Mongabay.co.id

Mernek, Desa Proklim yang Berusaha Membuat Warganya “Jenek”

 

Hari belum terlalu siang, ketika Suprapto melakukan pengecekan kawasan pertanian mini milik Kelompok Wanita Tani (KWT) Bunga Desa di Desa Mernek, Kecamatan Maos, Cilacap, Jawa Tengah (Jateng). Pertanian mini itu hanya seluas 70 meter persegi serta bangunan 4×6 meter.

Meski sempit, tetapi efisien. Sebab, ada tanaman sayur dengan sistem hidroponik, kemudian ada kandang yang diisi ayam petelur. Di bagian bawah kandang, ada tempat kotoran ayam yang digunakan sebagai media budidaya magot. Setelah nanti jadi magot, maka dapat digunakan untuk pakan lele yang kolamnya ada di bawa kandang ayam.

“Kami memang sengaja membuat tempat integrated farming di tempat yang luasannya terbatas. Ternyata, meski sempit namun dapat dipakai untuk budidaya sayuran, ayam petelur, magot, sampai lele. Semuanya saling terkait. Intinya adalah memanfaatkan lahan terbatas dan tidak membuang limbah. Misalnya, sayuran yang tidak bagus tidak langsung jadi limbah melainkan bisa untuk pakan ternak. Atau kotoran ayam tidak dibuang, namun dimanfaatkan sebagai media budidaya magot. Inilah salah satu yang dilaksanakan KWT untuk mendukung Desa Mernek sebagai Kampung Proklim,”jelas Suprapto pada Kamis (3/9/2020).

Proklim atau Program Kampung Iklim merupakan program dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai gerakan nasional pengendalian perubahan iklim berbasis komunitas atau tapak.

baca : Kampung Proklim Bulakan Asri Kini Menuju Desa Mandiri, Seperti Apa?

 

Kelompok Wanita Tani (KWT) Kembang Desa di Desa Mernek, Kecamatan Maos, Cilacap, Jawa Tengah sedang beraktivitas di lahan sempit integrated farming yang dikelolanya. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Di tempat yang sama, Ketua KWT Kembang Desa, Aprilianti, mengatakan bahwa meski lokasinya sempit, namun kegiatan ini cukup memberikan masukan bagi kelompok. “Misalnya, setiap hari, ayam yang dipelihara bertelur. Jumlahnya mencapai 18 butir. Selain itu ada sayuran yang hampir setiap hari bisa dipetik, seperti selada. Bahkan, ada warga yang datang agar sayuran yang dibeli lebih segar. Dengan adanya budidaya di lahan sempit yang menggabungkan antara pertanian, peternakan dan perikanan, bisa menghasilkan antara Rp1 juta hingga Rp2 juta/bulan. Lumayan untuk tambahan pendapatan,”jelasnya.

Kepala Desa Mernek Bustanul Arifin mengatakan bahwa ada empat titik integrated farming yang dikelola oleh KWT di desa ini. “Selain itu, dari 1.717 keluarga yang ada di Desa Mernek, hampir seluruhnya memanfaatkan lahan pekarangan yang ditanami tanaman obat keluarga (toga) dan sayuran seperti cabai, tomat dan sayuran hijau. Meski hasilnya bukanlah uang, tetapi mereka tidak perlu membeli sayur atau cabai, karena tinggal memetik. Untuk toga yang ditanam ada empon-empon seperti jahe, kunir, dan lainnya,” kata Kades.

Aktivitas KWT itu, lanjutnya, merupakan salah satu bantuan dan pendampingan dari Pertamina MOR IV Jateng-DIY sebagai bagian dari upaya ketahanan pangan yang dilakukan oleh warga Desa Mernek. “Kami memiliki program Mernek Jenek. Mernek adalah nama desa dan Jenek berarti kerasan. Sehingga kami berharap, warga di sini tidak perlu merantau dan cukup di desa untuk memberdayakan potensi sumberdaya yang ada di sini,”ujarnya.

Selain menggarap lahan pekarangan, ada pula warga yang membudidayakan ikan jenis gurame yang tergabung dalam kelompok budidaya ikan (Pokdakan) Ulam Sari. Ketua Pokdakan Ulamsari, Adnan, mengatakan bahwa meski saat sekarang pandemi, tidak tidak menjadi halangan, karena masih tetap bisa panen. “Meski ada pandemi COVID-19, tapi pokdakan yang beranggotakan 18 orang, masih mampu menghasilkan pendapatan, karena masih tetap panen ikan,” katanya.

Adnan mengatakan bahwa dalam satu tahun, kelompoknya mampu memperoleh keuntungan hingga Rp60 juta setiap tahun. “Pada awalnya, kami kesulitan untuk dapat panen secara maksimal. Kebetulan, ada bantuan teknis dan permodalan dari Pertamina, sehingga saat sekarang lebih menguntungkan. Sebab, ada ahli yang didatangkan untuk melakukan pendampingan kepada kami,”ujarnya.

baca juga : Dengan Irigasi Tetes, Menjangkau Milenial Agar Tertarik Jadi Petani

 

Seorang anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) mengambil telur dari kandang ayam di lokasi integrated farming, yang memadukan antara pertanian, peternakan dan perikanan. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Desa Proklim 

Kepala Desa Mernek Bustanul Arifin mengatakan sejak tahun 2018 lalu, desa setempat telah bertekad sebagai Desa Proklim. “Desa Proklim atau Kampung Iklim merupakan desa yang harus terhadap lingkungan dan adaptif terhadap iklim. Maka seluruh program yang dilaksanakan di Desa Mernek harus sejalan dengan kelestarian lingkungan hidup.

Bahkan, untuk mengurangi sampah dan limbah, semua dimanfaatkan. Misalnya, pupuk kandang atau pupuk organik yang berasal dari kotoran hewan dan sampah daun. Itu semua dimanfaatkan sekaligus mengurangi pencemaran,”jelasnya.

Sementara Kepala Seksi Pemeliharaan Lingkungan Hidup Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Cilacap Marsidi mengatakan bahwa sebagai Desa Proklim, Mernek melakukan mitigasi perubahan iklim dan beradaptasi menghadapinya. “Dalam praktiknya, kampung ini melaksanakan kegiatan pelestarian lingkungan, misalnya dengan melakukan penghijauan. Hal ini dapat menjadi salah satu upaya untuk mengurangi pemanasan global. Di sisi lain, mitigasi perubahan iklim dengan membuat biopori untuk menyerap air. Dengan adanya resapan, maka dapat digunakan sebagai tabungan pada musim kemarau,”jelas Marsidi.

Marsidi menambahkan jika di Desa Mernek juga telah melaksanakan pengelolaan limbah, khususnya sampah organik. “Misalnya, kotoran ayam tidak langsung dibuang, tetapi dijadikan pupuk dan sebagian untuk media budidaya magot. Jadi, semua dapat dimanfaatkan oleh warga,”katanya.

Mernek juga dikenal sebagai “Sukamandi”-nya Cilacap, karena areal pertanian di desa setempat umumnya digunakan sebagai budidaya padi untuk bibit, bukan konsumsi. Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Sumber Rezeki, Waluyo, mengatakan bahwa kelompok dengan anggota 45 orang itu mengelola lahan seluas 35,65 hektare. “Pada awalnya, seperti di daerah lainnya, petani di sini hanya menjual padi untuk konsumsi. Artinya, setelah panen, padi diproses menjadi beras untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun dijual ke pasar,”katanya.

menarik dibaca : Perubahan Iklim Ternyata Berdampak pada Kedaulatan Pangan

 

Salah satu tempat penyimpanan bibit padi yang dilkembangkan di Desa Mernek. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Namun demikian, kata Waluyo, saat sekarang petani memang masih tetap menyimpan padi untuk memenuhi kebutuhan, namun sebagian besar dijadikan benih. Dalam setiap masa panen, penghasilan kelompok dapat mencapai Rp720 juta dari penjualan 60 ton benih padi. Keuntungannya lebih tinggi 25% jika dibandingkan dengan menjual padi konsumsi.

“Benih padi yang kami kembangkan merupakan hasil pemuliaan padi dari Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BBPAI). Ada sejumlah varietas yang dikembangkan di Mernek di antaranya adalah Inpari 32, Inpari 42, Ciherang dan ke depan direncanakan bibit padi Inmpari IR Nutri Zinc,” jelasnya.

Sementara Kades Bustanul menambahkan bahwa pihaknya telah mengeluarkan surat keputusan (SK) untuk mendukung produksi benih padi. “Gapoktan telah membuat merek benih padi ‘Merlita’, dan saat sekarang juga telah memproduksi pupuk organik ‘Si Mantap’. Pupuk organik cair yang diproduksi Gapoktan diharapkan akan mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas benih padi, serta menjaga lingkungan,”tandasnya.

Dengan berbagai upaya yang dilakukan, desa Mernek mendapat penghargaan sebagai Kampung Proklim pada 2019. Kini, Mernek dalam tahap verifikasi penilaian sebagai Kampung Proklim Nasional.

 

Exit mobile version