Mongabay.co.id

Diah Esti Anggraini Tidak Pernah Lelah Merawat Gajah Sumatera

Gajah sumatera di PLG Way Kambas, Lampung, yang merupakan satwa kebanggaan Indonesia. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Suasana sepi terasa saat saya tiba di Pusat Latihan Gajah [PLG], Taman Nasional Way Kambas [TNWK], Lampung. Sejak COVID-19 mewabah, pihak balai taman menghentikan sementara aktivitas pariwisata maupun penelitian. Lapak pedagang juga tutup.

Namun tidak dengan dokter hewan Diah Esti Anggraini. Memakai pakaian dinas bewarna putih dia tetap beraktivitas seperti biasa. Pagi itu, dia memeriksa gajah sumatera yang sakit di Rumah Sakit Gajah Prof. Dr. Ir. Rubini Atmawidjaya.

Esti, panggilannya, datang ke TNWK pada Agustus 1997 saat usianya 28 tahun. Dari Pulau Jawa, dia merantau ke Lampung untuk menjalankan amanah sebagai dokter gajah, setelah lolos seleksi penempatan dari Kementerian Kehutan, sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

 

Dita yang dirawat di Rumah Sakit Gajah di Pusat Latihan Gajah [PLG] Taman Nasional Way Kambas, Lampung, karena menderita cacingan. Foto: Dok. Agus Susanto/Kupas Tuntas

 

Jebolan kampus Universitas Airlangga ini menuturkan, kasus pertama yang ditanganinya adalah membantu gajah melahirkan.

“Saat itu belum ada teknologi. Ketika melahirkan, uterus sang gajah ikut keluar, sudah pendarahan. Rahimnya sobek. Kami berusaha memasukkan kembali, dibantu beberapa orang akan tetapi tidak bisa. Kami sudah berusaha maksimal,” ujar ibu dua anak, Rabu [19/8/2020].

Adakah kasus lain yang selalu diingat? Tentu saja ada. Esti turut merawat Erin, gajah tanpa induk yang ditemukan dengan belalai buntung. Erin yang kini berusia enam tahun tumbuh sehat dan mampu makan sendiri meski sesekali dibantu sang mahout.

 

Seorang mahout tampak menjaga gajah bernama Edwin. Foto: Fahimah Andini/UKPM Teknokra

 

Infeksi rabies

Esti juga pernah menangani gajah yang terinfeksi rabies pada 2017 lalu. Gajah tersebut mati dengan mengeluarkan air liur. Hal ini belum pernah terjadi, sehingga tim medis PLG membedah otaknya untuk diteliti di laboraturium. Hasilnya, gajah malang itu positif rabies.

Ini kasus pertama di Indonesia. Penyakit yang tidak diketahui dari mana datangnya, tanpa gejala, luka, juga tidak berbekas. “Alhamdulillah sudah clear, tidak terjadi apa-apa. Semua sudah diantisipasi dengan serum anti-rabies,” katanya.

Kasus terbaru yang ditangani Esti adalah penyakit cacingan yang diderita Dita, sejak Sabtu [08/8/2020]. Butuh kesabaran dan telaten merawatnya dan sudah berhari dicarikan makanan yang cocok, mulai kacang panjang, timun, bengkoang, hingga rumput muda. “Untuk pencegahan, tim medis PLG memberikan obat cacing berbeda setiap tiga bulan, pada gajah yang ada.”

Esti menjelaskan, ada periode unik, disebut musth, pada gajah yang tidak terjadi pada hewan lain. Musth muncul ketika gajah jantan banyak memproduksi hormon testosterone. Musth bergantung pada usia dan bisa berhubungan dengan tingkat sosial, bisa terjadi sebulan hingga tiga bulan. Pada masa ini seekor gajah akan sangat agresif, bisa membahayakan mahout dan gajah lain.

Menurut teori musth hanya terjadi pada gajah dominan. Namun, teori itu terpatahkan di TNWK, bukan hanya gajah dominan mengalamai hal ini.

“Saya sangat terbuka jika ada kasus baru,” ujarnya.

 

Rumah Sakit Prof. Dr. Ir. H. Rubini Atmawidjaya di Pusat Latihan Gajah [PLG] Way Kambas, Lampung. Foto: Fahimah Andini/UKPM Teknokra

 

Mahout sumber informasi pertama

Saat ini terdapat 64 individu gajah di PLG. Semua itu menjadi tanggung jawab Esti dibantu para mahout [pawang gajah] untuk sudah memantau kondisi gajah yang diasuhnya.

Mahfud Handoko, Koordinator Diklat Gajah Way Kambas, menjelaskan sebelum menjadi mahout, mereka terlebih dahulu diberikan pelatihan khusus selama tiga bulan. Mahout harus mempelajari teori karakter gajah.

“Selain teori, fisik seorang mahout juga harus disiapkan. Gajah memiliki tenaga yang kuat jadi seorang mahout juga harus punya fisik yang kuat,” ujarnya. Dia pun mengatakan selama masa pelatihan ini, semua mahout harus menghindari pelatihan keras terhadap gajah.

Mahout juga harus melatih keterampilan gajah. Tujuanya, untuk memudahkan saat pemeriksaan kesehatan. Misal, gajah dilatih agar bisa mengangkat kaki, sehingga bisa dilihat apakah ada luka atau tidak.

Tim medis dan mahout selalu koordinasi dan kolaborasi. Kemampuan mahout mengontrol perilaku gajah akan membantu pemeriksaan kesehatan dan meminimalkan risiko kecelakaan.

“Jadi, untuk mengobati gajah tidak harus dibius, disamping haraganya juga yang cukup mahal,” kata Mahfud yang sudah bekerja di TNWK sejak 1994.

Jika sudah selesai mengikuti pelatihan, mahout akan diberikan tanggung jawab merawat gajah. Setiap mahout mempunyai catatan harian aktivitas gajah dan kronologi kesehatan.

Seperti mencatat bentuk feses, urine yang dikeluarkan banyak atau sedikit, mata sayu, perubahan nafsu makan, dan apakah ada luka. Berdasarkan catatan mahout, pemeriksaan lanjutan akan dilakukan.

“Cek kesehatan gajah tidak cukup dengan sampel darah,” lanjut Esti.

 

Diah Esti Anggraini selalu semangat merawat gajah sumatera di PLG Way Kambas, Lampung. Foto: Fahimah Andini/UKPM Teknokra

 

Sosok tangguh

Di mata Kamdani [46], tenaga medis Rumah Sakit Gajah, Esti merupakan sosok perempuan tangguh. Menurut dia, Esti bertanggung jawab dengan pekerjaannya dan sangat baik bekerja sama dengan mitra. Setiap ada kasus, siang maupun malam, dia langsung menangani. Esti memiliki fisik kuat, badannya sudah terbiasa merawat gajah.

Dirinya bersama Esti dan anggota tim lain, pernah merawat gajah di hutan berhari-hari. Akan tetapi, gajah yang diberi nama Sugeng tersebut tidak kunjung membaik, dan akhirnya dibawa ke Rumah Sakit Gajah. “Berangsur pulih ketikan dirawat di PLG,” ujarnya.

Kamdani bersyukur bisa banyak belajar teknis dan cara pengobatan gajah dari Esti. “Pengalaman bekerja merawat gajah dengan dokter Esti sudah banyak. Bahkan, karena ini juga saya pernah ke Malaysia,” kata lelaki yang sudah delapan tahun bekerja di bagaian tim kesehatan. Sebelumnya, ia berposisi sebagai mahout.

Mendengar dirinya disebut sebagai sosok tangguh, Esti mengelak pernyataan tersebut. “Gak lah, saya kan perempuan kadang ada rasa takut. Saat berada di rumah sakit ini apalagi pergi ke hutan, saya selalu didampingi tim sebanyak enam orang,” ujarnya.

Kecintaannya terhadap gajah [Elephas maximus sumatranus] merupakan alasan utama Esti tetap semangat bekerja, meskipun pekerjaannya ini menguras tenaga dan pikiran. Ada pengalaman bahagia yang selalu diingatnya, ketika dia bersama tim patroli TNWK berhasil mengembalikan anak gajah ke kelompoknya.

“Senang sekali, bisa menemukan kawanannya dan anak gajah tersebut langsung diterima. Rasanya, seperti mengantarkan seorang anak kembali ke ibunya setelah mereka berpisah,” paparnya.

 

Gajah sumatera di PLG Way Kambas, Lampung, yang merupakan satwa kebanggaan Indonesia. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Penerus

Bekerja sebagai dokter gajah di PLG Way Kambas selama 23 tahun, tentunya membuat Esti mampu menghadapi berbagai persoalan. Pengalamannya telah teruji.

Dia berharap, kedepan ada penambahan dokter di Rumah Sakit Gajah juga peningkatan sumber daya manusia sehingga pelayanan untuk mamalia besar itu lebih maksimal.

“Penerus dokter gajah harus ada. Selain itu, usia saya yang menua membuat fisik saya tidak sekuat dulu lagi.”

Fisik itu penting untuk menjadi seorang dokter hewan, terutama satwa liar. Banyak tenaga terkuras, terlebih yang dihadapi gajah maupun harimau dan badak sumatera.

Esti berpesan kepada dokter hewan muda, agar mengenali dahulu satwa yang akan ditangani. Dengan begitu kecintaan untuk merawat dan melindungi akan muncul, tidak sebatas profesi semata.

 

* Fahimah Andini, jurnalis Unit Kegiatan Penerbitan Mahasiswa Teknokra [UKPM Teknokra], Universitas Lampung. Artikel ini didukung Mongabay Indonesia.

 

 

Exit mobile version