Mongabay.co.id

Layang-layang Lake, Cara Orang Mandar Rayakan Angin Timur

Mereka bersiap-siap menerbangkan layang Mandar. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Tampak hamparan sawah ke kaki bukit yang penuh kelapa. Tanah mengering.. Sebelumnya, sawah hijau dengan bulir-bulir menguning, petani pun sibuk panen. Jejak kaki pun tercetak di lumpur yang kini membatu berdebu. Panen padi sudah usai.

Saya berdiri di tepi jalan trans Sulawesi Barat, yang membelah Dusun Katitting, Desa Tandung. Ratusan meter ke timur sana, ada laut lepas membentuk bentang pesisir Tinambung, satu kecamatan di Kabupaten Polewali Mandar.

Siang itu, matahari tepat di atas kepala. Angin menderu menghembus hawa panas nan lengket dari laut, kerumunan orang di sawah itu seakan tak peduli. Mereka  tampak bahagia. Karena di masa pandemi corona, mereka pakai masker dan berusaha jaga jarak.

Pedagang es dawet yang berjualan, tertiban untung. Laris manis.

Akhir Agustus itu adalah puncak Festival Layang-layang Lake, pesta rakyat yang saban tahun digelar ketika selesai panen. Layang-layang lake adalah kekhasan orang-orang Suku Mandar, salah satu pemangku budaya maritim terbesar di nusantara. Ini tahap final, setelah 300 layang-layang beradu di angkasa. Memamerkan keindahan. Menunjukkan hasil ketangkasan pembuatnya pada juri.

Tiga ratus hanyalah angka yang tercatat di panitia, ratusan lain turut menyemarakkan.

“Ayo naikkan! Lagi bagus ini angin, jangan disia-siakan. Tahun depan lagi baru ada ini angin,” sorak pemandu acara dari pengeras suara.

 

Gambar cadas manusia bermain layang layang di Muna. Foto: Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman

 

Kuning. Merah. Hitam. Ratusan layang-layang itu melayang di angkasa. Ada seukuran motor, tujuh meter, atau tak lebih semeter. Bentuk seragam—menyerupai burung Mandar: kepala dengan leher panjang, perutn bundar, ekor mengepak. Di bawah, pemandu acara terus bersahut menyemangati.

Beginilah, cara orang Mandar merayakan angin musim timur, angin yang berhembus dari Benua Australia yang tengah dingin, ke Benua Asia melalui Indonesia. Angin ini berpuncak pada Agustus, menandakan musim kemarau.

Selain bentuk, layang-layang lake punya keunikan pada ekornya. Pata’, begitu orang menyebutnya.

Pata’ seperti bulu ekor burung, yang menjuntai indah, menampilkan gambar kolase ketika terbang. Bagian itu bagai kanvas lukis. Semua bebas menggambar semaunya. Ada wajah Sultan Hasanuddin. Klub bola. Lambang instansi pemerintah. Partai politik. Terserah. Yang jelas, ketika mengudara, gambar pada renda plastik yang terurai itu membuat orang di bawah sana berdecak kagum.

Lebar layangan itu tujuh meter, perut dan kepala berkelir hitam. Ekor merah bertepi putih. Tulang utama adalah rangkaian bambu diselimuti balok pipih 5 cm, dikuas cat emas mengkilat. Dari kepala hingga ujung kepakan sayap, memanjang 10 meter, 15 meter, sisanya, pata’ yang bergambar lambang Kabupaten Polman.

Di bagian leher terbentang busur, atau dalam Mandar; Rango-rango (Balanipa), Busor-busor (Majene). Dari busur inilah suara getar merambat dari langit ketika angin menerpa.

Sam, asal Kandemeng, Desa Batulayang, Polman. Dia bersama kawannya mengerjakan layangan ini selama 70 hari. Upah sebagai kuli bangunan dia sisihkan buat patungan mengongkosi pengerjaan layangan ini. Total terkumpul Rp4 jutaan.

Bagi Sam, ini cara mereka mengisi waktu sehabis panen dan melestarikan budaya mapparaik layang lake (menerbangkan layang-layang lake), warisan nenek moyang Suku Mandar. “Ini kan kalau musim timur, kemarau. Tidak ada lagi yang urus sawah. Itulah masyarakat adakan pesta begini, tiap tahun. Menyambut musim barat.”

 

Warga bersiap terbangkan layang-layang lake. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Entah kapan orang Mandar memulai budaya ini, tak ada catatan pasti memang. Pada 1996, La Hada, juru pelihara Kompleks Goa Kobori, menemukan 18 gambar cadas di dinding ceruk Sugi Patani, 700 meter dari Kompleks Kobori, 250 meter di atas permukaan laut di Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.

Di antara gambar cokelat berfigur manusia hasil kuasan jari itu, ada gambar manusia bermain layang-layang, di permukaan plafon ceruk.

Gambar itu berkesan sederhana: hanya orang-orangan lidi memegang tali yang tersambung layangan, yang mungkin sedang terbang. Entah ekspresi orang di gambar itu sedang berbahagia atau sebaliknya. Yang pasti, ‘sang pelukis’ seperti ingin mengabadikan momen itu, momen yang dianggap penting dan kini menggelitik para arkeolog dan antropolog modern.

Siapakah yang menggambar itu? Dia dikenal sebagai “out of Taiwan,” orang-orang yang pada 6.000 tahun lalu bermigrasi dari Taiwan, lalu turun ke Sulawesi melalui Filipina dan berpencar seantero musantara hingga Madagaskar. Ras penggambar itu adalah mongoloid, penutur bahasa Austronesia. Pula dikenal sebagai pelayar andal, penunggang perahu cadik.

Penutur austronesia ini kemana pun acap menjejakkan budaya pertanian awal, neolitik. Mereka adalah Homo sapiens, manusia modern yang hingga kini memiliki keturunan di nusantara, sejak perkiraan kedatangan 4.000 tahun silam.

Sapiens satu ini lebih mahir beradaptasi dari sebelumnya, ras Australomelanesid. Dia mampu berinovasi sesuai kondisi daerah yang mereka ‘taklukkan’ dan mampu mendomestikasi hewan, seperti bukti gambar cadas manusia penunggang kuda, atau anjing yang dibawa berburu.

Di beberapa ceruk dan goa di Muna, dimana gambar cadas layangan ditemukan, diduga dimukim oleh kelompok penggembala dengan kehidupan ekonomi yang kompleks. Sebab, layang-layang dibuat menggunakan peralatan dan oleh orang khusus, ciri dari kelompok itu.

Lukisan layangan hitam itu, hasil corengan arang, dibuat pascatradisi oker (bahan merah yang paling umum dari gambar cadas yang lebih tua), kehidupan yang tidak jauh dari masa kini.

Temuan di Muna, temuan penting, sebab bagi peneliti, gambar cadas layang-layang itu sama bentuknya dengan Kaghati Kolope, layang-layang tradisional Muna yang masih dibuat dan dipakai oleh masyarakat setempat hingga sekarang. Ia terbuat dari kerangka bambu dan daun kolope, sejenis umbi hutan.

Layang Mandar mengudara. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Selain itu, gambar adegan mamalia dan layang-layang merupakan cerita yang masih dituturkan oleh tradisi lisan masyarakat Muna hingga sekarang. Iapun jadi ikon festival layang-layang di Muna.

Wolfgang Bieck, pencinta layang-layang asal Jerman pernah mempublikasikan temuan Muna ini, pada 2003 di Majalah Jerman, berjudul The First Kiteman. Bieck setelah awal kunjungan pada 1997, mendeklarasikan bahwa layang-layang di goa di Muna itu layang-layang pertama yang pernah diterbangkan oleh manusia. Ada sejak era Epi-paleolitik (periode Mesolitikum), atau sekitar 9.000-9.500 SM.

Selain di Muna, gambar cadas layang-layang pula ditemukan di situs Bulu Sipong II, di karst Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan. Berwarna hitam, persis warna gambar di Muna.

“Layang-layang adalah budaya Austronesia dan merupakan tradisi yang berkaitan dengan keberhasilan pertanian,” kata Budianto Hakim, arkeolog Balai Arkeologi Makassar.

Menurut Budianto, tradisi layang-layang jamak ditemukan di budaya Bugis, Makassar, dan Mandar. Di Bugis dikenal dengan pitu-pitu. “Umumnya, kegiatan bermain layangan marak setelah panen selesai.”

 

***

Kini layang-layang itu dipentaskan, diperlombakan. Pada festival layang-layang lake barusan, ada empat kategori penilaian: kebersihan, ketenangan, keserasian warna, derajat terbang.

Jasman, petani usia 47 tahun, kawan Sam, ingin festival ini dimaknai sebagai pesta, tempat masyarakat bisa meluapkan kreativitas dan kebahagiaan sehabis panen. “Biar tidak ada yang merasa kecewa kalau kalah.”

Jasman ingin, pesta ini didukung pemerintah. Hitung-hitung, katanya, sebagai upaya pelestarian budaya mereka, yang makin hari tergerus.

 

 

Keterangan foto utama: Mereka bersiap-siap menerbangkan layang Mandar. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version