Mongabay.co.id

Legenda, Hutan dan Nasib Predator Terakhir Jawa

 

Satwa predator di Sunda, sebagian diyakini sebagai ikon evolusi kekuatan dan kebajikan manusia. Bertahan dari kerakusan zaman, predator endemik ini kini tersisa satu spesies lagi, yaitu macan tutul jawa (Panthera pardus melas). Itupun dalam bahaya. Rapuh bersama mitos yang pelan-pelan meluruh.

***

Di tatar Sunda banyak tempat yang diberi nama dengan satwa penguasa hutan Jawa itu. Di antaranya Cimacan, Cimaung dan Leuwi Maung. Bahkan, dalam seni bela diri pencak silat sekalipun macan digunakan sebagai jurus pamungkas seperti Pamacan dan Cakar maung.

Macan tutul jawa dan harimau jawa memang dekat dengan silsilah orang Sunda. Erat kaitannya dengan sosok Prabu Siliwangi. Tokoh ini sangat terkenal dalam leluri, legenda, carita pantun Sunda, dll.

Adalah raja yang adil palamarta, welas asih, sakti, bijaksana, punya pandangan jauh ke depan bak ahli ramal. Tak sedikit yang percaya, jika raja yang harum namanya itu masih hidup serta selalu menjaganya yang pada waktu tertentu kalau perlu menjelma sebagai harimau, memberikan wangsit untuk menjadi pedoman anak-cucunya orang Sunda dalam menempuh kehidupan, dan semacamnya.

Begitulah Prabu Siliwangi, sosok Sri Baduga, cucu Wastukancana (1371-1475) yang bertakhta di Galuh, daerah yang kini termasuk Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, lekat direlung orang Sunda. Sekalipun, budayawan Sunda Ajib Rosidi dalam tulisan-tulisannya tentang kesundaan menyimpulkan bahwa Prabu Siliwangi dalam alam pikiran orang Sunda lebih merupakan mitos.

Alasannya, para ahli sejarah tidak berhasil menemukannya dalam sumber-sumber sejarah seperti prasasti. Sehingga dianggap hanya sebagai tokoh sastera saja.

baca : Harimau Sumatera Itu Bagian dari Peradaban Masyarakat

 

Lukisan Prabu Siliwangi yang dikelilingi oleh harimau. Sumber : ajianmacanputih.com

 

Meski begitu, kata Ajib, mitos merupakan cara manusia memahami sejarah. Sebagaimana ilmu, mitos juga digunakan sebagai cara pandang atau paradigma untuk menganalisa peristiwa.

Keputusan Gubernur Jabar No.27/2005 menjadikan macan tutul sebagai indentitas fauna Jabar merupakan peristiwa penting. Setidaknya, pamor itu berguna untuk konservasi predator terakhir di Jawa saat ini.

Kehilangan harimau bali (Panthera tigris balica) pada tahun 1940-an, menyusul harimau jawa (Panthera tigris sondaica) yang juga punah 30 tahun kemudian, jelas merupakan alarm genting.

baca juga : Wawancara Profesor Gono Semiadi: Harimau Jawa Sudah Punah Secara Ilmiah

 

Perubahan Mitos

Menurut Guru Besar Etnobiologi Universitas Padjajaran Bandung, Johan Iskandar, secara tidak langsung fenomena kepunahan harimau telah menimbulkan perubahan sosial-budaya di masyarakat. Sebab sejatinya, penduduk pedesaan di Indonesia dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya hayati dan lingkungannya dipengaruhi kuat oleh pengetahuan lokal dan kepercayaan akan sebuah pantangan.

“Sekarang kepercayaan penduduk terhadap macan telah berubah. Banyak tidak percaya lagi pada mitos.Itu suatu kerugian bagi konservasi,” katanya dihubungi awal September lalu.

Sejauh ini hanya lukisan Raden Saleh yang masih “bercerita” tentang macan loreng. Semisal, lukisan Kebakaran Padang Rumput tahun 1849. Pada lukisan 300 x 398 cm, Raden Saleh sengaja membikin orang marah dengan tragedi kebakaran yang mengepung satwa hingga ujung jurang.

Boleh dibilang, harimau punya tempat special bagi pelopor seni modern Indonesia itu. Harimau menjadi binatang ketiga terbanyak dalam lukisan-lukisannnya, setelah banteng dan singa. Ia melukis binatang itu sebagai penghormatan kepada alam tropis.

menarik dibaca : Mungkinkah Harimau Sumatera, Jawa, dan Bali Sebagai Satu Subspesies?

 

Lukisan Raden Saleh berjudul Boschbrand (kebakaran hutan) tahun 1849 yang bergambar harimau dan banteng. Sumber : historia.id

 

Sejarawan Peter Boomgaard menulis Frontiers of Fear: Tigers and People in the Malay World, 1600-1950 yang juga memakai lukisan Raden Saleh sebagai sampul bukunya terbit tahun 2001 itu banyak tersimpan kisah menarik. Profesor Emeritus di Bidang Sejarah Ekonomi dan Lingkungan Asia Tenggara, khususnya Indonesia di University Amsterdam ini secara gamblang menguraikan bagaimana harimau hadir sehari-hari dalam kebudayaan Jawa dan Sumatera. Boomgraad merekam tentang tata cara masyarakat mempersiapkan persembahan agar harimau tak membahayakan mereka.

Menurut Johan, kearifan lokal telah menjadi konservasi alami harimau selama ratusan tahun. Terlebih bagi sebagian masyarakat memandang harimau menjadi sosok yang ditakuti sekaligus dihormati. Baik harimau di Sumatera, Jawa dan Bali kerap diasosiasikan dengan leluhur. Pendeknya, macan loreng adalah satwa keramat yang dituakan.

“Dulu (harimau) di Sunda disebut menak, Jawa simbah dan Sumatera datuk. Mereka memperlakukan dengan terhormat,” ujarnya. Sikap hormat ini mempengaruhi etika ketika manusia bertemu harimau. Mereka tidak kaget sehingga mengurangi konflik.

Sedangkan William Marsden dalam buku History of Sumatera (1783), masyarakat Sumatera saat itu jarang yang berburu harimau. “Kepercayaan mistik yang sangat kuat membuat warga enggan berburu harimau. Padahal, pemerintah (Belanda) menawarkan uang banyak bagi orang yang bisa membunuh harimau,” tulis Marsden seperti di kutip Kompas.id.

baca juga : Masa Depan Harimau Sumatera di Tangan Kita

 

Perburuan harimau Jawa pada jaman kolonial Belanda di Indonesia. Foto: Profauna.

 

Perburuan Harimau

Pemerintah kolonial, yang tidak dicekam mitos-mitos tentang harimau memimpin pembantaian besar-besaran harimau di Jawa dan Bali, seiring dengan pembukaan lahan pertanian dan permukiman yang merangsek ke hutan. Hal ini diteruskan pada era kemerdekaan.

Peter Boomgraad juga menulis bahwa Jawa lebih sering membunuh harimau ketimbang Sumatera. Mungkin juga karena hutan Sumatera lebih rimbun, sementara di Jawa hutan dibuka selama masa kerja rodi dan politik etis.

Apalagi di masa itu adanya perubahan pandangan budaya. Semisal, kata Boomgraad, raja-raja Jawa kerap memiliki kandang harimau dalam istananya. Keberadaan kandang-kandang tersebut berkaitan dengan ritual yang dikenal rampogan sima atau macan. Dimana harimau dan macan tutul diburu beramai-ramai menggunakan tombak di sebuah tanah lapang.

Ritual ini berlangsung sejak abad 17-19. Selain semacam ritual untuk uji nyali dan unjuk gigi prajurit istana, juga merupakan simbol penjajahan. Sialnya, macan ditaruh sebagai manifestasi bangsa penjajah. Dan perlu dibumihanguskan.

Kendati pada pascakolonial macan loreng jawa dilindungi undang-undang, tetapi tetap saja macan loreng dianggap sebagai binatang merugikan pengembangan tanaman ekspor seperti kopi, kakao, tembakau dan teh. Persoalannya Belanda mengembangkan budidaya itu di habitat harimau.

Menurut Boomgaard, seiring pembukaan hutan untuk perkebunan secara besar-besaran, konflik antara harimau dengan manusia terus meningkat. Contohnya, tahun 1855 saja, sebanyak 147 orang di Priangan tewas dimangsa harimau. Sedangkan jumlah harimau yang dibunuh sebanyak 1.100 ekor per tahun di pulau Jawa.

Maka, tidaklah heran pemerintah Belanda bagi-bagi gulden kepada siapa saja yang berhasil membunuh macan loreng. Pada masa itu, uang ganjaran untuk pemburu nilainnya 25-50 gulden. Bagi orang jawa, hadiah segitu cukup untuk bekal makan setahun penuh.

perlu dibaca : Solusi Utuh Diperlukan dalam Mendalami Konflik Manusia dengan Harimau Sumatera

 

Harimau Jawa yang mati diburu pada Mei 1941 di Malingping, Banten. Foto: Wikimedia Commons/Tropenmuseum/H.Bartels

 

 

Menuju kepunahan

Melihat kian kentaranya konflik antara macan dengan manusia masa kini, sepertinya hanya soal waktu harimau sumatera juga akan menyusul dua kerabatnya yang telah lebih dulu punah.

Bayangkan saja, setiap hari, hutan di sana hilang seluas 18.774 kali lapangan sepak bola. Pernah lihat lapangan sepak bola? Kalikan saja dengan angka itu. Maka, dalam setahun hutan seluas satu setengah provinsi Jawa Barat hilang dari muka bumi.

Agaknya, kehilangan hutan bakal berujung kepunahan. Kata Johan, kepunahan pemuncak rantai makanan dalam sebuah ekosistem berarti mengkatrol kepunahan flora fauna lainnya. Setidaknya, Jawa memiliki kekayaan flora 6.534 jenis. Untuk fauna, seperti burung, dari sekitar 536 jenis di Jawa, sebanyak 430 jenis burung tercatat ada di Jawa bagian Barat. Kini, barangkali separuh dari angka itu musnah. Adapun hutan tersisa di Pulau Jawa menurut catatan Forest Watch Indonesia (FWI) adalah 905.885 hektar pada tahun 2017

Peneliti ahli utama Litbang KLHK Hendra Gunawan menyatakan ancaman utama dari keberlangsungan Panthera pardus melas adalah kehilangan habitat. Forum Macan Tutul Indonesia, memprediksi populasinya di kantung hutan tesisa tak lebih dari 600 individu. Sumber lain menyebutkan keberadaannya kurang dari 250 individu.

Seperti diingatkan Rodolfo Dirzo dalam tulisannya di jurnal Science (2014), dominasi homo sapiens di Bumi saat ini mengarah pada Anthropocene defaunation, yaitu pemusnahan fauna akibat ulah manusia, yang pada ujungnya membawa malapetaka pemusnahan massal keenam kalinya di Bumi. Agaknya, kepunahan itu makin tampak di Jawa. Sebagaimana hutan Jawa kehilangan kemagisannya bagi manusia. Selagi itu “budaya hormat” kita pelan-pelan hilang. Pada akhirnya, kita juga yang ketiban akibatnya.

perlu dibaca : Pertaruhan Nasib Macan Tutul Jawa dengan Manusia

 

Macan tutul jawa yang terekam kamera jebak di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Foto: Conservation International/TNGHS

 

Exit mobile version