Mongabay.co.id

Dampak Pandemi di Pesisir Makassar : Tak Lagi Dapat Bantuan, Warga Pulau Barrang Caddi Anggap Pemerintah Sudah bangkrut [Bagian 3]

Para nelayan di PPN Brondong, Lamongan, Jatim menyandarkan perahu untuk diperbaiki sebelum digunakan melaut. Nelayan mengaku penghasilan bulan ini bisa dikatakan lebih parah daripada musim angin kencang, kerugiannya lebih banyak. Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

“Sebagian besar masyarakat di sini seperti tidak percaya lagi adanya virus ini. Mungkin karena memang belum ada yang terkena. Selain itu, banyak larangan ke dan dari Makassar membuat pendapatan nelayan menurun, hidup makin susah,” kata Muhammad Basri (60).

Basri adalah nelayan pancing merangkap pengepul atau pengumpul ikan hasil pancingan atau jaringan atau pukat warga Pulau Barrang Caddi, Kelurahan Barrang Caddi, Kecamatan Sangkarrang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Dia tahu bahwa virus corona adalah virus mematikan.

“Warga tahu virus ini berbahaya tapi mesti bagaimana lagi? Kami harus melaut,” ucap Basri saat ditemui di pulau Barrang Caddi, Senin (17/8/2020).

Berdasarkan laporan Tim Percepatan Penanggulangan COVID-19 Makassar pada 23 Agustus 2020 yang melakukan eskpose terkait Situasi COVID-19 Kota Makassar diperoleh informasi bahwa tanggal 6 Maret 2020, dilaporkan kasus baru di Kota Makassar lalu pada 7 April 2020 mencapai lebih dari 70 kasus. Sempat menurun pada saat pemberlakukan PSBB tahap I dan II.

Pada tanggal 15 Mei dipilih Pj Wali Kota Baru, dimana Prof. Yusran Yusuf yang merupakan akademisi Universitas Hasanuddin didapuk menggantikan Dr. Iqbal Suhaeb yang selesai masa penugasannya. Beberapa hari setelah pelantikannya, kasus cenderung meningkat meski kemudian menurun terutama saat momentum Idul Fitri.

Meski sempat turun pada tanggal 30 Mei namun kasus melonjak drastis bahkan mencapai 120 kasus. Padahal sekolah sudah ditutup saat itu.

Tanggal 26 Juni, Gubernur menunjuk Pj Wali Kota baru, yaitu Prof Rudy Djamaluddin, masih dari Unhas. Kasus sempat menanjak meski kemudian turun setelah berlaku Perwali No.36/2020 yang berisi ketentuan pengawasan yang ketat pada beberapa jalan perbatasan kota Makassar.

Khusus untuk Kecamatan Sangkarrang, tidak ada kasus baru setelah bulan Juli 2020. Hingga Juli, tercatat 24 kasus kemudian mentok. Bandingkan dengan Rappocini pada bulan yang sama mencapai 800 kasus, lalu terus bertambah di bulan Agustus 2020.

Meski demikian, Dr Ansariadi, Ketua Tim Percepatan Penanggulangan COVID-19 Makassar menyebut bahwa tidak ada analisis khusus mengenai pulau-pulau di Makassar atau Kecamatan Sangkarrang karena sifatnya keseluruhan Makassar.

baca : Dampak Pandemi di Pesisir Makassar : Dari Penggantian Wali Kota hingga Belitan ‘Patron Client’ Perikanan  [Bagian 1]

 

Jumlah warga Kecamatan Sangkarrang yang terkena COVID-19 per 15 Agustus 2020. Sumber : Satgas COVID-19 Makassar

 

Dampak Bagi Warga

Sudah beberapa hari terakhir terutama sejak Juli, sejak PSBB mulai dilonggarkan oleh Pemerintah Kota Makassar, Basri ikut melaut. Meski dia mengakui tak seperti nelayan lain yang hampir setiap hari mencari nafkah di lautan Selat Makassar atau sekitar pulau-pulau Makassar seperti Barrang Caddi, Barrang Lompo hingga perbatasan Pangkep dan Barru.

Basri merasakan bahwa dengan adanya COVID-19, harga ikan karang, gurita, hingga ikan tenggiri menurun. Warga Pulau Barrang Caddi termasuk Basri dikenal sebagai nelayan tenggiri sekaligus nelayan ikan karang yang sudah wara-wiri hingga ke Laut Flores di Selayar hingga laut Maluku dan Papua di belahan Indonesia bagian timur.

“Awalnya, kami sangat susah untuk masuk di Makassar, meskipun hanya untuk membeli kebutuhan sehari hari,” ucapnya terkait masa-masa genting karena pandemi di bulan Februari hingga Mei 2020.

Dalam relasi usaha perikanan di pulau-pulau Makassar, Basri adalah punggawa atau biasa disebut middleman, dia punya beberapa sawi atau nelayan anggota atau biasa disebut simpul patron client. Nelayan yang punya perahu atau beroperasi dengan menggunakan milik punggawa.

“Sebagai pengumpul setiap hari saya membeli ikan dari sawi pemancing, jika banyak ikan yang didapatkan maka saya akan langsung ke Makassar dengan perahu sendiri untuk menjualnya, harapannya agar kualitas ikan tidak menurun,” kata pria tamatan SD ini.

Ikan-ikan hasil tangkapan nelayan Barrang Caddi banyak dijual ke Pangkalan Pendaratan Ikan Paotere dan TPI Rajawali di timur kota Makassar. “Namun lebih sering menjual ikan di Paotere sebab di sana ada nelayan saya, namanya Alan,” sebut Basri yang mengaku baru saja menjual ikan di Paotere dan dapat nilai penjualan Rp1 jutaan.

“Harga ikan sangat menurun saat ini, sebulan terakhir ini harga ikan berselisih hampir 50 persen dibandingkan sebelum pandemi, namun di awal pandemi harga ikan sangat merosot, bahkan sampai 70 persen,” ucap Basri.

baca juga : Dampak Pandemi di Pesisir Makassar : Potret Pulau Lae-Lae, Lesunya Perdagangan Ikan Hingga Sepinya Papalimbang [Bagian 2]

 

M Basri, nelayan dan pengepul ikan (punggawa) di Pulau Barrang Caddi, Kota Makassar, Sulsel. Foto : Pelakita.id/Mongabay Indonesia

 

Di rumah, Basri tinggal bersama istri dan tiga anaknya. Istrinya, Nur adalah ibu rumah tangga. Usaha Basri di bidang perikanan ini bermula dari pinjaman dari warga Pulau Barrang Caddi, lalu lambat laun memulai usaha sendiri.

Pria yang mengaku lahir dan besar di Barrang Caddi ini tahu bahwa Pemerintah Kota Makassar gencar melakukan sosialisasi tapi dia tidak hadir. “Cuma saya tidak hadir setiap ada sosialisasi,” katanya menyungging senyum seperti tidak percaya dengan virus corona.

Menurutnya, sebagai pemancing sekaligus pengepul, Basri mencatat beberapa ikan hasil tangkapan waga Barrang Caddi seperti tenggiri, sunu, kembung, gurita. “Apa saja yang tertangkap,” katanya tertawa.

Dia berbagi informasi bahwa harga ikan sebelum pandemi, sebagai misal tenggiri, seharga Rp100.000. “Harga harga beli dengan nelayan Rp95.000 tapi satu minggu terakhir harga ikan tenggiri sudah cukup membaik di angka Rp62.000 per kilogram,” katanya.

“Kalau ikan sunu, harga seminggu terakhir, pada Agustus ini sudah mencapai Rp105 ribu ukuran 0,5 sampai 1 kg, sebelum pandemi harganya Rp210 ribu,“ tutur Basri.

“Sebagian nelayan tetap melaut, karena tidak memiliki keahlian lain lagi. Mau mencari tambahan di kota juga tidak mungkin. Semua orang dilarang keluar rumah. Bahkan kami mendengar banyak orang di kota di PHK,” sebutnya.

perlu dibaca : Terdampak COVID-19, Nelayan Harus Diberi Perhatian Khusus

 

Azis dan Ambo Tuwo, warga Pulau Barrang Caddi, Kota Makassar, Sulsel bercerita tentang dampak pandemi COVID-19. Foto : Pelakita.id/Mongabay Indonesia

 

Pemerintah Dikira Bangkrut

Demi mengikuti anjuran Pemerintah Kota Makassar, sejak adanya pandemi terutama pada bulan-bulan Maret, April hingga Mei, nelayan-nelayan anggotanya atau biasa disebut sawi ditahan untuk tidak melaut dulu.

“Saya tahan untuk tidak melaut karena sebelumnya biaya operasionalnya tidak tertutupi dengan hasil penjualan, khusus di awal pandemi,” katanya.

Jadi selama itu, lanjutnya, mereka yang melaut hanya sekadar mendapatkan ikan untuk konsumsi di rumah.

“Jika ada yang lebih, baru dijual, terkadang mereka menjual semua ikan hasil tangkapan hanya untuk mendapatkan uang tunai agar bisa membeli beras dan uang jajanan anak. Tidak ada pilihan selain ikan dijual atau dikonsumsi di rumah, sama seperti sebelum pandemi,” tandasnya.

Dia juga mengaku bahwa selama pandemi belum ada bantuan ataupun program yang berasal dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) baik provinsi maupun kota terkait dukungan untuk warga pulau Barrang Caddi.

“Dulu pernah ada bantuan mesin kapal, namun itu di tahun 2017,” ucapnya.

Bantuan yang pernah ada adalah bantuan sarana prasarana usaha perikanan melalui Proyek CCDP – IFAD, atau proyek pemberdayaan masyarakat pesisir yang dibiayai oleh lembaga keuangan The International Fund for Agricultural Development atas kerjasama dengan Kementeran Kelautan dan Perikanan dan Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Makassar.

Beberapa tahun belum merasakan bantuan seperti itu, warga Barrang Caddi bernama Ambo Tuwo mengira Pemerintah bangkrut. “Kami berpikir pemerintah telah bangkrut baik daerah maupun pusat, itu karena tidak ada lagi bantuan dan program masuk di Barrang Caddi,” kata Ambo Tuwo.

Saat ditanya apakah nelayan berganti profesi atau melakukan pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhannya, Ambo menjawab bahwa tidak ada keahlian lain makanya nelayan tetap melaut.

“Nelayan yang tidak lagi melaut, kemudian menjadi tukang batu membangun rumah tetangga dan keluarga,” sambung Azis, warga lainnya.

perlu dibaca : Menggali Potensi Ekonomi di Kepulauan Makassar dan Pangkep Saat Pandemi

 

Suasana di Pulau Barrang Caddi, seperti tak ada suasana genting karena pandemi. Foto : Pelakita.id/Mongabay Indonesia

 

Lalu bagaimana nelayan mencukupi kebutuhan sehari-hari terutama soal pangan saat kondisi pandemi ini? Menurut Azis, caranya dengan mengerjakan apa saja yang mendatangkan uang.

“Apa yang ada saja, beradaptasi dengan cara mengurangi apa yang bisa dikonsumsi, jika masih bisa melaut kami melaut, jika banyak hasil tangkapan kami jual lalu menutupi kebutuhan yang masih kurang. Kalau istri saya, tetap mengurusi rumah tangga, dialah yang mengatur segala kebutuhan di dapur,” tambah Azis.

Beberapa perempuan Barrang Caddi berjualan air bersih, air minum, membuat penganan atau sajian cepat saji seperti sambal atau kerupuk. Juga berdagang barang kelontong.

Menurutnya, kehidupan di Barrang Caddi disebut berlangsung seperti biasanya, maksudnya penggunaan atau alat-alat protokol kesehatan tak seperti di kota-kota. Usaha rumah tangga atau sampingan dari istri nelayan adalah yang sudah dilakukan sebelum pandemi tetap berlangsung kecuali jumlah kunjungan ke Kota Makassar.

“Saat di masa pandemi, tidak ada usaha sampingan yang baru, masih menggunakan sumber daya tersedia tapi siapa yang mau belanja jika ekonomi tidak baik?” tanyanya.

Menurut Basri, sebenarnya, dia termasuk optimis dengan keadaan, tetapi tak terlalu berharap ada bantuan seperti disebutkan warga lain.

“Tidak perlu ada bantuan sebenarnya, harapan kami cukup untuk pemerintah menghilangkan COVID-19 ini sesegera mungkin. Lalu berharap harga ikan kembali baik, naik, dan jika bisa harga BBM turun agar biaya melaut tidak besar. Jika harga BBM turun, nelayan kami akan lebih jauh menangkap ikan,” kata Basri.

”Jika jauh hasil tangkapan bisa banyak, dan pengumpul akan membaik juga. Tanpa hasil tangkapan ikan yang baik, banyak dan berkualitas dari nelayan, pengumpul juga akan susah,” tambah Basri lagi.

baca juga : Menakar Ketahanan Pangan di Pulau Kodingareng dan Pajjenekang di Masa Pandemi Corona

 

 

Barrang Caddi Sebelum dan Sesudah Pandemi

Kelurahan Barrang Caddi terdiri dari lima pulau yaitu Lumu-lumu, Lanjukang, Langkai, Bone Tambung dan Barrang Caddi. Luas Pulau Barrang Caddi 3,694 ha, Bone Tambung 3,247 ha, Lumu-Lumu 3,655 ha, Pulau Langkai 28,32 ha, Lanjukang 13, 40 hektar.

Penduduknya 4.425 jiwa yang terdiri dari 2.113 laki-laki dan 2.312 perempuan. Terdapat 1.079 KK yang tersebar di lima pulau, ada 5 RW dan 20 RT yang terdapat 2.925 penduduk wajib KTP.

“Data yang ada menyebutkan keluarga pra sejahtera kurang lebih 512 keluarga pra sejahtera mengalami kenaikan yang sebelumnya 331 keluarga pra sejahtera,” kata Hamzah (54), warga Pulau Barrang Caddi yang ditemui Rabu (19/8/2020).

Menurutnya, mayoritas penduduknya bekerja sebagai nelayan tradisional. Di atas pulau, vegetasi yang ada umumnya pohon kelapa dan sukun.  Di lautnya, terumbu karang juga ada meski tak sebagus pulau lain seperti Samalona atau Kodingareng Keke. Hanya ada beberapa spot selam. Pulau ini dikenal pula sebagai salah satu pulau dimana warganya kerap dikaitkan dengan pembiusan ikan.

Pulau ini juga dikenal pula sebagai pusat pembuatan perahu fiber. “Ini sudah dijalani sejak berpuluh tahun saat kayu semakin susah didapat,” kata Hamzah. Hamzah menyebut bahwa dampak pandemi terhadap masyarakat pulau adalah pendapatan berkurang karena dibatasinya akses ke Makassar.

“Otomatis hasil tangkapan nelayan tidak terjual. Apalagi belanja kebutuhan itu juga di batasi. Ini juga terkhusus bagi usaha sembako,” tambahnya.

Menurut pria yang pernah menjadi ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan Barrang Caddi ini, di Barrang Caddi termasuk di beberapa wilayah pesisir lainnya, program atau kegiatan yang dijalankan oleh Pemerintah Kota selama masa pandemi COVID-19 ini yaitu melakukan pembagian sembako dan masker pada warga.

“Ada juga penyemprotan, kami juga menggelar sosialisasi pentingnya hidup bersih dan sehat. Juga adanya bantuan tunai langsung bagi warga miskin dan nelayan yang diterima di kantor pos,” tambahnya.

“Intinya, mata pencaharian nelayan sangat terdampak. Karena beberapa perusahaan besar yang mengekspor hasil tangkapan nelayan itu tertutup. Orang beli ikan di lelong (PPI) itu sangat kurang karena mereka di-lockdown,” imbuhnya.

“Dampak lain adalah kendala untuk sosialisasi di pulau itu. Akses menuju pulau terkendala medan. Pemahaman masyarakat terkait virus ini juga kurang. Bahkan lebih banyak yang tidak percaya,” katanya. Pria yang istrinya pernah jadi Lurah di Pulau Barrang Caddi ini pernah menjabat sebagai ketua LPM selama tiga periode.

 

Ikan hasil tangkapan nelayan di Kota Makassar, Sulsel. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Harga Ikan Turun

Sampara Sarif, tokoh masyarakat di Kodingareng Lompo, salah satu kelurahan di Kecamatan Sangkarrang yang pernah menjadi anggota DPRD Kota Makassar menyebut bahwa dampak sangat nyata bagi masyarakat pesisir di Makassar, terutama di pulau-pulau.

“Terkait Covid, saya lihat masyarakat tidak lagi takut. Ini bisa jadi karena terbatasnya petugas. Sekarang mereka bilang untuk apa itu masker, sama saja,” katanya saat dihubungi pada Minggu (16/8/2020).

Yang dia ingat persis adalah harga ikan tenggiri yang drop. “Dari Rp70 ribu per kilo, turun ke harga Rp30 hingga Rp40 ribu perkilo. Murah karena memang tidak ada ekspor, mau dibawa ke mana? Tidak ada pesawat,” katanya.

Meski demikian, jika melihat keseluruhan, yang dibutuhkan warga kepulauan di Makassar adalah kepastian berusaha di laut. Warga mungkin sudah tidak tahan dengan terlalu lama ditahan-tahan, atau dibatasi.

Menurutnya, Pemerintah Kota Makassar memang harus menunjukkan kepedulian atau panduannya terutama utuk mengantisipasi korban yang jatuh karena pandemi ini.  Dia juga berharap Pemerintah Kota tetap peduli warga pulau-pulau untuk diberi perlindungan jika terdampak aktivitas penambangan pasir sebagaimana marak belakangan ini di tengah pandemi.

“Saat ini masyarakat di mana dia tinggal resah oleh adanya aktivitas penambangan pasir untuk keperluan pembangunan Makassar New Port. Harapan warga pulau itu, janganlah mengambil pasir di dekat wilayah pencarian ikan nelayan,” pintanya.

 

Ekonomi Terpukul

Kadis Kelautan dan Perikanan (DKP) Sulawesi Selatan, Sulkaf S. Latief saat menjadi pembicara webinar yang digelar Mongabay Indonesia, Jumat (17/7/2020) terkait dampak pandemi COVID-19 terhadap masyarakat pesisir dan pulau-pulau mengakui warga pulau adalah kelompok yang sangat terdampak COVID-19 ini.

“Di Makassar, restoran banyak yang tutup, padahal dari restoran inilah masyarakat nelayan bisa mendapatkan harga yang bagus. Ikan-ikan dijual ke sana. Rumput laut pun harganya turun, hanya udang yang bertahan,” katanya,

“Dampaknya bisa dirasakan nelayan dan pengusaha apalagi sejak ditutupnya akses masuk ke wilayah kota atau sebaliknya. Kami di dinas, tidak ada anggaran khusus, kami bekerja sama dengan swasta dan pemda,” bebernya.

***

*M. Rizki Latjindung, Muhammad Syukri dan Kamarudin Azis. Mereka adalah jurnalis pelakita.id Sulawesi Selatan. Artikel ini didukung Mongabay Indonesia

***

Keterangan foto utama : ilustrasi. Para nelayan di PPN Brondong, Lamongan, Jatim menyandarkan perahu untuk diperbaiki sebelum digunakan melaut. Nelayan mengaku penghasilan bulan ini bisa dikatakan lebih parah daripada musim angin kencang, kerugiannya lebih banyak. Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version