Mongabay.co.id

Warga Nagari Koto Protes Lahan Kena Proyek Tol Padang-Pekanbaru

 

 

 

 

 

 

Pembangunan tol trans Sumatera, ruas Pekanbaru (Riau)-Padang (Sumatera Barat) mulai berjalan. Pembangunan yang melewati kawasan hutan, pemukiman sampai kebun, lahan pertanian bahkan pemakaman warga. Masalah lahan muncul seperti di Nagari Koto Baru Simalanggang, Kecamatan Payakumbuh, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.

Rumah, sawah bahkan sebidang tanah untuk makam keluarga dekat rumah pun bakal hilang untuk pembangunan jalan tol ini. Warga bingung karena tak dari awal dapat kabar soal pembangunan tol ini.

Proyek jalan tol Padang—Pekanbaru dengan target operasi 2025 ini terdiri dari enam seksi. Seksi I, Padang-Sicincin, Seksi II Sicincin-Bukittinggi, dan Seksi III Bukittinggi-Payakumbuh. Kemudian, Seksi IV Payakumbuh—Pangkalan, Seksi V Pangkalan-Bangkinang, dan Seksi VI Bangkinang-Pekanbaru.

Jasriman, warga Nagari Koto bakal kehilangan sawah. Dia bilang, tak tahu bakal ada bangun tol, hanya lihat ada pengukuran debit air dan pemasangan patok entah untuk apa.

Di samping lapangan bola Kotabaru Simalanggang, katanya, ada pengeboran lalu ada pengukuran debit air. “Masyarakat tidak diberitahu kegunaan pengeboran. Tidak ada kejelasan. Tahu-tahu sekitar Desember kemarin (2019-red), dari perusahaan datang dan mengundang atas nama Wali Nagari Koto Baru Simalanggang, mengantar surat,” katanya saat dihubungi Mongabay via telepon.

Isi surat itu mengatakan, menindaklanjuti pembangunan jalan tol. Jasriman dan warga lain hadir untuk mendapatkan informasi.

“Masyarakat tercengang, terkejut, dengan ada pengumuman itu,” katanya.

 

Pintu Tol Padang-Pekanbaru di perbatasan Kota Padang dan Pariaman. Foto: Walhi Sumbar

 

Mereka diperlihatkan slide berisi lokasi-lokasi yang terkena pembangunan termasuk pemukiman dan daerah produktif masyarakat.

Masyarakat, katanya, spontan tak menerima, apalagi tak ada informasi dari awal baik dari pemerintah setempat seperti kecamatan atau pun wali nagari.

“Kita tanya langsung ke wali nagari. Kita ini orang bodoh jadi kalau bahasa surat kita ini tidak mengerti. Kami bilang berarti pemerintah sudah menerima pembangunan jalan tol tapi kami sebagai warga yang terdampak tidak diberitahu lebih awal? Kami tidak terima.”

Sejak kejadian itu, belum ada tindak lanjut baik dari pemerintah atau perusahaan ke warga terdampak di Nagari Koto Baru Simalanggang, terutama tempat tinggal Jasriman.

Warga Simalanggang tidak anti-pembangunan, katanya, tetapi kabar mendadak membuat mereka kecewa dan kesal.

Jasriman mengatakan, ada beberapa ibu-ibu dan orangtua tidak mau pindah. “Mereka mau tetap di sini sampai mati. Soalnya beberapa dari mereka ada hanya bergantung pada sawah yang ada sekarang.”

Beberapa warga Pariaman ada protes dan gugat ke pengadilan karena merasa tidak cocok uang ganti rugi. Saat Mongabay menghubungi Daman Huri, Wali Nagari Kasang, Pariaman, mengatakan, banyak warga menerima, sebagian ada yang menuntut ke pengadilan.

“Masih ada enam orang yang memperkarakan di pengadilan dan tidak terima dengan ganti rugi,” katanya saat dihubungi.

Karmal Putra, Humas PT Hutama Karya mengatakan, progres pengerjaan jalan tol sudah sekitar 23%.“Sampai sekarang kendala pengerjaan proyek belum ada di lapangan,” katanya.

Soal pembebasan lahan, katanya, sesuai tugas pokok dan fungsi (tupoksi), ada di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat maupun Kementerian ATR/BPN.

 

Penampakan ruas Tol Pekanbaru-Padang. Foto: Walhi Sumbar

 

Tunjuk dulu, penyelesaian kemudian

Yoni, Kepala Kajian dan Advokasi Walhi Sumbar mengatakan, model pemerintah dalam pembangunan ini top down. Mereka tentukan wilayah dulu, baru kemudian jalan hingga di lapangan sering temui masalah.

“Ironisnya penetapan wilayah cenderung dipaksakan. Mereka memetakan lalu dipatok baru diselesaikan di tingkat nagari atau jorong. Tidak ada upaya jalur partisipatif warga,” katanya.

Hingga kini, katanya, warga belum tahu banyak soal jalan tol dan akses mereka setelah ada jalan itu. “Misal, tanah orang ada di seberang tol, belum tahu bagaimana mengaksesnya nanti. Belum lagi seperti pintu tol dan lain-lain.”

Untuk wilayah Sumbar sepanjang jalan itu ada wisata dan pendidikan. Ada juga usaha mikro kecil menengah (UMKM) dan pembicaraan soal penghasilan mereka yang berkurang, kata Yoni, belum ada solusi.

“Mereka hanya berbicara masih bagaimana sumber-sumber alam bisa lebih cepat dikirim ke Pekanbaru karena Pekanbaru dianggap pasar,” katanya.

Seharusnya, kata Yoni, masalah ini dibicarakan pada tingkat kabupaten dan kabupaten menyiapkan langkah antisipasi. “Ini kalau sudah bermasalah baru dilibatkan Dinas Lingkungan-nya.”

Walhi Sumbar, katanya, sedang pemetaan digitasi terkait daerah-daerah yang dilewati jalan tol. Melalui analisis sementara, dengan overlay rencana pembangunan jalan tol ini ada 74 nagari atau desa, 20 kecamatan dan tujuh kabupaten, kota terdampak pembangunan ini. Jalan tol ini, katanya, juga melalui kawasan konservasi, Cagar Alam Lembah Anai.

Walhi menilai, pihak yang membangun jalan tol tak menjalankan peraturan dan tak menghormati kearifan lokal. Peraturan itu, katanya, ada dalam UU Nomor 2/2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Juga, Peraturan Presiden Nomor 71/2012 tentang penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

Dalam peraturan itu, kata Yoni, ada pengakuan, mekanisme, peralihan dan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

Masyarakat Minangkabau, katanya, punya mamangan adat soal ini. “Bak manatiang minyak panuah, bak maelo rambuik dalam tapuang (mengerjakan sesuatu dengan teliti dan hati-hati karena mengetahui apa dampaknya). Ini yang seharusnya dipraktikkan gubernur.”

 

 

Keterangan foto utama:  Para pekerja proyek jalan Tol Padang-Pekanbaru. Jalan tol ini bakal melintasi kawasan pemukiman sampai hutan konservasi. Foto: Walhi Sumbar

Exit mobile version