Mongabay.co.id

Dampak Pandemi di Pesisir Makassar : Potret Pulau Lae-Lae, Lesunya Perdagangan Ikan Hingga Sepinya Papalimbang [Bagian 2]

Para pembeli ikan menunggu nelayan pulang melaut di TPI Ngaglik, Palang, Tuban, Jatim. Saat angin kencang, sebagian nelayan masih memberanikan diri berangkat melaut. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Pernah berkunjung ke pulau berpenghuni di beranda barat Kota Makassar?

Ada sisi lain yang membuat kita terhenyak sekaligus cemas selain kondisi ekosistem laut yang dari tahun ke tahun mengalami tekanan hebat. Apa itu? Perilaku hewan ternak seperti kambing dan itik yang ganjil.

Di Pulau Lae-Lae misalnya, kita akan terheran menyaksikan kambing mengunyah kain bekas, mengais makanan pada tumpukan sampah atau sekelompok itik yang menyosor aliran air asin. Fenomena yang sudah lama berlangsung. Ternak tumbuh melintasi waktu bertahun-tahun di tengah keterbatasan lahan, vegetasi hingga air tawar di pulau-pulau ini.

“Di Pulau Barrang Caddi, di tempat saya riset saat mahasiswa, saya malah melihat kambing makan gabus, karton dan lain sebagainya,” kata Helmy Harsani, alumni Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin yang kini bekerja di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Goto, Maluku Utara.

“Di Pulau Badi Pangkep, sejak saya kuliah dan praktik lapang di pulau itu tahun 2007, bukan hanya makan kain bekas di tumpukan sampah, bahkan kayu tangga pun mau dimakan kambing di sana,” tambah mantan mahasiswa lainnya, Rizki Latjindung.

baca : Dampak Pandemi di Pesisir Makassar : Dari Penggantian Wali Kota hingga Belitan ‘Patron Client’ Perikanan  [Bagian 1]

 

Seorang warga Pulau Lae-lae (kanan) bercerita tentang dampak pandemi COVID-19 bagi warga setempat. Foto : pelakita.id/Mongabay Indonesia

 

Cerita Gading

Lae-Lae adalah satu dari 11 pulau dalam wilayah Kota Makassar. Pulau ini terdekat ke Makassar dibanding 10 pulau lainnya. Menyebut Lae-Lae maka salah satu yang menonjol adalah profesi pappalimbang (bahasa Makassar) yang berarti penghantar.

Sepagi itu, Gading (35) melempar tali sekoci di Pantai Losari. Jika biasanya mengambil penumpang di Dermaga Kayu Bangkoa, kali ini menepi. “Terlalu banyak orang di dermaga,” katanya saat ditemui pada Senin (17/8/2020).

Dari kejauhan, terlihat dermaga itu disesaki penumpang dan pengunjung. Ini adalah tujuan dari dan ke pulau-pulau Kota Makassar. Kapal kayu reguler dari pulau seperti Barrang Caddi, Barrang Lompo hingga Kodingareng satu persatu sandar di utara Pantai Losari itu.

“Mulai banyak penumpang. Sudah satu bulan terakhir ini penumpang makin banyak,” kata Gading.

Pada pagi hari perayaan Kemerdekaan RI ke-75 itu, ratusan penumpang berbaur di dermaga, ada yang menggunakan masker, namun tidak sedikit yang tak mengenakan, seperti hendak bebas dari deraan pandemi setelah berbulan-bulan terkungkung dalam rumah.

Di antara bulan Maret hingga Mei, dermaga ini sepi lantaran larangan bepergian dan warga takut risiko terpapar virus corona. Berita yang berseliweran yang menyabut Makassar zona merah karena tingginya penderita COVID-19 membuat titik kumpul yang biasanya ramai ini mendadak sepi.

Jika sebelumnya hampir semua sisi pantai di dekat dermaga penuh kendaraan, namun saat corona merebak, Kayu Bangkoa melompong. Berita penggantian Pj. Wali Kota Makassar karena dianggap tak berhasil menurunkan laju korban terpapar COVID-19 yang menjadikan suasana genting sosial di kota berjuluk Anging Mammiri ini.

baca juga : Terdampak COVID-19, Nelayan Harus Diberi Perhatian Khusus

 

Gading (belakang), seorang papalimbang atau pengemudi perahu penumpang dari Pulau Lae-lae Makassar, Susel. Foto : Pelakita.id/Mongabay Indonesia

 

Lae-lae Ditengah Pandemi

“Di Lae-lae belum ada laporan warga kena COVID, kalau asal Barrang Lompo pernah dilaporkan ada yang kena,” kata Gading.

Lae-lae adalah pusat para pappalimbang, sebutan untuk warga yang mengoperasikan sekoci, berkapasitas 8 hingga 10 orang. Dari Gading diperoleh informasi di pulau ini terdapat 40-an unit sekoci papalimbang.

“Kalau saya, dari enam bersaudara lima orang bawa sekoci, sudah lama,” kata Gading sembari menyebut saudaranya, Empo, Usman, Lejja, Daeng Tuju, Gading. “Paling sedikit, 10 orang. Ini tiga kali lari,” katanya terkait profesinya sebelum pandemi. Lari yang dia maksud adalah antar jemput. Tarif per penumpang tujuan Kayu Bangkoa – Lae-lae sebesar Rp10 ribu.

“Kalau biaya perorang Rp60 ribu, itu pulang pergi tapi sekurangnya harus ada 8 orang penumpang biar sebanding dengan biaya bensin. Jadi kalau 8 bisa dapat Rp460 ribu,” kata Gading.

“Kalau kebutuhan BBM Makassar – Lae-Lae, dari pagi sampai sore operasi, butuh kurang lebih 10 liter bensin. Harga bensin Rp11 ribu,” katanya. Mahal karena dicampur oli. Penjual bensin ada di RW 1 ada tiga orang, lalu di RW 2 dua orang serta tiga orang di RW 3.

Gading mengaku kurang lebih tiga bulan situasi penumpang sangat kurang. Dia hanya melayani Lae-Lae-Kayu Bangkoa. “Tidak ada yang berani ke Samalona, atau Kodingareng Keke. Apalagi yang jauh-jauh,” katanya. Dua tempat yang disebut ini adalah destinasi wisata bahari Kota Makassar yang terkenal.

“Beberapa minggu lalu saya sudah bawa penumpang ke Samalona, ke Kodingareng Keke juga,” kata pria yang mengaku pekerjaannya ini menurun dari ayahnya Daeng Nyikko yang telah jadi pappalimbang sebelum dia lahir.

Perahu yang dibawa Gading, atau rerata perahu yang ada bernilai Rp80 juta/unit. “Mesin baru Yamaha 40 PK itu sudah seharga Rp50 juta,” kata Gading. Bodi perahu dari fibreglass dan ada banyak warga Lae-Lae yang bisa membuat sekoci ini. Ukuran umum adalah panjang rerata 7 meter dan lebar 1,5 hingga 2 meter.

Selain tak lagi membawa penumpang umum dalam jumlah banyak, Gading juga mengaku tak lagi membawa anak-anak sekolah sebagaimana menjadi tugasnya, dari Lae-Lae ke SD, atau SMP dan SMA di Makassar.

“Perahu saya ini diperuntukkan pula untuk anak-anak sekolah, sejak tak ada sekolah buka, saya juga tak sesering dulu ke Kayu Bangkoa. Pendapatan jelas berkurang, jika bisa dikatakan kami kehilangan Rp.100.000 per hari dari penumpang,” tuturnya.

perlu dibaca : Menggali Potensi Ekonomi di Kepulauan Makassar dan Pangkep Saat Pandemi

 

Warga pulau Lae-Lae, Makassar yang ramah dan bersahaja di tengah pandemi COVID-19. Foto : pelakita.id/Mongabay Indonesia

 

Sementara itu, Rahman (47 tahun), Ketua RW 3, yang mengaku lahir dan besar di Lae-Lae menyebut bahwa sebagian besar warga Lae-Lae adalah nelayan.

“Saya kira ada 80 persen nelayan yang menggantungkan hidup di laut, baik merangkap sebagai papalimbang maupun sebagai nelayan penangkap ikan. Di kartu penduduk warga, yang berprofesi papalimbang disebut sebagai nelayan,” ucapnya.

Menurutnya, nelayan penangkap ikan umumnya bermukim di RW 3, sebelah utara Lae-lae. “Mereka menangkap ikan di perairan luar bahkan hingga ke perairan luar Kabupaten Pangkajene Kepulauan,” tambahnya.

Terkait pekerjaannya sebagai papalimbang, Rahman menyebut saat ini tidak menentu lagi berapa pemasukan. “Pastinya tidak lebih dari Rp4 juta penghasilan setiap bulannya sebelum ada COVID-19,” katanya.

Dia bercerita tentang sistem pembagian jasa layanan ini. “Jika perahu disewa seharga Rp500.000, maka Rp200.000, digunakan untuk membayar bensin, sisanya Rp300.000 dibagi dua dengan pemilik perahu,” katanya.

“Jadi papalimbang mendapatkan uang sebanyak Rp150.000, namun jika menggunakan ABK (asisten) maka Rp150.000, tersebut biasanya dibagi lagi,” imbuhnya.

“Alhamdulillah, warga Lae-Lae tidak ada yang terjangkit COVID-19 Dulu, di bulan Maret, pernah ada warga dicurigai terjangkit namun setelah diisolasi selama 14 hari, tidak ada perubahan, kembali sehat,” katanya.

“Di sini 3 kali seminggu dilakukan penyemprotan, dari kelurahan. Kami dilarang keluar rumah tetapi karena tidak ada listrik pada siang hari maka kami kepanasan. Warga keluar rumah, saat lihat banyak orang, anak anak pun bermain di luar rumah,” tuturnya.

Hal lain yang disampaikan Rahman ada tidak kurang 10 persen warga Lae-Lae bekerja di sebagai karyawan di pusat kota Makassar. “Tidak sedikit mereka dirumahkan. Banyak juga yang melapor, setelah dirumahkan dijanjikan untuk diberikan bantuan tapi tak kunjung datang,” lanjutnya.

“Untungnya anak sekolah belajar dari rumah-masing masing, namun saat ini kami sebagai orang tua kelimpungan membeli kuota internet untuk anak-anak bisa belajar. Belum lagi handphone kami dipakai sama anak. Kami tidak bisa menggunakan hape. Pemerintah terkesan tidak memperhatikan kami,” kata Rahman.

Ippang, warga Lae-Lae lainnya yang juga berprofesi sebagai pappalimbang mengaku bahwa di awal pandemi ia pun kesulitan untuk mendapatkan penghasilan.  “Namun setelah mengaktifkan instagram, satu persatu pelanggan datang menghubungi,” katanya.

Menurutnya, menggunakan media sosial untuk mempromosikan pekerjaan papalimbang sangat efektif. “Tak lagi harus berlama-lama berdiri di pintu dermaga menyapa calon penumpang. Update status di Instagram, sudah bisa menggaet penumpang,” katanya seperti berpromosi.

baca juga : Menakar Ketahanan Pangan di Pulau Kodingareng dan Pajjenekang di Masa Pandemi Corona

 

Jumlah warga Kecamatan Sangkarrang yang terkena COVID-19 per 15 Agustus 2020. Sumber : Satgas COVID-19 Makassar

 

Perlu Respon Pemerintah

Mantan Kepala Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Makassar yang memilih pensiun dini pada awal bulan Agustus 2020, Abdul Rahman Bando, menyatakan bahwa sesuai analisanya pada semester pertama tahun 2020, dampak nyata pandemi COVID-19 adalah terbatasnya ruang gerak interaksi sosial masyarakat pulau di Makassar.

Jumlah warga Kecamatan Sangkarrang yang terkena COVID-19 (data, per 15 Agustus 2020, ada tambahan 1 orang hingga 23 Agustus 2020), sumber Satgas COVID-19 Makassar.

“Padahal, tanpa ada pandemi COVID-19 pun, mereka sudah terbatas karena kendala transportasi,” katanya.

Hal kedua yang diamati Rahman adalah dampak ekonomi. “Ini sangat terasa khususnya bagi warga masyarakat pulau yang mata pencaharian utamanya adalah nelayan tangkap,” imbuhnya.

“Karena COVID-19, banyak hotel dan restoran tutup, transaksi ikan di pelelangan seperti di Paotere dan Rajawali juga berkurang atau turun drastis. Pasar-pasar tradisional menurun, produksi UMKM pengolahan hasil kelautan dan perikanan menurun,” lanjut Rahman.

“Jadi itu semua yang menyebabkan tingkat penerimaan atau pendapatan nelayan menurun, termasuk pappalimbang di Lae-Lae itu,” jelasnya.  Hal ketiga yang disampaikan Rahman adalah harga sembako dan logistik lainnya yang menjadi mahal di pulau.

“Karena terbatasnya produksi dan kendala distribusi dengan adanya pengetatan penerapan protokol kesehatan COVID-19 dalam semua aktivitas masyarakat termasuk pelaku usaha. Dampak samping seperti harga BBM, atau biaya transportasi pasti memukul para pelaku usaha termasuk para pemancing ikan dan papalimbang kita itu,” katanya.

baca juga : Perjuangan Industri Perikanan Tangkap Keluar dari Jurang COVID-19

 

Nelayan adalah salah satu kelompok masyarakat yang terdampak pandemi COVID-19, di sisi lain peran mereka penting dalam rangka produksi kebutuhan pangan masyarakat. Perlu intervensi khusus untuk mereka. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Sedangkan Anggota DPRD Kota Makassar, Ray Suryadi yang juga pengusaha ekspor hasil laut mengakui bahwa volume dan nilai bisnis perikanan terpangkas hingga 80 persen.

“Itu berarti ada yang masih berjalan antara 10 hingga 20 persen ini perlu didukung, diberi kemudahan, setidaknya ada komunikasi yang terjaga,” imbuhnya.

Ray mengakui bahwa dengan anggota nelayan berikut relasi bisnisnya yang mempunyai sekurangnya 200 unit kapal ikan pencari dari berbagai ukuran termasuk yang tersebar dari Lae-Lae hingga Lumu-Lumu. Menurutnya, dampak pandemi itu dia bisa rasakan dari respon anggota dan jaringan bisnisnya ini.

Sebagai anggota DPRD Sulawesi Selatan, Andi Januar Jaury Dharwis yang selama bertahun-tahun membangun komunikasi dengan masyarakat pesisir di Kota Makassar menyebut bahwa Kota Makassar adalah barometer sosial, ekonomi dan lingkungan Sulawesi Selatan.

“Oleh sebab itu, di tengah pandemi, semua pihak harusnya bersatu padu memperkuat ketahanan sosial. Saya melihat dari sisi itu. Pandemi ini mengubah tatatan sosial kita, hanya yang antisipatif dan taat pada protokol kesehatan yang diperlukan saat ini,” katanya yang ditemui Kamis (20/8/2020).

Menurut Januar, sejak lama pulau-pulau di Kota Makassar sudah banyak terbelit persoalan seperti mata pencaharian yang terbatas, akses yang sulit dan terbatasnya sumber daya Pemerintah Provinsi Sulsel dan Kota Makassar untuk setidaknya memberi mereka jaminan pasokan bahan pangan dan dukungan pengembangan bisnis.

“Saya melihat untuk saat ini, kita semua harus berpikir dan mengalokasikan sumber daya untuk mereka bisa terus berproduksi, menghidupi keluarga dan mengikuti protokol kesehatan seperti pappalimbang, nelayan pancing hingga kelompok ibu-ibu itu,” tambahnya.

“Tugas kami untuk selalu mengingatkan Pemprov termasuk Pemkot Makassar untuk antisipatif, menyiapkan anggaran maksimum serta peduli. Ini perlu kerja keras kita untuk saudara-saudara kita di pulau-pulau Makassar, termasuk Sulsel secara umum,” tutupnya.

 

Ray Suryadi saat melakukan reses di Pangkalan Pendaratan Ikan Paotere. Foto : Ray Suryadi/Pelakita.ID/Mongabay Indonesia

 

Ekonomi Terpukul

Kadis Kelautan dan Perikanan (DKP) Sulawesi Selatan, Sulkaf S. Latief saat menjadi pembicara webinar yang digelar Mongabay Indonesia, Jumat (17/7/2020) terkait dampak pandemi COVID-19 terhadap masyarakat pesisir dan pulau-pulau mengakui warga pulau adalah kelompok yang sangat terdampak COVID-19 ini.

“Di Makassar, restoran banyak yang tutup, padahal dari restoran inilah masyarakat nelayan bisa mendapatkan harga yang bagus. Ikan-ikan dijual ke sana. Rumput laut pun harganya turun, hanya udang yang bertahan,” katanya,

“Dampaknya bisa dirasakan nelayan dan pengusaha apalagi sejak ditutupnya akses masuk ke wilayah kota atau sebaliknya. Kami di dinas, tidak ada anggaran khusus, kami bekerja sama dengan swasta dan pemda,” bebernya.

***

*M Rizki Latjindung, Muhammad Syukri dan Kamarudin Azis. Mereka adalah jurnalis pelakita.id, Sulawesi Selatan. Artikel ini didukung Mongabay Indonesia

****

Keterangan foto utama : ilustrasi. Para pembeli ikan menunggu nelayan pulang melaut di TPI Ngaglik, Palang, Tuban, Jatim. Saat angin kencang, sebagian nelayan masih memberanikan diri berangkat melaut. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version