Mongabay.co.id

Hasilkan Energi Pengganti Batubara, TPA Kebon Kongok Maksimalkan Pengolahan Sampah di Lombok

 

 

Belasan pekerja tampak memilah tumpukan sampah, saat saya berkunjung ke Tempat Pembuangan Akhir [TPA] Regional Kebon Kongok, Kabupaten Lombok Barat, Kamis [13 Agustus 2020] lalu. Aktivitas mereka ditemani suara bising kendaraan pengangkut sampah yang hilir mudik sepanjang hari.

Lokasi ini merupakan tempat pemilahan sampah organik dan anorganik, di komplek TPA terbesar di Nusa Tenggara Barat [NTB]. Dari sini, proses pengolahan sampah menjadi pelet RDF [Refuse Derived Fuel] dibuat, yang merupakan pengganti bahan bakar batubara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap [PLTU] Jeranjang, Lombok Barat. PT. Indonesia Power menyebutnya JOSS, singkatan dari Jeranjang Olah Sampah Setempat [JOSS].

Nandang Safrudin, Knowledge Management dan Risiko PT. Indonesia Power, dan Didik Mahmud Gunawan Hadi, Kepala UPT TPA Regional Kebon Kongok, turut menemani.

Pemerintah Provinsi NTB dan PT. Indonesia Power yang mengelola PLTU Jeranjang menjalin kerja sama dalam hal penelitian dan pengembangan teknologi pengolahan sampah menjadi sumber energi. Program Pemerintah NTB dengan “Zero Waste” bertemu dengan program PT. Indonesia Power yang menginginkan adanya bauran energi terbarukan.

“Sampah akan melalui proses penyeumisasi atau fermentasi sebelum menjadi pelet. Diberikan bioaktivator, disimpan 7 sampai 10 hari, lalu terjadi pembusukan,” kata Nandang, mengawali penjelasan.

Selanjutnya, sampah diproses di mesin pencacah ukuran 5-8 mm untuk berikutnya dimasukkan ke mesin pengepresan menjadi pelet RDF. Pelet akan dikeringkan di bawah sinar matahari sebelum dikirim ke PLTU Jeranjang. Di pembangkit listrik itu pelet dibakar melalui sistem co-firing.

 

Nandang Safrudin dari PT. Indonesia Power menunjukkan tempat “penyeumisasi” sampah di TPA Regional Kebon Kongok, Kabupaten Lombok Barat, NTB. Foto: Zainudin Syafari/Global FM Lombok

 

Setiap hari, sekitar 300 ton sampah dari Kota Mataram dan Lombok Barat diantar ke TPA ini. Namun, menurut Nandang, jumlah yang diolah menjadi pellet baru 100 hingga 200 kilogram.

“Dari April, Mei, Juni, dan Juli trennya naik. Sebelumnya, sekitar 800 kilogram per bulan], lalu naik 900 kilogram. Dua minggu lalu saya cek, sudah 1,4 ton, semoga bisa mencapai 2 ton. Saat ini juga tengah dirancang agar pelet yang dihasilkan dalam sehari bisa mencapai 500 kilogram hingga 2 ton,” katanya.

Didik menambahkan, tahun 2021 mendatang, Kementerian PUPR akan memberikan bantuan berupa bangunan gudang seluas 40 are [4 ribu meter persegi] di sekitar TPA. Di bangunan tersebut, semua fasilitas yang dibutuhkan untuk pengolahan sampah menjadi pellet disediakan.

Didik menerangkan, mengurangi timbunan sampah merupakan program kerja Pemerintah Provinsi NTB. “Dalam proposal, sampah yang bisa kami olah dalam sehari mencapai 100 ton. Semuanya pakai mesin yang dibantu tenaga kerja kami.”

Penelitian masih dilakukan agar sampah non-organik bisa lebih banyak diolah. Saat ini, komposisi pelet terdiri 95 persen sampah organik dan 5 persen anorganik.

“Misi besar Gubernur NTB adalah setiap desa memiliki mesin pencacah,” katanya.

 

Seorang pekerja tampak memilah sampah di Tempat Pembuangan Akhir [TPA] Regional Kebon Kongok. Foto: Zainudin Syafari/Global FM Lombok

 

Perjanjian

Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [LHK] Provinsi NTB telah menandatangani kerja sama dengan PT. Indonesia Power tentang penelitian dan pengembangan teknologi pengolahan sampah menjadi sumber energi. Kerja sama yang ditandatangani 21 Juli 2020 itu berjangka waktu lima tahun.

Kepala Dinas LHK Provinsi NTB Madani Mukarom mengatakan, nantinya akan dilanjutkan MoU pemanfaatan bisnis. “Sebelum ada MoU, belum bisa bicara harga jual beli.”

Saat ini, pengolahan sampah menjadi pelet di TPA Regional Kebon Kongok sudah baik dan jumlahnya diupayakan bertambah. Produknya mulai digunakan sebagai bahan bakar yang dikombinasikan dengan batubara, meski jumlahnya terbatas.

“Penelitian itu untuk penyempurnaan produk. Bukan berarti setelah penelitian baru kerja, tidak begitu. Ini simultan,” terangnya.

Pemprov NTB akan mendorong seluruh Badan Usaha Milik Desa [BUMDes] untuk memiliki mesin pencacah sampah yang selanjutnya digabung dan dijual kepada PLTU Jeranjang. “Kita dorong desa melakukan pengolahan sampah,” katanya.

 

Sampah yang telah dipilah selanjutnya dicacah menggunakan mesin. Foto: Zainudin Syafari/Global FM Lombok

 

Ada nilai jual

Berdasarkan data Dinas LHK NTB tahun 2018, volume sampah di 10 kabupaten/kota NTB sekitar 3.388 ton sehari. Namun, jumlah yang belum dikelola sebanyak 83 persen atau sekitar 2.695 ton, sehingga menjadi pekerjaan rumah pemerintah daerah.

Jika dirinci, Kota Mataram menghasilkan sampah 314,3 ton, Lombok Barat [469,56 ton], Lombok Utara [149,15 ton], Lombok Tengah [645,73 ton], Lombok Timur [801,74 ton], Sumbawa Barat [92,39 ton], Sumbawa [311,85 ton], Dompu [164,27 ton], Bima [325,94 ton], dan Kota Bima [113,83 ton].

Berbagai upaya dilakukan untuk mengelola sampah, mulai pembuatan bank sampah di setiap desa/kelurahan hingga pemanfaatan black soldier [lalat hitam]. Namun, pelet yang mendapat respon baik.

Pelet RDF menjadi bahan campuran batubara [co-firing] dalam proses pembakaran di PLTU Jeranjang, Lombok Barat. Jumlah ideal campurannya adalah 3 persen pelet dan 97 persen batubara.

Manager Unit PT. Indonesia Power PLTU Jeranjang OMU Melky Victor Borsalino mengatakan, PLTU Jeranjang yang berkapasitas 3 x 25 Megawatt [MW] menggunakan 100 persen batubara. Adanya kerja sama pengolahan sampah maka pelet mengisi 3 persen dari bahan bakar yang dibutuhkan.

Di masa penelitian, rata-rata pellet yang diproduksi hanya dua ton per bulan, sementara kemampuan bahan bakar sampah di PLTU Jeranjang sebesar 1,8 ton per jam atau sekitar 48 ton dalam 24 jam. Dalam sebulan, PLTU membutuhkan 1.400 ton pellet.

“Kami sudah tersertifikasi oleh Puslitbang, sudah melakukan pengujian tahun lalu. Artinya kami sudah siap.”

 

Proses pembuatan pelet dilakukan setelah sampah hasil pencacahan selesai dilakukan. Foto: Zainudin Syafari/Global FM Lombok

 

Melky menjelaskan, saat ini nilai komersil atau harga bahan bakar pelet belum ditetapkan, akan disepakati dalam MoU pemanfaatan bisnis dengan Pemprov NTB.

“Pelet tidak boleh lebih mahal dari batubara dan kualitasnya harus dijaga sesuai spesifikasi pembangkit. Dengan begitu, harga listrik lebih murah dan jauh lebih ramah lingkungan,” terangnya.

Adapun konsepnya, PT. Indonesia Power tidak akan membeli langsung di masyarakat, tetapi dari komunitas-komunitas atau bisa juga BUMDes, BUMD dan koperasi yang sudah disepakati antara PLN dengan Dinas LHK NTB. Pola tersebut diterapkan untuk menjaga kualitas produk yang dihasilkan.

”Kami juga akan menetapkan Standar Nasional Indonesia,” ungkapnya.

Ia yakin, adanya nilai ekonomi pengolahan sampah, membuat paradigma masyarakat berubah. Masyarakat akan melakukan pengelolaan mandiri karena di setiap sampah ada nilai Rupiah.

”Di sini banyak sawah. Kalau panen, jeraminya dibuang begitu saja atau dibakar. Jika dikumpulkan tentu nilai ekonominya tinggi. Kedepannya, kita akan sulit menemukan sampah-sampah di jalanan, begitu ibaratnya,” katanya optimis.

 

Koordinasi dengan para pekerja dilakukan agar hasil yang diharapkan maksimal. Foto: Zainudin Syafari/Global FM Lombok

 

Dapat dukungan

Deputi Bidang Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi [Kemenko Marves], Nani Hendiarti telah mengunjungi PLTU Jeranjang, pada Selasa [18 Agustus 2020].

“Kemenko Marves serius menangani sampah. Sesuai arahan Menko Marves, pengolahan RDF dilakukan melalui pola kemitraan dan juga menggunakan muatan lokal,” jelas Nani.

Masing-masing pihak memiliki peranan dalam pengolahan sampah, mulai Kemenko Marves, KLHK, PUPR, ESDM dan juga Pemerintah Daerah. Kemenko Marves sendiri berperan menyusun kebijakan, pemilihan lokasi dan implementasi RDF, juga penyiapan pendanaan dan business process RDF.

General Manager PLN Unit Induk Wilayah NTB Rudi Purnomoloka menyatakan, PLN mendukung penuh penyediaan energi ramah lingkungan di NTB.

“Pellet RDF ini termasuk Energi Baru Terbarukan [EBT]. Target bauran EBT sebesar 23% di tahun 2025 oleh Kementerian ESDM. Kami yakin, dengan dukungan seluruh pihak, PLN bisa mencapai target tersebut.”

Rudi juga menyampaikan, program Waste to Energy merupakan bentuk dukungan PLN untuk mewujudkan visi NTB Gemilang, yaitu “NTB Asri dan Lestari”.

 

Deputi Bidang Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi [Kemenko Marves], Nani Hendiarti didampingi jajaran PLN UIW NTB dan Pemprov NTB meninjau pengolahan sampah jadi pelet di TPA Kebon Kongok. Foto: Dok. Kemenko Marves

 

Wakil Ketua DPRD Provinsi NTB, Muzihir, optimis program ini mampu dijalankan dengan baik oleh Pemprov NTB bersama PT. Indonesia Power. “Sampah sebagai berkah, bukan lagi musibah. Asalkan, masyarakat bisa diyakinkan,” ujarnya.

Mengenai dukungan anggaran agar program besar ini berjalan, bagi DPRD NTB kata Muzihir, tidak menjadi masalah, karena ini untuk kebaikan masyarakat. Jika tak mampu ditanggulangi APBD provinsi, maka APBD kabupaten/kota harus memberi perhatian juga pada masalah ini. ”Kita cari solusi bersama.”

Muzihir memandang, kerja sama pemanfaatan sampah menjadi energi bahan bakar di PLTU Jeranjang akan saling menguntungkan. Terlebih secara geografis, lokasi TPA Regional Kebon Kongok dengan PLTU Jeranjang masih dalam satu kawasan, sehingga arus distribusi barang tidak menjadi persoalan.

 

* Zainudin Syafari, jurnalis Global FM Lombok. Artikel ini didukung Mongabay Indonesia.

 

 

Exit mobile version