Mongabay.co.id

Menyoal Illegal Logging dan Penegakan Hukumnya di Kawasan TN Kerinci Seblat

Dengung suara sinso (chainsaw) dari tengah hutan Taman Nasional (TN) Kerinci Seblat yang berlokasi di Kecamatan Sangir, Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat, terus terdengar sampai ke perkampungan terdekat. Hingga pertengahan tahun 2020, truk-truk pengangkut kayu pun tidak hentinya berlalu lalang membawa kayu hasil pembalakan.

Tidak terlihat ada penegakan hukum yang memadai. Segala Langkah yang diambil pihak TNKS wilayah Sangir dan Kepolisan terkesan hanya sekedar seremonial. Akibatnya, praktek illegal logging di Kawasan TNKS terjadi dengan leluasa.

 

***

Illegal loging di kawasan TNKS sudah berlangsung lama. Awet dan terawat. Pada 2017, polisi pernah melakukan razia dan menangkap 2 truk pengangkut kayu. Pada Februari tahun ini, polisi kembali menangkap satu truk pengangkut kayu. Namun, illegal logging hanya berhenti sejenak dan penegakkan hukum pun berhenti hanya sampai penangkapan truk dan sopirnya saja.

Tidak terdengar penegak hukum menangkap otak intelektual (master mind) dari illegal logging tersebut, sekali pun ada yang menjadi buronan.

Kini, prakteknya terus menjadi-jadi. Seolah tak pernah berhenti, meski sesekali ada razia yang dilakukan aparat penegak hukum. Namun itu hanya menghentikan praktek ilegal dalam hitungan hari. Dalam beberapa kesempatan, illegal logging hanya berhenti di hari dilakukannya razia.

Lebih parahnya, sering kali operator sinso dan bos kayu membanggakan diri pada masyarakat bahwa mereka mendapat perlindungan dari oknum penegak hukum. Bahkan dalam beberapa razia yang dilakukan penegak hukum, informasinya sudah bocor jauh-jauh hari sebelum razia razia itu dilakukan.

Walaupun dalam beberapa kesempatan, razia urung terjadi karena informasinya sudah bocor, namun cukup menjadi penanda bahwa perlindungan dari oknum penegak hukum terhadap pelaku illegal logging tersebut benar adanya.

Tentu, persoalan ini sangat menyakitkan. Sebab selain merusak hutan dan menghadirkan penderitaan pada masyarakat, juga menyebabkan penegakkan hukum tumpul dan tak berdaya.

 

Truk pengangkut kayu ilegal asal TNKS harus membongkar kayu balok yang dibawanya, karena truk slip di jalan yang licin. Jalan yang dilalui pun merupakan jalan lingkar perkampungan yang seharusnya tidak dilewati truk bermuatan berat. Dok: Istimewa

 

Sebagian dari mereka yang bekerja dari membalak hutan ini hanyalah sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup ditengah perekonomian yang semakin sulit. Dari pada mereka harus menahan lapar, tentu mereka memilih bekerja sekali pun yang mereka lakukan merusak alam dan melanggar hukum.

Mulai dari bekerja sebagai operator sinso sampai menjadi “tukang angkek” dan/atau menarik kayu menggunakan kerbau dari tengah hutan sampai kepinggir jalan tempat di mana truk menanti.

Pendapatannya tidak seberapa, kerjanya paling berat. Mereka juga seringkali dijadikan tumbal bila sewaktu-waktu penegak hukum melakukan razia. Sementara bos dari pelaku tidak pernah terusik.

Kondisi sedemikian rupa menjadi benturan hebat antara permasalahan eksploitasi alam dengan kebutuhan ekonomi masyarakat yang masih lemah.  Masyarakat pun sering menjadi tameng atas keserakahan cukong dan pemodal.

 

Dampak

Illegal logging tersebut tidak hanya hanya mengancam kelestarian alam di Kawasan TNKS, tapi juga memberi kerugian pada masyarakat. Truk pengangkut kayu yang sarat akan muatan menyebabkan jalan masyarakat rusak parah.

Terkadang di saat musim hujan, truk harus dipasangi rantai agar tidak slip atau macet melalui jalan yang licin. Padahal, jalan yang dilalui masih berupa jalan tanah dan kerikil. Akibatnya, jadilah jalan berlumpur dan memiliki genangan air layaknya kubangan kerbau.

Dalam kasus ini, perkampungan kecil bernama Tandai, Ngari Lubuk Gadang Tenggara, Kecamatan Sangir menjadi daerah yang paling dirugikan.

Walau pun ada oknum bos kayu yang selalu memperbaiki jalan yang mereka lalui, -dan juga beberapa orang warga yang ikut bekerja sebagai operator sinso maupun sekedar pengangkut kayu dari tengah hutan, tetap saja kerusakan yang ditimbulkan tidak sebanding dengan hasil yang didapatkan oleh masyarakat.

Kerusakan jalan juga menganiaya anak sekolah. Mereka harus berjuang melewati jalan berlumpur untuk sampai ke sekolah. Jalan yang dilalui tidaklah singkat. Rumah masyarakat yang memencar dan memiliki jarak yang jauh dari sekolah menyebabkan perjuangan menuju sekolah semakin berat.

Jangankan untuk lewat kendaraan roda dua, berjalan kaki saja sulitnya minta ampun. Tidak jarang, karena tidak sanggup berjalan kaki ke sekolah, anak-anak memilih untuk berhenti sekolah dan ikut bertani bersama orang tua.

 

Beban angkutan kayu ilegal membuat ruas jalan desa menjadi rusak. Siswa yang sekolah di SDN Negeri 23 Tandai dan Mis Darul Ulya pun harus melewati jalan licin dan berlumpur untuk bisa sampai ke sekolah. Dok: Istimewa

 

Perlu langkah tegas

Penegak hukum perlu bertindak tegas dalam memberantas pembalakan liar ini. Tidak cukup hanya dengan menertibkan pelaku, melainkan juga memburu oknum penegak hukum bila ada yang terlibat.

Sebab, sejahat-jahatnya penjahat yang menebang hutan secara ilegal, lebih jahat lagi oknum penegak hukum yang melindungi, karena menjadi sebab penegakkan hukum menjadi tumpul.

Setidaknya terdapat tiga instrumen hukum yang dapat digunakan penegak hukum untuk menjerat para pelaku. Instrumen hukum itu berupa UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan, Inpres Nomor 4/2005 tentang Koordinasi antar Kementerian untuk memberantas illegal logging dan UU Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Namun, hal itu hanya akan efektif memberantas illegal loging bila aparat penegak hukum serius menangani.

Selain itu, polisi hutan juga harus rutin melakukan patroli ke daerah-daerah kawasan hutan yang bersinggungan dengan jalan yang dapat dilalui oleh truk pengangkit kayu. Bila tidak, keberadaan polisi hutan tidak akan memberi manfaat apa-apa, selain hanya memberatkan keuangan negara.

Penegakan hukum seharusnya juga tidak menyasar hanya pada masyarakat yang bekerja untuk mencari hidup. Penegak hukum harusnya berorientasi pada penangkapan aktor intelektual. Sebab tanpa adanya aktor intelektual, masyarakat pun tak akan ada yang mengolah kayu di kawasan hutan yang seharusnya dilindungi tersebut.

 

*  Antoni Putra, Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, artikel ini adalah opini penulis

 

 

Exit mobile version