Mongabay.co.id

Bagaimana Penanganan Banjir Luwu Utara? [2]

Kondisi di Kampung Maipi, Luwuk Utara, Sulawesi Selatan, yang mengalami dampak bencana beberapa waktu lalu. Mongabay Indonesia/Eko Rusdianto

 

 

 

 

Saya memutuskan bermalam bersama pengungsi Kampung Petambua, Luwu Utara, Sulawesi Selatan, di sebuah bukit kosong di tengah hamparan sawit, penghujung Juli lalu. Ada dua tenda terpal. Ada tujuh keluarga. Anggota keluarga lain dari kampung berpencar memilih tempat aman bagi mereka.

Tujuh hari sudah banjir bandang dan longsor yang melibas segala termasuk rumah dan menelan korban puluhan orang. Di tengah udara malam nan mendung, keluarga-keluarga ini memasak makan malam. Ada telur dan mie instan, makanan siap saji dan tahan lama. Ada juga tumpukan roti tawar. Sebagian sudah kadaluarsa.

Baca juga: Gemuruh Maut di Luwu Utara

Genset listik berisik malam itu. Bola lampu menggantung memberi cahaya. Anak-anak mulai kedinginan. Karpet pemberian relawan digelar. Kelambu menggantung menghindari amukan nyamuk yang sejak magrib mendengung hebat. Sekitar pukul 20.00, hujan mengguyur deras.

Angin bertiup kencang. Terpal tenda bocor. Tempias memasuki sela tenda yang berbentuk segitiga. Beberapa orang bergegas, keluar dari tenda mengambil selembar terpal yang masih tergulung.

Badan sudah basah kuyup. Anak-anak meringkuk dalam selimut. Ada anak mengeluh sakit perut. Persediaan obat tak ada. Ibunya memijat kaki si anak dan mengelus-ngelus perut dengan pelan. Lalu berbaring di sampingnya, dan mencium sisi belakang kepala.

Kala pagi menyapa, berkeliling di berbagai tempat pakai motor melihat dampak banjir yang dahsyat. Tak ada yang bisa meramalkan bagaimana kelak Luwu Utara akan bangkit. Bagaimana material pasir akan terangkut dari rumah-rumah warga? Bagaimana orang-orang itu harus ikhlas berpindah ke tempat relokasi dan melupakan kampung mereka?

“Kita lihat ke depan. Tapi kalau semua sudah baik. Kami ingin kembali ke kampung,” kata Muharram, warga Petambua.

 

Banjir bandang  menggenangi rumah warga. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

***

Dua bulan pasca banjir dan longsor, ketika Luwu Utara dalam masa persiapan pemilihan langsung kepala daerah dan hunian sementara, serta hunian tetap sudah terbangun beberapa unit, tak ada yang membicarakan bencana itu. Orang-orang mulai meriuhkan kembali slogan, calon pemimpin yang bisa membangun kampung.

Abdul Khair Ihsan, pemuda di Kampung Meli mengatakan, mereka masih tinggal di tenda-tenda pengungsian. Ratusan pengungsi masih baru mendengar tentang unit-unit rumah yang dibangun. “Keluarga saya belum tahu. Apakah hunian itu bakal kami dapat kelak,” katanya.

Data Pemerintah Luwu Utara, menyebutkan, sebanyak 1.295 keluarga terdampak parah banjir. Untuk itu, pemerintah sedang menggalakkan pembangunan rumah hunian sementara dan tetap. Dalam rentang menunggu proses pembangunan, setiap keluarga akan mendapatkan Rp500.000 setiap bulan, untuk masa menunggu pembangunan rumah selama enam bulan.

Rumit dan data tak akurat dalam penanganan korban banjir membuat orang-orang hanya bisa bertahan dan berharap. Sumbangan dan tenaga relawan telah meninggalkan lokasi pada Agustus 2020.

 

Suasana Petambua, pasca tersapu banjir bandang. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Kawasan rawan, serius benahi?

Abdul Khair Ihsan, dan keluarga masih bertahan di tenda pengungsian. Kampung Meli, belum kondusif. Bagi warga yang rumah tak hancur diterjang banjir, mereka datang sekadar membersihkan dan melihat harta benda yang bisa diselamatkan. Ada kasur masih bisa dijemur, lemari maupun sofa.

Di Meli, riak air sungai yang dulu begitu menyejukkan dan menenangkan, berubah mencekam. Hujan yang terus mengguyur membuat warga selalu waspada. Beberapa titik di sungai, bahkan meluap. Sungai, awalnya lebar 15 meter, kini ada sampai 50 meter.

Air bergerak cepat, membuat tebing-tebing sungai dengan struktur pasir mudah longsor. “Dulu, dari jalan ke bibir sungai, jarak sekitar 60 meter. Sekarang tinggal 10 meter,” kata Ihsan. “Jadi sedikit lagi teras rumah kena juga.”

Minggu 13 September 2020, saya menghubungi Hasnia, warga di Petambua. Dua pekan sebelumnya, dia bersama keluarga memberanikan diri pindah dari tenda pengungsian ke kampung. Rumahnya tak hancur, tetapi makin dekat bibir sungai.

Dari balik telepon, suara agar berisik karena hujan. “Kalau air tinggi, kami naik kembali ke tanah tinggi di belakang kampung. Seperti itu saja,” katanya.

“Kenapa balik ke kampung,” tanya saya.

“Mau kemana lagi? Ya berharap-harap cemas juga. Tapi kami selalu waspada, saling mengingatkan.”

“Mau menunggu rumah, juga saya tidak tahu. Saya dapat rumah hunian tetap dari pemerintah atau tidak. Karena belum jelas juga.”

Kini, kerentanan sempadan di sepanjang badan Sungai Meli dan Masamba, mengkhawatirkan warga. Perkebunan masyarakat yang mengandalkan sawit di sepanjang sempadan, membuat daya dukung sungai makin kecil. Akar-akar sawit berserabut tak mampu menahan air. Di beberapa lokasi banjir, saya menyaksikan tanaman sawit menghantam rumah bahkan menindih jenazah.

Adi Maulana, Kepala Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin, menyatakan soal lansekap lingkungan. “Ketika longsor besar, kita tidak hanya melihat titik itu saja. Harus melihat daya dukung lingkungan secara kompleks,” katanya.

Kalau puncak terjaga dan hijau, katanya, tetapi bagian bawah dibuka, tentu akan mempengarui bagian atas.

Adi adalah guru besar geologi dan penelitian di Luwu Utara pada 2017. Puluhan ribu hektar sawit di garis sempadan sungai, merupakan kebijakan yang kurang menguntungkan.

Dalam beberapa diskusi daring yang digelar untuk melihat kajian struktur Luwu Utara, dia menunjukkan peta sebaran yang mencengangkan.

 

Kondisi di pesisir  Masamba, Lombok,  Sulawesi Selatan. Foto: Eko Rudianto/ Mongabay Indonesia

 

Peta itu, diberi warna merah. Seperti blok warna yang hampir menyapu semua kawasan di wilayah terdampak banjir. “Luasan ada ada 60 x 50 km atau 3.000 km persegi. Inilah wilayah yang sebenarnya sangat riskan dan perlu perlakuan khusus dalam penanganan pembangunan daerah,” kata Adi.

Tak hanya rawan dalam struktur, alih fungsi lahan terjadi begitu luas. Wilayah ini peroleh izin perhutanan sosial. Ada enam izin hutan kemasyarakat (HKm) di wilayah KPHL Unit IX Rongkong, dengan luasan 3.616 hektar.

HKM seyogyanya terkelola dengan sistem agroforestri, malah tidak berjalan. Di KPH Uro, pembukaan lahan bahkan membabat dan membakar hutan untuk membuat tanaman baru.

Ada juga izin Lembaga Pengelolaan Hutan Desa mencapai 9.176 hektar. Bagaimana pengawasan dan evaluasi pengelolaan program ini? Beberapa lembaga swadaya masyarakat menyangsikan. Ada satu HKM di pesisir Malangke, berubah jadi pertambakan.

Dalam buku Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Luwu Utara tahun 2017, luas Luwu Utara 7.502,58 km persegi (750.258 hektar). Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah 2011-2031, terdapat dua kawasan lindung 362.214,91 hektar dan kawasan budidaya 328.180,697 hektar. Dari luasan ini, pada 2011, sebagian besar kawasan hutan.

Laporan itu juga menyebutkan, kalau kawasan hutan di Luwu Utara dalam daftar kritis. Bahkan disebutkan pula fungsi eksosistem hutan mangrove di daerah Malangke, Malangke Barat, dan Bone-bone, makin menurun.

“Ini berbanding terbalik. Jika kritis, HKM di kawasan mangrove, kenapa dibuka? Sekarang mangrove di Malangke makin tipis,” kata Ibrahim, anggota pencinta alam di Masamba.

Bagi Ibrahim, laporan mengenai lingkungan Luwu Utara yang dibuat pemerintah, seharusnya jadi prioritas. “Ada peningkatan laju sedimentasi di sungai besar, lalu apa yang kita lakukan? Malah membuka izin pembukaan perkebunan sawit di bantaran sungai. Ini kan aneh,” katanya.

“Pemerintah tahu kekurangannya, tapi tidak dibenahi. Begitu kan.”

 

Penyelidikan setop

Ketika banjir menerjang pada 13 Juli 2020, orang melihat pilu. Ada korban jiwa sampai kehilangan tempat tinggal. Diskusi digelar hampir saban hari, melalui aplikasi daring. Orang-orang bebas bercerita mengenai spekulasi awal banjir bandang.

Hasilnya, longsor di kawasan hulu, pembalakan liar, alih fungsi lahan sampai kesalahan tata kelola ruang. Kesepakatannya, tak banyak membuahkan hasil. Penyebab utama disepakati, ada longsoran di hulu sungai mencapai 400 titik longsor.

Bagaimana ratusan titik longsor itu mengendap, membendung, lalu bersama lepas dan memenuhi batang sungai, tak ada penjelasan. Di Kampung Maipi, hulu dan wilayah Malangke sebagai muara Sungai Masamba, membentang sejauh 15 km. Di Kampung Melli sebagai hulu dan Kampung Lara sebagai muara Sungai Radda, tumpukan sedimen begitu banyak.

Kalau bagian hulu dan tengah di kedua batang sungai itu, sedimen adalah pasir, di wilayah muara bercampur lumpur. Material-material longsoran yang mengeras kini jadi daratan baru.

“Apakah 400 titik longsor itu keseluruhan adalah material yang mengubur kampung hingga muara? Bagaimana dengan sempadan sungai yang hilang hingga puluhan meter?” kata Ibrahim. (Selesai)

 

 

Keterangan foto utama:  Kondisi di Kampung Maipi, Luwu Utara. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version