- Sebuah studi di Jurnal Nature baru-baru ini menyebut bahwa Pulau Papua memiliki lebih banyak spesies tumbuhan daripada pulau lain mana pun di Bumi.
- Pulau Papua adalah pulau tropis terluas di dunia, atau pulau kedua terluas kedua di dunia setelah Greenland, yang akibat proses geologi pembentukannya, memiliki keunikan ragam hayati yang amat kaya.
- Para penulis telah mengidentifikasikan 13.634 spesies tumbuhan di Pulau Papua, yang hampir 2.000 kali lipat lebih banyak dari Pulau Madagaskar.
- Para peneliti mengatakan bahwa pembuatan daftar spesies-spesies tersebut merupakan langkah penting untuk melindungi mereka dari ancaman perubahan bentang alam.
Keragaman hayati, budaya, dan lansekap di Pulau Papua (New Guinea) telah lama menginspirasi para ilmuwan terkemuka, dari Alfred Russel Wallace hingga Jared Diamond. Papua adalah pulau terbesar di tropis dan terbesar kedua di dunia setelah Greenland, itulah yang membuat pulau ini memiliki beragam spesies yang hidup di dalamnya.
Pulau yang berada di dua negara ini (Indonesia di bagian barat, Papua Niugini di bagian timur), terletak di pertengahan antara bentang daratan Asia, Australia dan benua samudera Oseania. Papua, daratannya menjulang hingga ketinggian lebih dari 4.000 meter, dengan gletser es abadi di puncaknya. Menurut Avibase, database burung global, di pulau ini ada 843 spesies burung yang berhabitat di pulau ini.
“Jika Anda terbang dengan helikopter, Anda akan menjumpai ngarai besar, lalu gunung yang tinggi, kemudian ngarai besar lainnya dan kemudian gunung lainnya,” jelas Mason Campbell, seorang ahli botani dan peneliti di James Cook University di Cairns, Australia.
Dengan bentang alam yang luar biasa itu, tidaklah mengherankan jika para peneliti seperti dimuat dalam Jurnal Nature, 5 Agustus 2020, mengkonfirmasikan bahwa Papua adalah pulau terkaya dengan keragaman hayati tumbuhan di muka bumi.
Para penulis membuat daftar bagi 13.634 spesies tumbuhan di pulau itu, yang hampir 2.000 kali lipat lebih banyak dari Madagaskar, pulau dengan vegetasi paling beragam kedua di planet ini. Namun seiring dengan keberagaman floristiknya yang tinggi, terdapat hal ironis yang dihadapi oleh warga asli di Pulau Papua.
Secara keseluruhan, populasi manusia yang beragam di pulau itu, -di belahan kedua negara, termasuk yang termiskin di dunia. Tingkat sekolah dan literasi rendah dengan harapan hidup hanya sekitar 64 tahun (bandingkan dengan sebagian besar negara di Eropa Barat, dimana angka harapan hidupnya lebih dari 80 tahun).
Baca juga: The Last Glacier, Runtuhnya Salju Abadi Papua
Harus Lindungi Hutan Sebelum Hilang
“Pulau ini merupakan laboratorium alam, dimana kami para ahli biologi evolusi menggunakannya untuk mempelajari lansekap yang terfragmentasi,” ungkap Cámara-Leret, peneliti post doktoral Royal Botanic Gardens, Kew, London dan Universitas Zurich, Swiss.
“Papua adalah salah satu ujung tombak terakhir keanekaragaman hayati. Salah satu area terakhir di mana para peneliti benar-benar berkesempatan turut mempelajari upaya pelestarian penting yang di wilayah yang paling beragam.”
Meski Papua masih memiliki beberapa blok hutan primer yang paling utuh di daerah tropis, dalam dekade belakangan ini, hilangnya hutan di pulau itu telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Lonjakan angka penebangan hutan, pertambangan dan pembukaan perkebunan sawit serta perkebunan lain dalam satu dekade ini meningkat
Lebih dari 11.500 kilometer persegi hutan primer hilang diantara 2002 dan 2019 saja, menurut data dari University of Maryland dan World Resources Institute.
Hal ini tampak bertolak belakang dengan kenyataan, bahwa Pulau Papua telah dihuni paling tidak selama 50 ribu tahun. Namun laju perubahan lahan di pulau ini tak bisa dibandingkan dengan apa yang terjadi sekarang, saat industri ekstraksi mulai masuk wilayah ini.
Terlepas dari pengaruh kerusakan oleh faktor manusia, Pulau Papua tetap menjadi ‘laboratorium alam’ dari evolusi botani dan endemisme yang tak tertandingi, Peneliti menjumpai 68 persen tumbuhan di pulau ini yang tidak ditemukan di tempat lain.
Bagaimana hal ini terjadi?
Para ilmuwan mengatakan itu dimulai dengan proses pembentukan geologi pulau yang kompleks, dengan rangkaian pegunungan yang membentuk puncak yang menjulang tinggi yang mampu menyaingi Pegunungan Alpen di Eropa.
Dengan ketinggian glasial 4.884 mdpl, Puncak Jaya gunung tertinggi di Pulau Papua, membentang hingga garis pantai yang menciptakan habitat bakau, hutan dataran rendah dan hutan hujan pegunungan dan padang rumput.
Dari sisi kerentanan akibat isolasi geografis, keragaman dan endemisme Papua pun terancam karena dalam beberapa kasus dijumpai spesies tumbuhan tertentu yang hanya dapat dijumpai di suatu wilayah habitat tertentu yang sempit.
Kelangkaan dan distribusi yang terbatas ini, membuat spesies-spesies endemik ini rentan musnah hanya dengan sekali penebangan atau pembukaan lahan untuk perkebunan skala besar, seperti sawit.
Tiberius Jimbo, salah satu penulis studi dan ahli biologi tanaman dari Institut Penelitian Hutan Papua Nugini, mengatakan kepada Mongabay bahwa dia telah mengidentifikasi lebih dari 1.000 spesies tanaman endemik Papua yang memenuhi syarat untuk dimasukkan dalam Daftar Merah IUCN.
Pembukaan wilayah juga dapat berawal dari pembukaan ruas jalan. Pada 2019, Campbell dan rekan-rekannya coba menganalisis rencana pembangunan 6.300 km jaringan jalan raya di Papua yang bertujuan menghubungkan komunitas-komunitas terpencil. Hasilnya, tim berkesimpulan pembangunan jalan ini dapat menghancurkan sebagian besar hutan primer.
Baca juga: Kayu Sowang Tumbuhan Asli Pegunungan Cyclops yang Kini Terancam Punah
Tantangan Fragmentasi Hutan
Fragmentasi atau terpecahnya hutan dapat memberi dampak bagi keragaman tumbuhan. Efek domino dari fragmentasi pada komunitas tumbuhan pun berbeda dengan fauna, yang dapat berpindah diantara petak-petak habitat.
“Ini merupakan tantangan baru [bagi para peneliti], untuk memahami bagaimana dampak fragmentasi hutan bagi masyarakat tumbuhan,” ungkap Collins.
Lebih lanjut dia menyebut gangguan bagi tumbuhan hutan seperti penebangan hutan dapat memiliki efek paradoks pada keanekaragaman hutan yang ditinggalkan.
Dalam jangka pendek, ia dapat meningkatkan jumlah spesies dalam area tertentu. Namun, di kasus-kasus tertentu, beberapa spesies tumbuhan masih dapat mampu bertahan, tetapi tidak dapat berkembang biak.
“Katakanlah di sisa bagian fragmen kita dapat jumpai pohon yang telah hidup 400-500 tahun. Tapi kondisi mereka dapat disebut ‘hidup tapi mati’. Kondisi [habitat] tidak memungkinkan benih untuk tumbuh karena adanya pembukaan lahan, seperti pembangunan jalan.”
Pentingnya Harmonisasi antara Pembangunan dan Konservasi
“Tujuan dari apa yang kami buat ini adalah untuk mengetahui seberapa besar ancaman bagi keanekaragaman hayati. Temuan yang kami peroleh dapat menjadi panduan dan sebagai langkah awal [bagi para pengambil kebijakan],” kata Cámara-Leret.
Salah satunya seperti yang telah dilakukan oleh Charlie Heatubun, profesor botani Universitas Papua di Manokwari, Papua Barat yang juga Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda), Provinsi Papua Barat.
Heatubun adalah penemu spesies ‘pinang unipa” (Areca unipa), spesies pinang di Papua yang terancam punah. Saat ini dia sedang menyelesaikan buku tentang keragaman hayati di Papua.
“Dulu banyak kebijakan yang dibuat tanpa dasar ilmiah. Tapi sekarang kami sudah mulai membuat kebijakan berdasarkan data ilmiah,” sebutnya.
Sejak 2015, Provinsi Papua Barat mendeklarasi diri sebagai provinsi konservasi. Pada tahun 2018, Gubernur Papua Barat dan Papua, menandatangani Deklarasi Manokwari, yang isinya berkomitmen untuk melindungi 70 persen wilayah asli di separuh pulau Papua di bagian Indonesia.
“Kebijakan yang kami ambil sekarang adalah yang mengacu pada pembangunan berkelanjutan. Juga mencari kebijakan yang paling tepat untuk meningkatkan mata pencaharian dan [pembangunan] ekonomi masyarakat,” jelas Heatubun.
Di sini peran peneliti menjadi penting untuk dapat mengidentifikasikan keanekaragaman hayati yang ada di daerah tersebut, dan membuat perencanaan bagi wilayah yang memerlukan perlindungan.
Baca juga: Video: Saat Hati Terpukau Cenderawasih, Sang Burung Surga dari Arfak
Citations:
Alamgir, M., Sloan, S., Campbell, M. J., Engert, J., Kiele, R., Porolak, G., Mutton, T., Brenier, A., Ibisch, P. L., & Laurance, W. F. (2019). Infrastructure expansion challenges sustainable development in Papua New Guinea. PLOS ONE, 14(7), e0219408. doi:10.1371/journal.pone.0219408.
Cámara-Leret, R., Frodin, D. G., Adema, F., Anderson, C., Appelhans, M. S., Argent, G., … & Barrington, D. (2020). New Guinea has the world’s richest island flora. Nature, 1-5. doi:10.1038/s41586-020-2549-5
Artikel asli dalam bahasa Inggris berjudul: Study revealing New Guinea’s pant life ‘first step’ toward protection. Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita
***
Foto utama: Sabana pakis pohon di Pegunungan Cromwell di Papua Nugini. Dok: Royal Botanic Gardens, Kew.