Mongabay.co.id

Keluhan Seputar Pembangkit Panas Bumi, Ada Omnibus Law Khawatir Perburuk Kondisi

Wilayah terbuka di Ulumbu, yang jadi obyek wisata sumber energi panas bumi. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Jekson L Tobing, warga Desa Banuaji, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, sudah dua tahun belakangan mengalami gagal panen, di sawah maupun kebun kemenyan.

“Kemenyan pada gosong,” katanya.

Mula-mula, warga menemukan buih bening muncul di area persawahan mereka. Buih muncul dari lubang-lubang yang juga mengeluarkan aroma belerang. Lama kelamaan bau belerang terasa hingga ke dekat kampung.

Februari 2020, kata Jekson, pemilik sawah meninggal dunia di tengah sawah miliknya.

Tak jelas penyebab pemilik sawah ini meningal, namun, warga menduga tanaman rusak dampak operasional pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Sarulla sekitar lima kilometer dari Desa Banuaji.

PLTP ini baru beroperasi empat tahun lalu. Meski kebun kemenyan sekitar 20 kilometer dari lokasi PLTP, namun Jekson merasakan perbedaan produksi tanaman dibanding sebelum ada PLTP.

Sejak Maret lalu, Jekson memimpin perwakilan tiga desa terdampak lain melaporkan dugaan ini ke Pemkab Tapanuli Utara. Mereka meminta pemerintah hentikan sementara operasional PLTP dan melihat dampak pada sawah dan kebun kemenyan warga.

Jekson juga hendak melaporkan ini ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) yang mengeluarkan izin dan jadikan Tapanuli Utara sebagai wilayah izin panas bumi.

“Saya makin khawatir masyarakat sulit melakukan tuntutan,” katanya.

Kekhawatiran ini setelah Jekson mendengar kisah warga di beberapa lokasi lain yang juga terdampak proyek energi panas bumi skala besar.

Pada 2006, di Mataloko, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur proyek panas bumi menimbulkan semburan uap dan lumpur panas. Seminggu setelah semburan petugas proyek menutup lubang semburan dengan sekitar 200-an truk batu dan 1500 sak semen.

Alih-alih menutup titik itu, semburan malah menjangkau titik lain di wilayah sekitar.

“Muncul semburan di wilayah seluas sekitar lima hektar,” kata Alsis Goa, Direktur Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC OFM), Nusa Tenggara Timur.

 

Pipa-pipa sumur uap yang memproses panas bumi jadi energi. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Sebelum ada eksplorasi panas bumi dan penetapan NTT sebagai pulau geothermal oleh KESDM, kata Alsis warga Mataloko, hidup dari sawah yang diolah dua kali setahun. Satu musim bisa panen tiga ton. Mereka juga hidup dari berbagai komoditi seperti alpukat, kemiri, kopi, cengkih, labu dan tanaman kayu dan bambu. Mataloko, kata Alsis, juga terkenal sebagai penghasil sayuran.

Saat kejadian 2006, semburan uap dan lumpur merusak tanaman warga. Warga juga meyakini atap seng rumah lebih cepat berkarat sejak saat itu.

Warga menanti hingga enam tahun kemudian, pada 2012, pemerintah baru memberikan bantuan berupa beras, mi instan, ikan, dan seng. Saat itu juga baru ada pusat pelayanan kesehatan untuk warga yang terkena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

“Selain ISPA, masyarakat juga mengalami gatal-gatal. Kalau musim hujan lebat ada dentuman-dentuman di lubang-lubang itu yang menimbulkan ketakutan.”

Ini juga diikuti beberapa rumah retak, jagung dan kemiri yang meski tumbuh namun tak berisi. Bambu dan enau yang biasa untuk bikin minuman tradisional, hancur dan tak berair. Kolam-kolam ikan tak bisa lagi dipakai.

“Tanaman holtikultultura, sayuran, hancur karena muncul semburan baru, tercemar lumpur dan belerang,” katanya.

Warga mempertanyakan janji sosialisasi perusahaan untuk pengadaan listrik bagi desa kalau PLTP beroperasi.

“Sampai sekarang, listrik di Mataloko tak pernah menyala.”

Tak jauh dari Mataloko, masyarakat adat Waisano di Flores Barat, juga menolak kehadiran PLTP Waisano dengan mengirim surat kepada World Bank sebagai pendana utama proyek ini.

Masyarakat adat khawatir karena titik pengeboran berada dalam ruang hidup mereka.

“Di Mataloko saja yang jauh dari pusat pengeboran, dampak ekologi luar biasa. Apalagi ini yang persis dalam ruang hidup mereka,” kata Venan Haryanto, pendamping masyarakat adat Waisano.

Berbagai upaya warga lakukan untuk menyampaikan aspirasi dan penolakan terhadap industri skala besar ini. Mulai dari protes di pemerintah daerah, hingga pusat. Pemerintah daerah mengatakan, tak punya wewenang soal rencana pembangunan PLTP karena izin langsung oleh kementerian.

Satu cerita penolakan warga Padarincang, Banten, terhadap PLTP. Warga protes di daerah tak didengar, mereka pun jalan kaki ke Jakarta. Mereka protes ke Kementerian BUMN.

Ikmal, warga Padarincang mengatakan, setelah musyawarah antara KBUMN, pemerintah provinsi dan warga, disepakati agar perusahaan sosialisasi kembali.

Alih-alih menjawab pertanyaan masyarakat siapa yang akan bertanggungjawab kalau terjadi kerusakan ekologis akibat pengeboran panas bumi, menurut Ikmal masyarakat malah ditakuti dengan adanya “tim delapan” dan “tim sepuluh” yang mencoba menakuti warga yang menolak.

“Warga tak gentar melakukan perlawanan dengan kompak. Tim selalu gagal. Dua alat berat yang coba didatangkan perusahaan dihadang warga dan dikembalikan,” katanya.

“Dalam setiap aksi penolakan PLTP, pertanyaan utama masyarakat adalah PLTP menghasilkan listrik untuk siapa? Siapa yang akan bertanggungjawab jika terjadi dampak pencemaran akibat semburan uap dan lumpur?”

Di Mataloko, hingga saat ini listrik tak menyala. Di Waisano, listrik disebut untuk pariwisata premium Labuan Bajo yang tidak berbasis masyarakat. Di Malang Jawa Timur, juga jadi target pembangunan PLTP, bahkan sudah terpenuhi kebutuhan listriknya saat ini.

Wendra Rona Putra, Direktur LBH Padang, lembaga yang mendampingi warga Kabupaten Solok juga menolak pembangunan PLTP di Gunung Talang, Sumatera Barat, menilai, sejauh ini tak ada keberpihakan dari kebijakan untuk merespon pertanyaan umum yang muncul di masyarakat.

“Seperti, adakah risiko dampak di kemudian hari bagi masyarakat?”

 

Maddul yang khawatir, berharap, kehadiran pembangkiit panas bumi tak ancam kehidupan warga desa. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Omnibus law

Kini, berbagai kalangan makin khawatir dengan ada Rancangan Undang-undang Cipta Kerja, aturan yang menyederhanakan berbagai aturan atau omnibus law, bakal makin mengancam kehidupan warga dan lingkungan.

“Ada pelonggaran regulasi terkait perizinan panas bumi,” kata Ki Bagus Hadikusuma, dari simpul belajar Jatam.

Dengan UU No 21 saja, setelah panas bumi keluar dari sektor pertambangan, wilayah izin bisa masuk ke kawasan hutan lindung dan konservasi.

Kalau omnibus law terkait panas bumi berlalu, di mana semua kewenangan termasuk pengawasan, pembinaan, pengelolaan data informasi geologi ditarik ke pemeirntah pusat. Kondisi ini, katanya, membuka peluang besar bagi pejabat pemberi izin untuk menutup akses informasi masyarakat.

“Peluang masyarakat untuk kontrol makin kecil. Selama ini akses untuk protes atau melapor selalu di ping pong di lapangan” katanya.

Kalau merujuk beberapa dalam omnibus law soal panas bumi, ketentuan soal sanksi berupa penghentian sementara atau pencabutan izin kalau terjadi pelanggaran dalam UU sebelumnya, dihapus. Sanksi akan diatur dalam aturan turunan. Kondisi ini, katanya, juga akan membuka peluang pelonggaran sanksi bagi pelaku usaha.

“Jadi detail sanksi ada di PP bukan Undang-undang.”

Begitu juga soal pengadaan tanah dalam panas bumi, akan diubah. Dalam UU sebelumnya, penyelesaian hak atas tanah dengan musyawarah, ganti rugi, tukar guling dan lain-lain, dalam omnibus law jadi rancu karena dinyatakan sesuai ketentuan perundang-undangan berlaku.

Dia memprediksi, perampasan lahan akan makin massif dengan dalih energi bersih dan pembangunan.

Jatam khawatir, korban perampasan lahan akan makin berjatuhan karena omnibus law. Mengapa? Ketika negara sudah mengklaim hak atas tanah maka bisa saja terjadi kriminalisasi warga yang menolak proyek.

Belum lagi ada potensi pelemahan hukum karena omnibus law juga mengatur, penyidik perkara harus melapor kepada Polri. Sementara, kata Bagus, banyak konflik kasus terkait hak atas tanah berkaitan dengan polisi.

Era Purnama Sari, Wakil Ketua Advokasi YLBHI menilai, perubahan UU Panas Bumi dalam omnibus law tak bisa dilihat dari satu sisi. Banyak aturan lain yang berkaitan dengan UU ini, yang menurut YLBHI, menunjukkan wajah otoritarianisme orde baru kembali.

Dia bilang, mulai dari makin sempit ruang berekspresi rakyat, diikuti pusat kekuasaan ke pemerintah pusat, bahkan mereduksi peran yudikatif terhadap eksekutif.

“Wajah omnibus law ini menghalalkan segala cara tak peduli melanggar hak asasi manusia, hak lingkungan, yang penting proyesk strategis nasional dipercepat tanpa ada halangan perizinan.”

Peneliti dan pendiri Sekolah Ekonomi Demokrasi, Hendro Sangkoyo menyoroti potensi bencana yang luput dari pembahasan omnibus law terutama terkait pengeboran panas bumi.

Menurut Yoyok, sapaan akrabnya, Indonesia berada di cincin api punya potensi bencana rumit. Potensi panas bumi berada pada retakan vulkanisme yang besar.

“Bagaimana risiko bencana ini diberlakukan? Siapa yang mengambil manfaatnya dan siapa yang kena risiko terbesar?”

Saat pengembang proyek menghitung risiko, dan mengklaim risiko industri panas bumi menurun sesuai tahapan, Yoyok menyangsikan, risiko sudah menyangkut yang ditanggung bersama, terutama warga.

Untuk menjawab ini, Yoyok meminta akademisi ambil peran menjelaskan potensi risiko ini secara komprehensif. Karena potensi bencana di lokasi industri panas bumi akan merugikan masyarakat sekitar.

Yoyok mencontohkan, gempa di PLTP Pohang, Korea Selatan bahkan bisa mencapai 5,5 SR.

“Kemungkinan bencana itu bukan hanya teori.”

 

 

Keterangan foto utama:  Wilayah terbuka di Ulumbu, yang jadi obyek wisata sumber energi panas bumi. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

Sebagian besar masyarakat sekitar Gunung Talang Bukit Kili khusus Nagari Batu Bajanjang di Gunung Talang Bukit Kili, Kecamatan Lembang Jaya, Kabupaten Solok bergantung hidup kepada sektor pertanian. Mereka khawatir pembangunan tambang panas bumi itu akan berdampak negatif bagi kelangsungan hidup masyarakat. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version