Mongabay.co.id

Dampak Pandemi di Pesisir Makassar : Terpuruknya Warga Pulau Lumu-Lumu (bagian 4)

Saat cuaca buruk awal Maret 2020, sebagian nelayan di Tuban, Jatim, memilih untuk memperbaiki kapal maupun alat tangkap mencari ikan. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Raut muka Haji Amiruddin datar saat ditanya keadaan usahanya. Pria yang sudah berpuluh tahun jadi pengumpul atau pengepul dari hasil laut itu tak menyungging senyum.

“Harga Ikan murah, menurun drastis dari harga normal. Saya terakhir kali menjual ikan hasil kumpulan nelayan tiga hari lalu,” katanya saat ditemui di Pulau Lumu-Lumu bagian dari Kelurahan Barrang Caddi, Kecamatan Kepulauan Sangkarrang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (15/8/2020).

Matanya jatuh di beberapa cooler box yang melompong. Biasanya dalam waktu tiga hari kotak penyimpan ikan itu terisi penuh. “Sekarang harus menunggu berhari-hari, terutama setelah mulai tersebar berita COVID. Hampir tak berisi,” katanya.

Selama ini, untuk menjalankan jual beli ikannya dia harus menyiapkan armada, penampung ikan dan es balok. “Jualnya di Paotere,” katanya. Paotere yang disebut adalah Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) di ujung utara Kota Makassar.

Amiruddin lalu membuka-buka catatan. Gurita adalah komoditas hasil laut yang banyak dijualnya. “Kalau gurita grade A ukuran dua kilo ke atas harganya Rp25 ribu/kg. Kalau grade B atau satu kilogram seharga Rp20 ribu/kg. Grade C ukuran 0,5 kg dihargai Rp15 ribu/kg, sementara ukuran kecil di bawah 0,3 ons seharga Rp10 ribu/kg,” paparnya.

baca : Dampak Pandemi di Pesisir Makassar : Terpuruknya Warga Pulau Lumu-Lumu (bagian 4)

 

Seorang nelayan memperlihatkan gurita hasil tangkapannya di Pulau Lumu-Lumu. Harga gurita jatuh di tengah pandemi COVID-19. Foto : Pelakita.id/Mongabay Indonesia

 

Amiruddin tinggal bersama 10 anggota keluarga lainnya. “Kami ada 10 orang, ada 3 kepala keluarga. Ada istri, anak 3, menantu 2, cucu 4. Hanya di rumah mengurus pekerjaan rumah,” katanya.

Modal yang diputar Amiruddin adalah hasil penjualan. “Ini saja yang diputar, kalau tidak adami nelayan beroperasi, tidak adami juga dana,” kata pria yang mengaku lahir dan besar di Pulau Lumu-Lumu.

“Produksi menurun karena sulitnya biaya bahan bakar untuk keluar melaut. Hasil tangkapan nelayan Lumu-Lumu bervariasi, ada gurita, ikan kerapa sunu, tenggiri, sotong,” katanya.

Hasil penjualan ikan di Kota Makassar digunakan untuk membeli beras, mie, dan bahan pokok lainnya. Hasil tangkapan yang didapatkan disisakan untuk dimakan di rumah

“Istri buka usaha penyewaan pakaian adat pesta. Semoga pandemi ini cepat berlalu, dan diharapkan perhatian pemerintah yang lebih terhadap masyarakat pulau,” harapnya.

Tentang berita COVID-19, Amiruddin mengaku menonton di televisi dan belakangan pihak Keluranan Barrangcaddi – pulau induk – telah melakukan upaya pencegahan dengan memberikan himbauan kepada warga untuk menerapkan protokol kesehatan seperti menjaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan.

Menurutnya, pola tangkap para nelayan berubah sejak adanya COVID-19 ini. “Karena hasil tangkapan sebelumnya tidak cukup untuk modal bensin, trip sebelumnya. Biasanya nelayan berhenti sementara selama 3 hari ,” katanya.

“Harga ikan murah. Kadangkala persoalan ini membuat nelayan malas untuk pergi menangkap ikan, pengumpul juga berhenti sementara dikarenakan hasil ikan yang dijual ke makassar tidak mencukupi untuk menutupi modal usaha,” katanya.

baca juga : Dampak Pandemi di Pesisir Makassar : Potret Pulau Lae-Lae, Lesunya Perdagangan Ikan Hingga Sepinya Papalimbang [Bagian 2]

 

Panorama pesisir Pulau Lumu-lumu, Kota Makassar dengan kapal bantuan DKP. Foto : pelakita.id/Mongabay Indonesia

 

Bantuan para pihak

Amiruddin menyebut bahwa warga Pulau Lumu-Lumu sudah tiga kali mendapat sosialisasi program antisipasi pandemi.

“Ada dari Dinas Sosial, dari Polairud, dan dari Pelindo,” kata ketua RW ini. Bantuan yang diterima ada dalam bentuk pangan namun ada juga yang melakukan penyuluhan dan penjelasan mengenai antisipasi COVID-19 ini.

Sementara menurut keterangan dari pengurus RW setempat, belum ada bantuan berupa sembako dari kelurahan, hanya berupa himbauan kepada masyarakat untuk menjalankan prosedur PSBB dengan menjaga jarak, sering mencuci tangan, dan menggunakan masker. Ketentuan lain adalah warga tidak diperbolehkan melakukan pesta saat acara pernikahan selama pandemi berlangsung.

Sedangkan Agus (36) dan Saripuddin (28), nelayan pancing di Pulau Lumu-Lumu mengaku mengetahui perihal COVID-19 ini media televisi. Mereka juga bercerita bahwa harga ikan jadi murah, menurun drastis dari harga normal.

“Saya melaut dua hari lalu, pancing gurita dan pancing ikan. Dijual ke pengumpul ikan di pulau Lumu-Lumu,” kata Agus. Dia menjual gurita dengan harga Rp25 ribu/kg untuk kualitas terbaik atau grade A. Lalu Rp20 ribu/kg untuk grade B dan Rp15 ribu/kg untuk grade C. “Kalau ikan sunu (kerapu merah) dijual Rp20 ribu hingga Rp25 ribu/kg,” kata Agus.

Sementara itu, Saripuddin yang tinggal bersama 3 orang anggota keluarga, bersama istri dan 2 anak.  “Kami bertahan hidup dari hasil penjualan ikan dan usaha sampingan. Seringkali juga berhutang bahan bakar untuk kebutuhan menangkap ikan,” kata Saripuddin.

Menurut Saripuddin, dulu sewaktu akan mendarat kadang kesulitan untuk masuk ke pelabuhan karena dibatasinya pengunjung di pelabuhan.

perlu dibaca : Dampak Pandemi di Pesisir Makassar : Tak Lagi Dapat Bantuan, Warga Pulau Barrang Caddi Anggap Pemerintah Sudah bangkrut [Bagian 3]

 

Istri nelayan warga Pulau Lumu-lumu, Kota Makassar membuat dan menjual masakan dan sayuran untuk menambah penghasilan keluarga di kala pandemi COVID-19. Foto : pelakita.id/Mongabay Indonesia

 

Agus yang merupakan warga Barrang Lompo dan menikah dengan perempuan Lumu-Lumu tersebut menyebut bahwa sejauh ini tidak ada peningkatan produksi hasil tangkapan.

“Sama seperti biasanya sebelum pandemi. Kadang meningkat kadang menurun. Tergantung kondisi cuaca. Kadang sekali melaut dapat 1 – 2 kg. Di samping itu kadang nelayan sulit mendapatkan hasil tangkapan gurita di saat bulan terang,” lanjutnya.

“Pola tangkap atau lama melaut berubah karena hasil tangkapan yang kurang. Biasanya nelayan berhenti sementara jika cuaca kurang memungkinkan dan jika ada acara, misalnya menjelang hari kemerdekaan mereka untuk sementara berhenti menangkap ikan untuk persiapan 17 Agustus,” kata Agus.

“Harga ikan kerapu yang biasanya dijual sampai Rp50 ribu/kg, sekarang  hanya Rp18-25 ribu/kg. Apalagi ikan hanya dijual di pengumpul, alasannya pertimbangan biaya transportasi menuju Makassar untuk dijual langsung,” tambah Agus.

Di samping mengurus pekerjaan di rumah, istri Agus memiliki usaha jualan sayur di pulau yang bahan jualannya dibeli dari makassar. Sementara istri Saripuddin membuka usaha jualan air dan membantu keluarganya menjual sembako di pulau.

“Harapan kami, semoga pandemi ini cepat berlalu, dan harga ikan kembali normal. Bantuan yang diharapkan berupa sembako,” tutup Agus.

baca juga : Menggali Potensi Ekonomi di Kepulauan Makassar dan Pangkep Saat Pandemi

 

Seorang warga Pulau Lumu-lumu, Kota Makassar berjualan air bersih untuk membantu pendapatan keluarganya. Foto : pelakita.id/Mongabay Indonesia

 

Senada dengan Agus dan Saripuddin, Halido, pengelola pondok informasi atau bangunan bantuan Proyek CCDP-IFAD di Pulau Lumulumu mengaku tidak ada yang berubah dalam praktik berusaha.

“Oleh sebab tidak memiliki keahlian lain, masyarakat di Lumu Lumu tidak berganti profesi, hanya sebagai seorang nelayan penangkap ikan. Mereka tetap melaut menangkap ikan, seberapa pun harganya terjual kami tetap harus menerima,” katanya.

“Beberapa nelayan ada yang istrinya membantu menambah penghasilan seperti, membuka jualan kebutuhan rumah tangga dan anak anak, makanan ringan, menjual sayur dan olahan sambal ada pula yang menjual air bersih,” jelas Halido. Di Lumu-Lumu, harga air per jeriken antara Rp3 ribu hingga Rp5 ribu.

Halido, seperti H. Amiruddin berharap ada bantuan untuk kebutuhan nelayan seperti alat tangkap tali pancing tasi, mata kail jaring, perahu, dan kebutuhan pokok. “Sebaiknya, bantuan tersebut tidak lagi singgah di pulau lain sebab akan terbagi jika sampai di sana,” katanya.

Halido juga berterima kasih atas bantuan sebanyak 3 kali yang disampaikan oleh Pihak Kepolisian Sulsel dan Polrestabes Makassar, Dinas Sosial dan Pelindo.

“Memang, bantuan tersebut tidak pernah cukup dan merata, sehingga bantuan kami bagi lagi hingga semua masyarakat mendapatkan jatah. Caranya dengan mendata masyarakat yang tidak mendapatkan sama sekali bantuan dari PKH dari Pemerintah Pusat dan dari donatur lain,” tutup Halido.

 

Ekonomi Terpukul

Kadis Kelautan dan Perikanan (DKP) Sulawesi Selatan, Sulkaf S. Latief saat menjadi pembicara webinar yang digelar Mongabay Indonesia, Jumat (17/7/2020) terkait dampak pandemi COVID-19 terhadap masyarakat pesisir dan pulau-pulau mengakui warga pulau adalah kelompok yang sangat terdampak COVID-19 ini.

“Di Makassar, restoran banyak yang tutup, padahal dari restoran inilah masyarakat nelayan bisa mendapatkan harga yang bagus. Ikan-ikan dijual ke sana. Rumput laut pun harganya turun, hanya udang yang bertahan,” katanya,

“Dampaknya bisa dirasakan nelayan dan pengusaha apalagi sejak ditutupnya akses masuk ke wilayah kota atau sebaliknya. Kami di dinas, tidak ada anggaran khusus, kami bekerja sama dengan swasta dan pemda,” bebernya.

***

*Rizki Latjindung, Muhammad Syukri, dan Kamarudin Azis. Mereka adalah jurnalis pelakita.id Sulawesi Selatan. Artikel ini didukung Mongabay Indonesia

 

***

Keterangan foto utama : Ilustrasi. Nelayan di Kabupaten Tuban, Jawa Timur sedang memperbaiki kapal maupun alat tangkap mencari ikan. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version