Mongabay.co.id

Menghidupkan Kebun Kolektif di Tengah Pageblug

 

Sebuah kebun sayur berdiri di atas lahan bekas gundukan sampah di salah satu sudut Kota Denpasar, Bali. Lahan ini sebelumnya kumuh, penuh batu bekas material bangunan, sampah aneka jenis termasuk pakaian dalam, sampai limbah dagangan makanan yang berada di sekitarnya.

Dikunjungi Agustus lalu, lahan tak terawat ini telah berubah jadi kebun dengan visualisasi virus corona penyebab Covid-19 di tengah-tengahnya. Bulatan dari kayu ini berisi polibag-polibag berisi bayam brasil. Di sekitarnya ada gundukan-gundukan tanah dengan kompos penuh dengan aneka sayuran. Terlihat sehat berukuran besar. Misalnya bayam merah, tiap helai daunnya berukuran dua kali telapak tangan.

Demikian juga sayur hijau dan sawi. Tinggal memetik helai-helai daunnya, tanpa memotong batang, sudah mendapat pasokan cukup untuk menu harian. Untuk mengamankan kebun, pagar bambu dikombinasi pohon ketela.

Sore itu, sejumlah warga Banjar Tegeh Sari, Denpasar Utara beraktivitas di kebun untuk menyiram dan merawat aneka tanaman sayur yang dimulai saat pagebluk Corona ini melanda pada Maret 2020. Ada yang menyiram, membersihkan gulma, dan rerumputan liar yang tumbuh di sela-sela mulsa jerami.

Sejumlah drum terlihat di sekitar kebun. Ada yang berisi air, harus diisi ulang karena belum ada keran. Ada juga tong biru berisi cairan berwarna keruh. Inilah cairan sakti, pupuk organik cair buatan sendiri yang membuat aneka sayur terlihat segar, sehat, dan berukuran jumbo.

Untuk mengurangi hama, ada sejumlah perangkap hama dari bekas botol plastik yang dipasang di beberapa sudut. Inilah desain kebun permakultur untuk urban farming yang direncanakan sebagai pertanian organik dan tak tergantung input luar.

baca : Begini Mitigasi Dampak Pandemi ala Desa Tembok Buleleng Bali

 

Di atas lahan 10 are bekas tempat pembuangan sampah ini kini berubah jadi kebun berdaya, kebun-kebun kolektif yang lahir di tengah krisis pagebluk Corona di Banjar Tegeh Sari, Denpasar, Bali. Foto: Luh De Suriyani

 

Kelian (pimpinan banjar) Adat Tegeh Sari Putu Gede Himawan Saputra juga saat itu sedang nampak di kebun. Ia sedang berdiskusi di sebuah saung di sudut kebun. Banjar adalah unit sosial kemasyarakatan terkecil di Bali, setingkat RT/RW. Di satu desa ada beberapa banjar, tergantung jumlah penduduknya. Tak hanya pejabat yang mengatur soal kedinasan seperti kependudukan, juga ada pengurus adat bagi warga Hindu di banjar tersebut.

“Jika kita baik sama alam, maka alam baik sama kita,” ia memulai percakapan dengan rasa syukur. Karena dimulai dengan semangat, bukan dana banjar. Gerakan membuat kebun bersama ini hanya difasilitasi banjar, setelah munculnya kesepakatan (perarem) tentang pemanfaatan lahan terbengkalai.

Setelah satu tahun menjabat sebagai pimpinan banjar, Gede melihat banyak lahan telantar yang dijadikan tempat pembuangan sampah anorganik sampai limbah besar seperti kasur. Di lahan Kebun Berdaya pertama ini, demikian mereka menyebutnya, juga ada limbah dari dagangan yang berderet sekitarnya. “(Sampah itu) dicari anjing dan bau,” keluhnya. Ternyata di banjarnya, banyak lahan dimiliki orang Jakarta, Surabaya, dan orang Bali yang tak difungsikan. Luasnya pun lumayan, paling sedikit 4-12 are.

Banjar merancang kesepakatan agar lahan yang telantar dan sudah jadi tempat pembuangan sampah (TPS) ilegal atau berpotensi TPS ini bisa digunakan untuk hal yang bersifat sementara. Jika pemilik hendak membangun, lahan serta merta dikembalikan.

“Lahan tidur tak dipagar, tak dibersihkan, kita yang memagari. Ada yang memagari sendiri, akhirnya bersih. Kan tidak kumuh. Jika tak mau membersihkan, kita yang bersihkan,” lanjutnya.

baca juga : Geliat Petani Muda Bali di Tengah Pandemi : Terintegrasi Teknologi Informasi [Bagian 4]

 

Di atas lahan 10 are bekas tempat pembuangan sampah ini kini berubah jadi kebun berdaya, kebun-kebun kolektif yang lahir di tengah krisis pagebluk Corona di Banjar Tegeh Sari, Denpasar, Bali. Foto: Luh De Suriyani

 

Permakultur Urunan

Setelah ada kesepakatan, salah satu ide pemanfaatan adalah berkebun sayur. Salah satu alasannya, sumber ketahanan pangan di masa pandemi ini. “Minimal warga banjar tak perlu beli sayur. Ada cabe, terong, sawi, bayam brasil, ketela, daun singkong. Saat ini pengangguran banyak, minimal ada sayur, beras dibeli. Minimal imun meningkat, kita sehat,” Gede bercerita dengan semangat.

Sejumlah orang dari komunitas Alam Shanti dan Yayasan IDEP pun membantu memberikan pelatihan dan menunjukkan cara berkebun permakultur. Seperti membersihkan lahan, membuat bedengan, menyemai bibit, menanam, membuat pupuk organik, dan lainnya.

Ternyata setelah berproses, ia mengatakan asyik berkebun, padahal tak ada yang berpengalaman jadi petani. Di Kebun Berdaya pertama ini didedikasikan untuk pengurus banjar (prajuru) yang dikelola warga berbagai latar belakang pekerjaan seperti marketing, sales akuntan, penyewaan kamera, supir, tukang. “Kita otodidak, karena kita mau memelihara alam, direspon alam. Tak sepeser pun menggunakan uang banjar, semua donasi,” seru Gede.

Bahkan ada yang menganggur atau dirumahkan ikut membantu membuat bibit. Gede menyebut kini ada pihak pemerintah datang dan memberikan bantuan dana.

Lahan 10 are yang diolah saat ini disebut milik sebuah perusahaan dari Surabaya. Karena tak diketahui kontak pemiliknya, mereka mengecek sampai akhirnya bekerjasama dengan sebuah apotek terdekat yang menjadikan sebagian lahan untuk parkir.

Saat ini, di gang berbeda, sebuah kebun kolektif sudah terbangun, dan memulai bertanam. Kebun kolektif berikut ini disebut Kebun Sekaa Teruna atau kebun untuk dan dikelola anak muda banjar. Sementara Kebun Prajuru yang jadi percontohan dikelola orang tua mereka.

Ada juga kebun bibit di kawasan lain banjar yang memanfaatkan sisa lahan pemukiman dan bertanam di rumah sejumlah warga.

“Panen sudah lebih dari sekali. Tiap ada yang bertamu, silakan ngambil. Kalau dikonsumsi 20 KK cukup. Ngapain metik banyak taruh di kulkas, dipetik tiap 3 hari kan lebih segar,” imbuh Gede untuk menggugah warganya yang takut datang ke kebun.

perlu dibaca : Antisipasi Krisis Pangan di Masa Pandemi, Orang Papua Kembali ke Pangan Lokal

 

Tanaman sawi dengan daun lebar di Kebun Berdaya di Banjar Tegeh Sari, Denpasar, Bali. Foto: Luh De Suriyani

 

Pertanian Organik

Salah satu fasilitator Kebun Berdaya adalah Krisna Waworuntu yang dikenal dengan akun medsosnya, KW Kreasi. Anak muda dari keluarga penekun permakultur yang membesarkan Bumi Langit Institute. Ia mukim di Bali. Ia berbagi pandangan dan motivasi untuk memulai berkebun sendiri di rumah atau kebun kolektif di acara Plant Day, 6 September di Umataki, Denpasar.

Salah satu pertanyaan adalah produksi pupuk dan biaya untuk membelinya. Menurut Krisna, pupuk itu di sekitar kita, tanpa perlu beli. “Sayangnya di Bali permakultur dilihat sebagai pariwisata padahal ini tentang apa yang kita makan,” sebutnya.

Pupuk cair dibuat dari kotoran sapi, dedak sebagai zat tepung dan glukosa, bakteri dari akar rumput liar, dan air. Didiamkan selama 1-2 minggu baru panen, diaduk tiap hari. Ciri-ciri gagal fermentasi adalah pupuk organik ini berbau.

Demikian juga soal prinsip pemanfaatan air. “Saya nyiram itu seminggu dua kali, masih lembab. Bertani mengurusi tanaman, padahal tak ada urusan dengan tanaman tapi ngurus tanah. Makin dijaga, tanahnya makin beri lebih banyak,” ia memulai memberikan pondasi pengetahuan. Kesalahan pertanian organik adalah perspektif pupuk untuk tanaman. Sementara tujuannya adalah mempertahankan tanah subur agar hidup, dan menjaga mikroorganisme untuk memastikan kehidupannya.

Ekosistem dalam tanah dijaga dengan cara memastikan nutrisi. Untuk ini, perlu obyek lokal untuk dibawa ke tanaman. “Di Jawa rebutan jerami, di sini dibakar. Tanah ditutup jerami, lembab, embun pagi tersimpan, cukup melembabkan. Kita cuma pendukung,” jelas Krisna.

Petani atau berkebun instan mengeluarkan dana besar. Punya tanah, lalu beli pupuk dan semprotan hama. Padahal semua input bisa dihasilkan sendiri. Misal untuk bibit organik, kalau tanam satu bibit, akan menghasilkan 1000 bibit baru. Terong sudah kuning baru jadikan bibit, bibit mudah lainnya seperti bayam, cabe, tomat, dan lainnya.

Ia mempersilakan melihat sejumlah video di akun Kebun Berdaya untuk membuat kompos dan lainnya. “Jangan takut hama, kalau tanpa hama tidak ada predatornya. Kepik, belalang, capung makan werengnya, kutu putih. Tapi perlu proses, ini titik pembelajaran,” ia meyakinkan peserta diskusi yang semuanya anak muda.

Menurutnya rumput liar tak akan bisa tumbuh di tanah subur, itu lapisan terakhir saat tak ada yang tumbuh di tanah yang kurang nutrisi.

Bertani dan berkebun juga bisa saling menguntungkan. Ayam bisa diliarkan tanpa perlu diberi makan, jika berhasil membuat kompos mengundang cacing dan kutu.

Kebun Berdaya yang dimulai Banjar Tegeh Sari menurutnya salah satu tawaran untuk pemenuhan pangan sehat. Memutus mitos bahwa organik harus mahal. Misalnya saja jika sebuah banjar terdiri dari 1200 KK, tiap hari beli sayur sedikitnya Rp5000 maka uang yang dikeluarkan Rp6 juta per hari. Sebulan jadi Rp180 juta. “Bukan fokus menghasilkan tapi mencukupi sekeliling. Tapi jangan monokultur,” ingat Krisna. Tapi beragam jenis agar panen bergilir dan saling bahu membahu dalam alur permakultur.

Sebelum tanam cabe, perlu tanam kunyit karena akarnya mengandung patogen melawan hama cabe. Pisang jadi bagian dari kebun karena bisa simpan air, saat kering melepaskan air untuk tanaman lain. Rotasi tanah dibolak-balik dengan tampilan tak lurus, mengikuti pola alam. Juga menunjukkan estetika.

Tanah penuh batu dan sampah di lahan perkotaan yang terlantar harus langsung dilapisi kompos, dan tutup dengan mulsa seperti gabah padi. Karena jika kompos kering, kena sinar UV langsung, mikroorganismenya mati.

Bagian penting lainnya adalah pembenihan agar berdaya tak tergantung. Bedengan atau gundukan tanah berlapis kompos dibuat agar air tak tergenang dan nutrisi tak tersebar. Ada saluran drainase untuk pengaturan jalan air.

Inisiatif kebun-kebun berdaya ini salah satu oase di tengah kesulitan warga menghadapi pandemi dan krisis ekonomi.

Exit mobile version