- Selama pandemi COVID-19 program Perhutanan Sosial [PS] di Indonesia, khususnya Sumatera Selatan [Sumsel], berjalan lamban. Padahal sebelum pandemi, program ini dinilai lamban.
- Pada 2020 tidak satu pun izin PS dikeluarkan di Sumsel. Padahal target PS di Sumsel pada 2020 seluas 586.393 hektar [Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial]. Saat ini baru 165 izin dikeluarkan untuk luasan sekitar 118.941,55 hektar.
- Ada tiga masalah yang saling berhubungan, membuat perjalanan PS di Sumsel lamban, masalah komoditi, kontrol, dan kultur.
- Agar program PS berjalan selama pandemi, khususnya yang sudah mendapatkan izin, sebaiknya Program Pemulihan Ekonomi Nasional [PEN] dapat menjadi insentif untuk menggerakkan PS.
Program Perhutanan Sosial [PS] di Indonesia, khususnya di Sumatera Selatan [Sumsel], selama ini dinilai berjalan lamban. Kini, pandemi COVID-19 menghadang, apa yang harus dilakukan?
“Semua izin yang dikeluarkan masih dari 2019 lalu. Jadi selama tahun 2020, saat kita menghadapi pandemi, tidak ada izin baru yang dikeluarkan pemerintah,” kata Achmad Taufik, Wakil Ketua Pokja Percepatan Perhutanan Sosial [PPS] Sumsel kepada Mongabay Indonesia, awal September 2020.
Dijelaskannya, PS yang sudah diterima kelompok masyarakat di Sumsel hingga tahun 2019 sebanyak 165 izin, dengan luasan lahan sekitar 118.941,55 hektar.
Berikut sebaran izin dan luasan Perhutanan Sosial berdasarkan data Pokja Percepatan Perhutanan Sosial [PPS] Sumsel per September 2020.
- HD [Hutan Desa] sebanyak 23 izin dengan luasan 32.961 hektar dan 10.441 kepala keluarga terdampak.
- HKm [Hutan Kemasyarakatan] sebanyak 63 izin dengan luasan 34.119,64 hektar yang dikelola 8.082 kepala keluarga.
- HTR [Hutan Tanaman Rakyat] sebanyak 68 izin dengan luasan 21.660,07 hektar untuk 3.923 kepala keluarga.
- Hutan Adat sebanyak 2 izin dengan luas 379,70 hektar untuk 578 kepala keluarga.
- Kemitraan sebanyak 9 izin dengan luas 29.821,14 hektar untuk 5.884 kepala keluarga.
Luasan ini masih jauh dari target Sumsel seluas 586.393 hektar pada tahun 2020. Target ini berdasarkan Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial [PIAPS]. Sementara, program Perhutanan Sosial sudah dijalankan pemerintah sejak 2010.
Baca: Perhutanan Sosial Mampu Kurangi Angka Kemiskinan di Sumatera Selatan?
Perhutanan Sosial sendiri bagi sejumlah pemerintah kabupaten di Sumsel, diharapkan turut membantu mengentaskan kemiskinan pada masyarakat yang hidup di sekitar hutan.
Misalnya, yang disampaikan Beni Hernedi, Wakil Bupati Kabupaten Musi Banyuasin [Muba] kepada Mongabay Indonesia, pertengahan 2019 lalu. Dari 8.160.901 jiwa penduduk Sumatera Selatan sekitar 12,52 persen adalah penduduk miskin. Sebaran peringkat tertinggi yakni Musirawas Utara [19,49 persen], Lahat [16,81 persen], Musi Banyuasin [16,75 persen], dan Ogan Komering Ilir [15,75 persen].
Beni menyatakan, orang miskin tersebut hidup di sekitar hutan. Hal tersebut dinyatakannya saat bertemu Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru, saat ditanya mengapa masyarakat Kabupaten Muba banyak miskin.
Ironinya, jika masyarakat hidup di sekitar hutan miskin, maka berbagai perusahaan mulai dari perkebunan sawit, HTI, dan migas, hidup makmur di sekitar hutan.
Jadi, sangat penting kiranya PS menjadi salah satu upaya mengentaskan kemiskinan di Sumatera Selatan, sehingga program ini harus didorong berjalan lancar dan sesuai target pemerintah.
Baca: Perhutanan Sosial di Sumatera Selatan Baru Terwujud 97 Ribu Hektar. Bagaimana Hutan Adat?
Bukan hanya pandemi
Dr. Edwin Martin, peneliti dari Litbang LHK Palembang menyatakan, “Sebagian besar PS itu sendiri berhenti setelah mendapatkan izin legalitas. Bukan karena pandemi saja, tetapi tidak tahu bagaimana melangkah sebagai sebuah kelompok atau komunal penyelenggara PS.”
Apa penyebabnya? “Tiga hal yang saling terkait. Yakni masalah komoditi, kontrol, dan kultur,” kata Edwin kepada Mongabay Indonesia, 12 September 2020.
“Misalnya, pada wilayah PS tertentu komoditas yang sesuai dari sisi tapak dan pasar adalah kelapa sawit tapi itu tidak diperkenankan dalam PS. Terdapat pula kasus-kasus yang areal kerjanya tidak berada dalam jangkauan aktivitas sehari-hari masyarakat, sehingga berbiaya tinggi dalam penyelenggaraannya.”
Dari sisi kultur, lanjutnya, masyarakat sudah merasa nyaman dengan kerja individual, sehingga ketika melakukan kerja bersama dalam PS malah sering memunculkan konflik.
“Dari sisi pemerintah, selain belum biasa berperan sebagai pelayan, kultur sektoral masih belum dapat dihilangkan. PS dianggap sebagai kerja sektor kehutanan, padahal idealnya merupakan kerja trans-sektoral,” paparnya.
Dr. Yenrizal Tarmizi, pakar komunikasi lingkungan dari UIN Raden Fatah menuturkan, lambannya PS karena “komunikasi” yang tersendat antara pemerintah dengan masyarakat penerima izin. Ada kebingungan di masyarakat terhadap izin tersebut. Apakah izin untuk mendorong kesejahteraan mereka atau memfungsikan mereka sebagai pelindung hutan.
“Menurut saya, masyarakat tidak peduli dengan skema apa pun dari PS, yang penting mereka dapat mengakses hutan, dan menghasilkan pendapatan. Buktinya, tidak ada perbedaan perilaku masyarakat di lapangan antara skema Hutan Desa [HD] atau HKm [Hutan Kemasyarakatan].”
Jika keduanya, seharusnya pendampingan antara upaya ekonomi dan konservasi harus masif dilakukan. “Jelasnya, pemerintah terkesan belum menunjukan kepercayaan penuh terhadap masyarakat penerima izin. Jika percaya, ya berikan semua yang dibutuhkan agar skema PS berjalan. Baik anggaran, alat produksi, maupun pasar.”
Baca: Forum Diskusi Mongabay: Perhutanan Sosial di Sumatera Selatan Bukan Sebatas Luasan
Penting dilakukan
Dijelaskan Edwin, PS hari ini menghadapi tantangan tidak saja tentang bagaimana menggerakkan aktivitas on-farm dan off-farm suatu kelompok masyarakat pemegang izin PS, tetapi lebih jauh justru kontrol [governance] terhadap sumberdaya yang ada, sebagai sebuah kelompok masyarakat penyelenggara sistem pengelolaan hutan lestari.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, mereka butuh pendampingan terpadu dari pemerintah, aktivis NGO [masyarakat sipil], dan pelaku pasar. “Secara ideal, setiap internal kelompok PS memiliki orang-orang yang berperan sebagai penggerak roda sosial dan ekonomi, sehingga PS bisa berjalan.”
Terkait pandemi, “Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) seharusnya dapat menjadi insentif untuk menggerakkan PS, dimulai dari sistem pendampingan,” katanya.
Sementara Yenrizal menyatakan, harusnya ada dukungan dari perusahaan atau pelaku usaha yang memanfaatkan lahan di sekitar izin PS atau hutan. “Ini peluang mereka untuk membuktikan kepedulian terhadap masyarakat sekitar perusahaan. Bantuan yang diberikan tentunya sangat terkontrol, sebab menghadirkan banyak pihak dalam pengelolaannya. Baik terkait penggunaan maupun capaian,” tegasnya.