Mongabay.co.id

Belajar Literasi dan Ekologi di Gubuk Baca Lereng Busu

Peserta didik datang membawa sampah plastik dari rumah, sekalian sebagai alat pembayaran mengikuti proses belajar di Gubuk Baca ini. Foto: eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Sampah-sampah plastik dikumpulkan, lalu mereka pilah untuk bikin beragam kerajinan. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Suara gamelan dan musik tradisi tari topeng Malangan mengalun dari sound system di pelataran rumah warga Dusun Busu, Desa Slamparejo, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang, Jawa Tmur. Puluhan anak berbaris, sebagian mengenakan sampur atau selendang tari. Rata-rata pelajar sekolah dasar. Mereka serempak mengikuti gerakan pelajar SMP dan SMA.

Mereka tengah menari topeng dengan tokoh Bapang. Gerakan luwes dan mengikuti irama musik tradisi khas topeng Malangan. Siswa lebih senior jadi pembina adik-adiknya. Meski masa pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), mereka tetap belajar menari tiap Ahad, seperti 30 Agustus lalu.

Sebagian menerapkan protokol kesehatan, pakai masker dan menjaga jarak. Sebelum menari, mereka mengikuti senam kesegaran jasmani bersama-sama. Mereka tampak menikmati aktivitas saban akhir pekan di Gubuk Baca Lereng Busu ini. Pendiri Gubuk Baca, Kusnadi Abid turut mengawasi dan melatih mereka menari Bapang.

Usai senam dan menari, giliran mereka berlatih membuat kerajinan dari barang bekas atau sampah kering. Ada plastik bekas gelas dan botol minuman, sedotan atau pipet plastik. Mereka duduk meriung, tekun memotong plastik, menempel dan menghias.

Tasya Happy Anggaeni, peserta didik Gubuk Baca Lereng Busu, paling menyukai menari. Siswa kelas 3 sekolah dasar ini belajar menari sejak setahun terakhir. “Suka menari, bisa berkreasi dan bergerak,” katanya.

Senin sampai Jumat usai Maghrib sampai pukul 21.00, mereka belajar pelajaran sekolah bergantian. Belajar di Gubuk Baca, katanya, memudahkan mereka memahami setiap mata pelajaran dan bertemu teman sekolah. Sedangkan saat pandemi, proses belajar di sekolah secara daring.

“Belajar daring di rumah ditemani orangtua,” kata Kharisma Dwi Safitri, 10 tahun. Siswa kelas 4 ini juga mengulang dan dilatih para pendamping siswa SMP dan SMA. Lantaran belajar daring sulit dipahami dan belajar mandiri.

Mereka juga mengaplikasikan pelajaran dengan kondisi alam sekitar. Belajar dari alam, menunjukkan jenis tumbuhan dan tanaman obat keluarga. Khusus akhir pekan disesuaikan dengan minat dan bakat. Bisa memilih prakarya atau belajar menari. Kalau tak tertarik, mereka bisa libur.

 

Berbayar sampah

Saat berangkat, para peserta didik masing-masing membawa kantong plastik berisi aneka jenis sampah. Secara bergiliran, mereka menyerahkan ke pendamping, dihitung dan dicatat. Semua sampah dipilah, plastik dan kertas dikumpulkan tersendiri.

Setelah semua terkumpul, mereka membersihkan dan mendaur ulang jadi aneka jenis kerajinan. Mulai wadah pensil, bunga anggrek dan sebagian jadi ekobrik.

Suhasti Nabila, pendamping bilang, mereka daur ulang sampah secara otodidak. “Melihat tutorial di Youtube,” kata mahasiswa Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang semester 7 ini.

Bunga anggrek dari gelas plastik ini dikerjakan bersama-sama. Diawali menghilangkan warna gelas dan dibuat pola. Selanjutnya gunting dan merangkai jadi kerajinan bunga anggrek.

“Produk kerajinan kami juga dipamerkan di pameran produk daur ulang,” katanya.

Untuk ekobrik jadi kursi dan beragam manfaat lain. Uang yang terkumpul dari penjualan produk daur ulang untuk biaya operasional gubuk.

“Respons masyarakat bagus. Banyak yang membeli karena jarang yang mengolah sampah plastik,” katanya.

Mengolah sampah mereka lakukan sejak tiga bulan lalu dengan dukungan berbagai pihak, mahasiswa dan warga, termasuk mahasiswa yang Kuliah Kerja Nyata (KKN).

Dalam proses belajar, para pendamping tetap tak melupakan tugas belajar. Amelia Uswatun Khasani, pendamping, siswa kelas 11 SMK swasta di Jabung ini berbagi waktu antara belajar dengan jadi pembina di Gubuk Baca Lereng Busu.“Tak mengganggu belajar, harus pintar membagi waktu,” katanya.

Safitri Zulfita, kelas 12 SMK swasta di Jabung juga mendampingi adik kelas belajar. “Belajar setahun, kemudian jadi pendamping,” katanya.

Guna menarik minat dan peserta didik betah, dia sering memberi permainan di sela-sela belajar.

Di gubuk ini ada 26 pendamping bergantian mendampingi peserta didik. Mereka rata-rata pelajar SMP, SMA dan mahasiswa.

Sejak masa pandemi, kegiatan dibagi tiga gubuk berbeda. Terdiri atas 15 sampai 30 pelajar. Selama pandemi COVID-19, mereka mendampingi ekstra karena membantu pelajar mengerjakan tugas saat pendidikan jarah jauh.

 

Mereka juga belajar tanaman dari alam sekitar. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

***

Kusnadi tergerak mendirikan gubuk baca karena fasilitas belajar dan bermain anak-anak di sini minim. Rata-rata pendidikan terakhir SD dan SMP. “Desa kami dulu disebut desa IDT (Inpres Desa Tertinggal-red). Pendidikan maksimal SMP,” katanya.

Banyak anak, katanya, tak melanjutkan sekolah. Selepas SD, orang tua meminta anak membantu mencari rumput. Mayoritas warga Busu bekerja sebagai peternak sapi perah. Sejak pagi dan sore, mereka juga membantu memerah susu. “Tak ada kesadaran orang tua untuk [anak] melanjutkan pendidikan.”

Sejak 2015, dia bersama adiknya, Wahyu mendirikan Gubuk Baca. Dia kumpulkan aneka jenis buku dan mendapat sumbangan dari Komunitas Literasi Republik Gubuk, dan perguruan tinggi. Kini, terkumpul 400 buku, terdiri atas buku pelajaran dan cerita.

Selain menyediakan buku bacaan, mereka juga mengajak anak-anak SMP dan SMA membantu mendampingi belajar. Mereka bertugas mendampingi anak-anak belajar sampai bisa melanjutkan pendidikan minimal SMP dan SMA.

Proses pembelajaran menyesuaikan dengan kebutuhan siswa, termasuk pelajaran tematik. Para pendamping terpilih telah memiliki spesialisasi mata pelajaran yang didampingi. Mereka juga menerapkan pembelajaran teman sejawat atau teman sebaya. Kakak kelas membantu pelajaran adik kelas. Sedangkan selama masa pandemi COVID-19, mereka juga menyesuaikan dengan pola pembelajaran secara daring.

“Di sini susah sinyal, mereka juga tak ada dana untuk membeli kuota. Jadi hambatan tersendiri.”

Para pendamping, katanya, membantu belajar secara total.

“Mereka juga menjadi tanggungjawab kita juga. Turut membantu pelajaran daring,” katanya. Totalitas pendamping, katanya, layak diapresiasi. Kusnadi berharap, mereka memiliki akhir manis, dan bahagia. Para pendamping bisa mengenyam pendidikan tinggi dan sukses. Sedangkan Gubuk Baca sendiri, diharapkan tetap terjaga dari generasi ke generasi, dan tersebar ke seluruh kampung.

Gubuk Lereng Busu terdiri dari Gubuk Baca Kampung Tretek, Gubuk Baca Lare Selatan, dan Gubuk Baca Kiai Said.

 

Di Gubuk Baca, mereka juga belajar menari. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Muncul kesadaran

Kini, mulai timbul kesadaran orang tua menyekolahkan anak-anaknya. Mereka termotivasi karena banyak mahasiswa berkunjung ke Gubuk Baca. Gubuk Baca, katanya, jadi pemantik, sekitar 20 remaja di Kampong Busu kuliah. “Zaman saya dulu pendidikan SMP sudah tinggi,” katanya.

Kusnadi terdorong dengan aksi temannya di Gubuk Baca Gang Tato, desa tetangga. Selama ini, mereka teman mabuk-mabukkan dan merajah tubuh. Kini, mereka berubah mengurusi gubuk baca, mengajarkan seni tari, bermusik dan permainan tradisional.

“Dulu, paling bandel, sekarang mereka menjadi baik. Niat baik ini semoga bisa menghapus keselahan saya dulu,” katanya.

Demi mewujudkan gubuk literasi dan seni ini, dia belajar menari dan menggambar. Beruntung, dia banyak teman seniman tari dan melukis.

Meski sudah tua, dia tekun belajar menari. Tujuannya, agar bisa mengajarkan anak-anak di sekelilingnya belajar dengan murah. “Mereka ingin belajar menari ke sanggar, tapi tak punya uang.”

 

Kemandirian ekoliterasi Kampung Busu

Sementara mengumpulkan sampah anorganik dilakoni para peserta didik di Gubuk Baca sejak, tiga bulan terakhir. Selama pandemi, pendamping sempat kesulitan memenuhi operasional seperti membeli alat tulis. Untuk mematok iuran tak tega, karena banyak orang tua dari keluarga miskin.

“Mereka berinisiatif, membawa sampah jadi kerajinan dan dijual,” katanya.

Inisiatif ini juga mengurai masalah sampah yang sulit didaur ulang, seperti plastik dan tas kresek,

“Sampah plastik jadi masalah. Minimal kita mengatasi sebagian kecil sampah rumah tangga,” katanya. Kini sebanyak 120 peserta didik belajar di Gubuk Baca dibagi di tiga gubuk berbeda.

Purnawan Dwikora Negara, Dewan Daerah Walhi Jawa Timur, mengapresiasi inisiatif Gubuk Baca Lereng Busu. Mereka berkutat dalam ekoliterasi berbasis kemandirian masyarakat dengan menggabungkan kesadaran literasi, mencerdaskan anak dan mengenalkan pendidikan ekologi lewat ekoliterasi.

“Kegiatan mencerdaskan masyarakat dan membantu mengurangi sampah.”

Secara tak langsung, katanya, menanamkan pendidikan literasi dan ekologi sejak dini.

Pemerintah Kabupaten Malang, katanya, bisa memfasilitasi dengan membeli produk daur ulang mereka untuk pajangan dan dekorasi ruang dan kantor. Pemerintah, katanya, memiliki anggaran khusus untuk dekorasi ruang dan kantor. Tak harus bantuan dan subsidi yang khawatir mematikan kemandirian warga.

 

 

Keterangan foto utama:  Peserta didik datang membawa sampah plastik dari rumah, sekalian sebagai alat pembayaran mengikuti proses belajar di Gubuk Baca ini. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version