Mongabay.co.id

Hidup Berdampingan, Warga Pemerihan Tidak Lagi Resah Didatangi Kawanan Gajah Liar

 

 

Lima gajah jinak asik menikmati pelepah kelapa. Mereka adalah Mela, Rahmi, serta Haryono, Renold, dan Agam yang telah memiliki gading. Dalam sehari, setiap individu ini bisa menghabiskan 30 pelepah.

Berberapa pengunjung tampak berfoto selfi dengan background gajah-gajah tersebut. Beberapa kali, Ronald tampak terganggu dengan pengunjung yang coba mendekatinya.

“Jangan dari depan, kalau foto,” teriak Sukino, Kepala Resort Taman Naional Bukit Barisan Selatan [TNBBS], di Desa Pemerihan, Kecamatan Bengkunat, Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung, saat melihat Ronald mulai bertingkah, Minggu [16/8/2020].

 

Gajah jinak yang berada di resort TNBBS, di Desa Pemerihan, Kecamatan Bengkunat, Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung. Foto: Lutfi Yulisa

 

Jumangin, anggota Satgas Penanggulangan Konflik Satwa dan Manusia, Desa Pemerihan, turut menyaksikan gajah jinak yang sedang memakan pelepah kelapa itu. Ia bercerita tentang tugasnya menghalau gajah. “Kadang, kangen juga kalau lama tak melihat gajah liar,” ujarnya.

Biasanya, Jumangin bersama tim satgas dan warga menghalau gajah di perkebunan warga. Ia membekali diri dengan head lamp, petasan, dan jas hujan. Jas hujan selalu ia kenakan karena cuaca malam hari yang tak menentu. Bersama tim, dia berada di hutan hingga dua jam lebih, pulang paling awal jam 24.00 WIB atau 01.00 dini hari.

Rombongan gajah yang selalu dipantau Jumangin dan kawan-kawan adalah kelompok Citra yang berjumlah 25 ekor. Saat itu, posisinya hanya 5,6 kilometer dari resort TNBBS di Desa Pemerihan, atau sekitar 1,9 kilometer dari Sungai Pemerihan di Desa Sumber Rejo. Gajah-gajah itu seolah tahu ada makanan di kebun warga: jagung, pepaya, dan pisang memang sedang berbuah.

Bila makanan di hutan habis, gajah-gajah umumnya mendatangi kebun warga atau kadang hanya merusak kebun. “Makanya, peran satgas desa diperlukan, untuk menghalau, menjauhkan, atau menggiring kembali ke kawasan taman nasional,” katanya.

 

Pengunjung tampak foto selfie dengan latar belakang gajah jinak yang berada di resort TNBBS, di Desa Pemerihan, Kecamatan Bengkunat, Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung. Foto: Lutfi Yulisa

 

Dipasang GPS

Provinsi Lampung memiliki situs warisan dunia berupa hutan hujan tropis yang berada di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [TNBBS]. Lokasinya di Kabupaten Tanggamus, Pesisir Barat, Lampung Barat, hingga ke provinsi tetangga, Bengkulu. Luasnya yang mencapai 355.511 hektar, menjadi habitat tumbuhan unik dan satwa liar.

Pemerihan adalah desa di wilayah Pesisir Barat yang berdekatan dengan kawasan TNBBS.

Cahyadi, Peratin [Kepala Desa] Pemerihan menuturkan, di wilayahnya telah dibentuk Satgas Penanggulangan Konflik Satwa dan Manusia sejak 2014. Satgas memiliki tugas tambahan juga, yaitu mencegah perburuan satwa liar.

Warga sudah bertahun-tahun hidup bertetangga dengan gajah. Mereka tidak mau bermusuhan, bahkan ingin hidup berdampingan. Untuk itu, mereka memiliki kewajiban menjaga hutan, ekosistem, dan keanekaragaman hayati yang ada.

Gajah liar yang berada di kawasan taman nasional ini, ada dua kelompok. Selain kelompok Citra ada juga Kelompok Bunga yang berjumlah 12 individu. Rute perjalanan mereka berbeda. Gajah Citra berada di Marga Belimbing, Way Haru, Sumber Rejo, Pemerihan, dan Margo Mulyo [Pesisir Barat] sementara Bunga di Suoh, Lampung Barat.

Satu dari kelompok itu, Bunga, telah dipasang Global Positioning System [GPS] collar. Alat ini merupakan pelacak bebasis sistem navigasi satelit yang sangat membantu pengelola TNBBS dan warga mengetahui posisi gajah tersebut. Bila gajah mendekat kebun warga, pasukan satgas telah bersiaga.

Plt Kepala Balai Besar TNBBS, Ismanto menuturkan, pihaknya coba mengamati pola pergerakan gajah dengan GPS Collar. Saat gajah lama di satu titik, petugas akan mendapat referensi bahwa mereka mendapatkan makanan atau sumber air.

“Gajah jarang menyimpang dari jalur perlintasan. Jalurnya itu-itu saja,” ucapnya.

Kami masih butuh beberpa GPS lagi, tapi bertahap. Konsep kerjanya seperti sms banking, akan berbunyi jika ada transaksi. Jadi, jika gajah mendekat dalam rentang poligon sekitar dua kilometer dari batas luar, GPS akan memberi alarm kepada operator,” ujar Ismanto.

Pada saat itu, petugas akan menginfokan ke grup WhatsApp satgas, sehingga mereka segera bersiaga.

 

Gajah di resort TNBBS ini digunakan sebagai tim patroli penanggulangan konflik antara manusia dengan gajah di sekitar TNBBS. Foto: Lutfi Yulisa

 

Menara pantau  

Bangunan empat lantai itu berdiri tegak di kawasan TNBBS, tak jauh dari Sungai Pemerihan. Menara pantau gajah liar, warga desa menyebutnya. Dari lantai empat rumah pantau itu, satgas bisa melihat kebun warga dan hutan hujan tropis. Aneka burung terdengar berkicau. Lima meter dari menara pantau, tampak kotoran gajah. “Diperkirakan semalam gajah liar datang ke sini,” kata Cahyadi, Minggu [16/8/2020].

Benar saja, sebelumnya pada Jumat [14/8/2020], empat kawanan gajah liar memasuki kebun milik Paiman. Kurang lebih 30 batang pohon pepaya rusak. Tak dipungkiri, meski ada tim satgas dan GPS collar, kecolongan kadang terjadi.

Satgas desa sebenarnya telah memberitahu Paiman, namun pria 56 tahun itu baru mengetahui gajah akan masuk ke arah kebunnya dari sang anak yang memegang ponselnya, sore hari. Saat itu, Paiman ada keperluan dan berharap anak lelakinya menjaga kebun. Rupanya tidak terlaksana.

Jumangin menegaskan, penjagaan kebun diwajibkan pada pemiliknya dahulu, selanjutnya satgas mendampingi.

Plt Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung Ruchyansyah, didampingi Budi Satria, Kepala Seksi Konservasi menjelaskan, saat gajah keluar wilayah TNBBS, satgas pekon harus siaga untuk memblokade agar tidak masuk hutan lindung maupun kebun warga.

Satgas harus hati-hati menghalau gajah, jangan sampai menjadi hal-hal pidana, seperti meracun dan merusak tubuh gajah. “Gajah satwa dilindungi, baik di dalam maupun luar kawasan,” ujarnya.

“Gajah punya home range, akan menyimpang bila makannya habis atau ada yang enak. Tapi nanti akan ke home range lagi. Dari zaman dulu, areal jelajahnya sudah ada. Sekarang kondisinya masyarakat makin berkembang, tadinya hutan sekarang menjadi permukiman atau kebun,” ujar Yayan, sapaannya.

Ketika gajah masuk ke perlintasan, sementara warga tidak siap menghalau, Yayan berharap, jangan sampai petani dianggap seolah-olah korban. Menurutnya, petugas dari dinas kehutanan tidak bisa setiap saat bersiaga untuk itu warga harus siaga.

 

Cahyadi, Peratin [Kepala Desa] Pemerihan tampak memantau kehadiran gajah liar dari menara pengawas. Foto: Lampung Post/Dian Wahyu Kusuma

 

Apa yang dikatakan Yayan telah dilakukan masyarakat Pemerihan. Desa ini bahkan telah mengganggarkan keperluan satgas tersebut seperti peralatan senter dan jas hujan.

“Kami sudah terbiasa hidup berdampingan dengan hewan liar seperti gajah, beruang, harimau, hingga badak. Artinya, jadikan satwa itu sebagai sahabat, bukan musuh yang membahayakan. Bila ketemu di kebun, kalau pergerakannya agak membahayakan, kami mundur dulu, supaya binatang itu lewat,” lanjut Cahyadi.

Untuk memantau pergerakan gajah liar, Cahyadi menuturkan, di setiap kebun warga yang berbatasan dengan taman nasional, didirikan rumah pantau atau rumah pohon. Bangunannya hanya dua sampai tiga meter, fungsinya memantau gajah liar dan menghalaunya bila mendekat. Di bawah rumah pantau, umumnya masyarakat menghidupkan api unggun untuk memberikan penerangan di malam hari.

“Gajah tidak berani kalau ada manusia di rumah pohon,” ujarnya.

Cahyadi juga berkomunikasi dengan beberapa desa yang menjadi jalur gajah. Dari Marga Belimbing, Way Haru, Sumber Rejo, Pemerihan, hingga Margo Mulyo.

“Saat gajah melintas ke desa tetangga, mereka memberi informasi. Kami pun siap-siap.”

Satgas gajah dibantu petugas TNBBS, pawang gajah, dan warga lokal. Semua harus bekerja sama. Menurut Cahyadi, sebelum ditetapkan sebagai taman nasional, warga sudah bermukim lebih dahulu, secara turun-temurun.

“Setelah ditetapkan, kami berupaya sosialisasi ke masyarakat. Alhamdulillah, berhasil 100 persen. Warga tidak merambah hutan, termasuk juga menghindari konflik dengan gajah,” ujarnya.

 

Sungai Pemerihan yang sering dilalui kawanan gajah liar. Sungai ini merupakan batas langsung Desa Pemerihan dengan TNBBS. Foto: Lampung Post/Dian Wahyu Kusuma

 

Kearifan lokal

Manajer Lanskap WCS untuk TNBBS, Firdaus Affandi menuturkan, pihak WCS dan TNBBS berkolaborasi memberikan pengetahuan ke warga soal menghalau gajah. Namun, ia berharap saat mitigasi warga jangan hanya bergantung pada mercon.

Kearifan lokal masyarakat bisa menjadi poin penting, seperti menggunakan kaleng yang direnteng supaya menimbulkan bunyi keras. Sehingga, gajah kembali ke kawasan taman nasional. Ada juga warga menggunakan belerang dicampur sabut kelapa lalu dibakar di jalur gajah, sehingga gajah enggan mendekat kebun warga.

WCS yang aktif memberikan pelatihan kepada satgas di desa ini berkomitmen membangun masyarakat. “Karena, yang berkutat langsung dengan pinggiran taman nasional ya masyarakat,” ujarnya.

Gunardi Djoko Winarno, Peneliti Satwa Liar Universitas Lampung menyarankan, petani yang berada di pinggiran TNBBS untuk menanam tumbuhan yang bukan makanan gajah, seperti umbi porang. “Pisang maupun jagung adalah makanan gajah.”

Porang cukup mudah dibudidayakan karena tak membutuhkan perawatan intensif, juga tak membutuhkan herbisida maupun pestisida. Tanaman ini pun tidak disukai satwa liar.

Porang adalah tanaman lapisan bawah hutan, masih satu keluarga dengan bunga bangkai [Amorphophallus]. Daun porang menghambat terpaan air hujan, agar tanah tidak erosi sekaligus berguna untuk konservasi.

“Ini menjadi kearifan lokal. Bisa diolah menjadi beras, pangan nasional yang sehat dengan kadar glukosa rendah,” terang Dosen Unila tersebut.

 

Kebun milik masyarakat Pemerihan yang diserang gajah liar. Masyarakat Pemerihan tidak lagi resah dengan kehadiran gajah liar bahkan mereka tengah membuat konsep desa ramah gajah untuk tujuan ekowisata. Foto: Lutfi Yulisa

 

Ekowisata ramah gajah

Mela, Rahmi, Haryono, Renold, dan Agam merupakan gajah jinak yang didatangkan langsung dari Taman Nasional Way Kambas [TNWK], sebagai tim patroli penanggulangan konflik antara manusia dengan gajah di sekitar TNBBS. Selain sebagai tim patroli, kelimanya telah dikenal masyarakat Pemerihan sebagai sarana pendukung wisata dalam kawasan nasional, kerja sama antara badan usaha milik desa [BUMDes] dan TNBBS.

Resort Pemerihan itu telah dibuka untuk umum sebelum COVID-19 merebak, tepatnya awal 2020. Setiap akhir pekan, warga sekitar dan dari desa tetangga sering mengunjungi gajah jinak ini. Tapi, selama pandemi kawasan wisata terpaksa dibatasi untuk umum.

“Desa kami bisa dikatakan tidak ada penghalang dengan TNBBS, hanya dibatasi sungai. Jadi, gajah sering lalu-lalang di Sungai Pemerihan,” kata Cahyadi.

Kami tengah merintis desa ramah gajah. “Kami melihat, gajah sebagai potensi ekowisata yang kedepannya dapat menambah nilai ekonomi masyarakat,” tandasnya.

 

* Dian Wahyu Kusumajurnalis Lampung PostArtikel ini didukung Mongabay Indonesia.

 

 

Exit mobile version