Rafting, dan Hj Ummi masuk dalam Program Biogas Rumah (Biru) yang didampingi Yayasan Rumah Energi dan didukung oleh Hivos, lembaga bantuan pembangunan dari Belanda.

Kerja sama pembangunan ini melibatkan tiga pihak, yakni pemerintah, Rumah Energi, dan masyarakat. Tujuannya agar pemeliharaan biogas bisa berkelanjutan.

“Akan menjadi dilema bila setelah dibangun tidak mereka kerjakan. Itu jadi alasan kita kenapa masyarakat harus terlihat,” kata Umar, koordinator Yayasan Rumah Energi NTB.

Dalam bantuan pembangunan biogas di NTB, Hivos melalui Yayasan Rumah Energi memberikan beberapa syarat bagi calon penerima. Antara lain siap berkontribusi, bersedia merawat, memelihara, dan memanfaatkan biogas.

Kemudian punya lahan pribadi untuk membangun biogas minimal 3×7 meter, dan paling utama memiliki sapi.

Dalam penyaluran bantuan, masing-masing pihak membelanjakan anggaran untuk komponen yang berbeda, sehingga ketika dibangun bisa jadi satu reaktor biogas. Pemerintah mengelola anggaran mereka sendiri, Hivos membelanjakan dananya sendiri, demikian pula uang kontribusi dari warga.

Pola kerja sama itu dilakukan dari tahun 2012 sampai 2014. Sebelumnya, pembangunan dilakukan secara swadaya. Tahun pertama berhasil dibangun 1.000 unit, kemudian 2013 dibangun 900-an unit, dan 2014 sebanyak 403 unit. Sejak 2013, Program Biru dilaksanakan institusi lokal bernama Yayasan Rumah Energi.

“Kala itu NTB menjadi contoh nasional bagaimana kerja sama pemda dengan swasta,” tutur Umar.  “Awal pengenalan ke masyarakat sangat sulit.”

Untungnya, dukungan penuh diberikan Pemprov NTB. Kala itu, program Biru sejalan dengan program bumi sejuta sapi (BSS) yang sedang digalakkan NTB. Potensi sapi yang banyak itu dimanfaatkan untuk energi rumahan.

Saat ini, biaya untuk membangun reaktor biogas rata-rata Rp 8,5 juta. Itu sudah termasuk kebutuhan semen, pasir, batu bata, kerikil, dan ongkos tukang. Ia berharap ada lembaga keuangan yang memberikan pinjaman lunak kepada warga untuk membangun biogas.

”Kami membangun harus sampai menyala,” ungkap Umar.

 

Abdul Indrawan alias Efek, pengelola Lombok Rafting mengambil limbah cair dari biogas portabel, di Desa Batu Mekar, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat. Foto: Sirtupillaili

 

Potensi Besar tapi Masih Minim Pemanfaatan

Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Utara menjadi dua daerah yang paling responsif membangun biogas. Dalam pembangunannya, Yayasan Rumah Energi menggandeng mitra dengan standar pembangunan yang baik.

Namun demikian, pemanfaatan biogas di NTB masih sangat minim. Kontribusinya kurang dari 1 persen dari target 23 persen penggunaan energi terbarukan tahun 2025. Ini menjadi tantangan sendiri.

Total untuk NTB, sumbangan energi terbarukan sebagian besar dari pembangkit listrik sebesar 11 persen.

Pembangkit listrik yang memanfaatkan energi terbarukan di NTB kapasitasnya mencapai 41 MW. Terdiri dari Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) dengan kapasitas 15 MW, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) 20 MW, kemudian pembangkit-pembangkit yang tidak terhubung langsung dengan jaringan PLN sekitar 6 MW.

Kepala Seksi Energi Terbarukan, Dinas ESDM NTB Niken Arumdati menjelaskan, biogas merupakan salah satu bentuk energi terbarukan. Pengembangannya dilakukan sebelum 2012, hanya saja saat itu baru sebatas proyek percontohan.

Pembangunan dalam jumlah banyak dilakukan sejak 2012, pemprov bekerja sama dengan Hivos dengan model kerja sama sharing pendanaan.

Tapi sejak 2015, skema pembiayaan ditanggung pemprov. Setelah diserahkan ke warga, baru Hivos melalui Yayasan Rumah Energi memberikan pendampingan dan pelatihan.

Niken menyebut potensi pemanfaatan biogas di NTB sangat besar. Dengan jumlah sapi 1.095.719 ekor, potensi kotoran sapi yang dihasilkan mencapai 16.435.785 kg per hari. Potensi biogasnya mencapai 591.688 meter kubik per hari.

Kemudian populasi kerbau 125.122 ekor, potensi kotoran yang dihasilkan 1.876.830 kg per hari dengan potensi gas 67.566 meter kubik per hari. Jika potensi itu dimanfaatkan secara optimal, ketergantungan pada bahan bakar fosil akan berkurang.

Jumlah reaktor biogas di NTB sampai 2020 mencapai 6.129 unit. Baik yang dibangun bersama Hivos maupun murni pendanaan pemerintah. ”[Meski] tidak semua berfungsi karena ada juga yang malas mengisi,” ungkapnya.

Pembangunan biogas, kata Niken, masih minim karena masyarakat masih sangat bergantung pada dana pemerintah. Di sisi lain, kemampuan fiskal daerah sangat terbatas.

Meski demikian pemprov, kata Niken, berkomitmen kuat mengembangkan biogas untuk mengurangi efek rumah kaca. Sebab satu reaktor biogas bisa mengurangi 2,6 ton CO2 per tahun.

“Sangat ramah lingkungan dan punya efek ekonomi juga,” tutupnya.

 

* Sirtupillaili, jurnalis Lombok Post, Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia.

 

Exit mobile version