Mongabay.co.id

Ummi Ningsih dan Kreativitas Warga Desa Narmada Manfaatkan Biogas

 

 

Bagi Ummi Ningsih, warga Desa Narmada, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, persoalan energi bukan masalah Rupiah. Tetapi, keterkaitan antara kelangsungan hidup manusia dengan kelestarian alam. Dalam pemikirannya, manusia harus kreatif untuk menghasilkan sesuatu. Termasuk, menciptakan energi ramah lingkungan yang bahan bakunya berasal dari lingkungan sekitar.

Saat awal menjabat Ketua PKK Desa Namarda, bersama sang suami Jhoni Suryanto yang merupakan plt Kepala Desa Narmada pada 2010, Ummi Ningsih ingat betul empat program yang harus diperhatikan. Ada agama dan gotong royong, pendidikan dan keterampilan, ekonomi, serta kesehatan dan lingkungan. Dari sini, keresahannya berawal.

Empat program itu yang selalu dipikirkan perempuan yang merupakan guru di SMP N 2 Lingsar, untuk memajukan desanya. Saat melihat tumpukan sampah plastik, ia berpikir untuk memanfaatkannya. Beberapa literatur ia pelajari, hingga akhirnya diputuskan untuk menjadikan sampah plastik yang ada sebagai bahan kerajinan.

Kini, kerajinan tersebut dikelola oleh Komunitas Paman Sam [Pengelolaan dan Pemanfaatan Sampah] yang sangat membantu perekonomian warga Narmada.

Bahkan, kerajinan berupa tas belanja, dompet, hingga pernak pernik tersebut menarik wisatawan asal Jepang, Belanda, Australia dan Selandia Baru untuk datang langsung, belajar ke desa ini.

“Biasanya, untuk wisatawan asing ada paket belajar Bahasa Indonesia dengan fokus kerajinan bahan plastik. Tapi, ada juga yang memang khusus belajar,” terangnya, pertengahan Agustus 2020.

 

Ummi menyalakan lampu yang energinya bersumber dari biogas. Foto: Dedi Suhadi/Mataramradio

 

Energi terbarukan

Keberhasilan memanfaatkan sampah anorganik menjadi kerajinan bernilai ekonomi, membuat Ummi Ningsih semakin semangat berkarya. Berdasarkan data, dari 3.000 ton sampah di NTB setiap harinya, 80 persen merupakan sampah organik, dan kondisi ini juga yang dipikirkannya.

Pada 2012, saat melakukan kegiatan pengabdian masyarakat, Universitas Mataram melalui Fakultas Peternak, memberikan bantuan dua ekor sapi ke desa ini. Ummi Ningsih coba mulai memaksimalkan potensi itu sambil mencari cara bagaimana mendapatkan pakan sapi, terutama rumput.

Solusi ditemukan, dia melihat tumpukan kulit singkong di sekitar desa yang tidak termanfaatkan, sisa usaha keripik. Setelah berbicara dengan pemiliknya, Ummi berhasil “memboyong” kulit singkong sebanyak 80 kilogram perhari untuk pakan sapinya.

Namun masalah baru muncul, kotoran sapi yang ada belum bisa dimanfaatkan. Profesor Adji S. Drajat, pembimbing mahasiswa Universitas Mataram, pernah mengatakan kotoran sapi bisa dimanfaatkan sebagai biogas. Tapi, siapa ahlinya?

Gayung bersambut. Umar, Koordinator Yayasan Rumah Energi NTB, yang didukung HIVOS, menawarkan kerja sama. “Alhamdulillah, waktu itu ada program pemanfaatan kotoran sapi menjadi biogas,” terangnya.

Pada 2013, kesepakatan ditandatangani antara Yayasan Rumah Energi dengan Ummi Ningsih. Pembuatan tabung reaktor dimulai dan biogas bisa dimanfaatkan untuk keperluan dapur serta penerangan. “Bau kotoran sapi terselesaikan, gas gratis dihasilkan,” ungkapnya.

Lagi-lagi persoalan muncul. Kulit singkong yang merupakan pakan sapi tidak diperkenankan lagi diambil oleh pemiliknya. “Sempat kaget juga. Padahal, tidak ada orang yang bisa dimintai tolong untuk mencari rumput,” jelas Ummi.

Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya sapi dijual karena pasokan pakan yang tidak mencukupi. Lantas bagaimana nasib biogas? Profesor Adji memberi solusi untuk memanfaatan limbah organik rumah tangga sebagai pasokan biogas. “Sejak itu, limbah rumah tangga menggantikan kotoran sapi dan beberapa ibu juga minta dilibatkan bila ada program biogas.”

Gayung kembali bersambut. Dinas Lingkungan Hidup Lombok Barat memiliki Program Kampung Iklim [ProKlim]. Menurut Kasi Pencemaran Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Lombok Barat, Nursita, ProKlim yang dimulai sejak 2012 merupakan upaya mengurangi dampak pemanasan global sekaligus mengurangi pencemaran lingkungan. Dinas Lingkungan Hidup Lombok Barat memutuskan membuat program biogas.

Desa Narmada saat itu tengah mencanangkan program Pola Hidup Bersih dan Sehat [PHBS]. Turunan program ini menata lingkungan agar bersih dan sehat. Pemanfaatan kotoran sapi untuk biogas menjadi alternatif pemecahan masalah bagi warga desa yang sebagian besar memelihara sapi di pekarangan rumah. Berkat komunikasi intensif pihak desa dengan dinas, pembuatan biogas bisa dilaksanakan.

Sejak 2015 hingga 2018, warga Desa Narmada mendapatkan bantuan pembangunan biogas 15 unit yang ditempatkan di Dusun Batu Kantar [14 unit] dan di Dusun Temas [1 unit]. Hingga kini, seluruh biogas itu berfungsi baik.

 

Kompor ini menyala menggunakan energi yang berasal dari biogas juga. Foto: Dedi Suhadi/Mataramradio

 

Prioritas

Doni, warga Dusun Batu Kantar, Desa Narmada, tertarik menggunakan biogas setelah melihat keberhasilan Ummi. Doni yang mendapat bantuan pada 2015, merasakan betul manfaatnya. “Dalam sebulan tidak perlu lagi mengeluarkan uang sebesar 40 ribu Rupiah untuk beli gas. Bahkan, dari tiga sapi yang ada bisa memenuhi kebutuhan gas di tiga rumah,” jelasnya.

Menurut Doni, menjadikan kotoran sapi sebagai bahan baku biogas tidak terlalu sulit. Semua keperluan pembuatan tabung hingga pelatihan sudah ada yang menanggung.

Untuk bisa memanfaatkan biogas terus-menerus, Doni dan keluarganya setiap pagi memasukkan kotoran sapi ke tabung reaktor. Dari tabung, gas metan disalurkan melalui pipa yang terhubung kompor. “Hasil olahan biogas bisa dimanfaatkan juga untuk pupuk tanaman. Dalam sebulan bisa dijual hingga Rp200 ribu, itu juga sebagiannya bisa dimanfaatkan untuk tanaman sendiri,” jelasnya.

Sriyanti, warga Batu Kantar, sangat terbantu hadirnya biogas. Selain untuk keperluan dapur, biogas dari empat ekor sapi di rumahnya juga dimanfaatkan untuk usaha kuliner. “Saya jualan lauk pauk. Dulu, satu tabung gas untuk tiga hari. Kini, dengan memanfaatkan biogas, satu tabung bisa dipakai satu minggu lebih,” paparnya.

Pemanfaaatan kotoran sapi menjadi biogas, menurut Kepala Seksi Pengembangan Energi Baru Terbarukan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi NTB, Niken Arumdati, merupakan prioritas Pemerintah NTB. Namun, keterbatasan anggaran membuat program ini tidak berjalan secepat yang diinginkan.

Tahun 2018, dengan sharing dana pemerintah pusat, NTB berhasil membangun biogas sebanyak 389 unit. Namun di 2019, ketiadaan dana alokasi khusus dari pemerintah pusat mengakibatkan Pemerintah NTB hanya bisa membangun dua unit biogas.

Pada 2020, Pemerintah NTB akan membangun sebanyak 44 unit biogas dengan anggaran satu biogas sebesar Rp13 juta. “Ini murni APBD NTB,” jelas Niken.

Bila dilihat dari target yang ditetapkan Pemerintah NTB, pada 2025 ketika pemanfaatan energi terbarukan harus mencapai 23 persen, kondisinya belum ideal. “Anggaran saat ini tidak lebih satu persen.”

Niken mengakui, untuk mewujudkan target tersebut tidak mudah, tapi bukan tidak mungkin. Pemerintah NTB bisa melakukan kerja sama dengan perusahaan atau BUMN, sehingga ada sharing dana. “Ini harus dilakukan bila ingin mewujudkan pemakaian energi terbarukan mencapai 23 persen,” paparnya.

 

Pupuk organik cair ini dihasilkan dari sisa pengolahan biogas yang bermanfaat untuk tanaman. Foto: Dedi Suhadi/Mataramradio

 

Peternakan terintegrasi

Dosen Fakultas Pertanian Universitas Mataram, Lolita Endang Susilowati, menyatakan sisa kotoran sapi hasil biogas dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Persoalan yang mengemuka, masyarakat selama ini telanjur memanfaatkan pupuk urea sehingga mengalami kesulitan jika ‘dipaksa’ menggunakan pupuk organik. “Jalan terbaik adalah memberi contoh,” terangnya.

Di lahan rumahnya sekitar 1.500 meter persegi, Ummi Ningsih bereksperimen menggunakan pupuk organik untuk seluruh tanaman. Hasilnya menggembirakan, pertumbuhan tanaman normal karena tanah kembali subur. “Ada dua jenis pupuk yang keluar dari tabung reaktor biogas, padat dan cair. Kedua pupuk ini sama bermanfaat bagi tanaman,” jelasnya.

Umar menambahkan, bio slury cair dapat dimanfatkan untuk pembenihan hingga ikan berumur satu bulan. Caranya, cukup siramkan ke kolam dan dibiarkan. Ini akan memancing datangnya plankton yang sangat baik bagi pertumbuhan benih ikan. Jika ikan sudah besar, bio slury padat dicampur dedak dan tepung kanji kemudian dicetak menyerupai butiran dapat diberikan. “Lalu diberikan ke ikan,” katanya.

Ummi Ningsi telah mengaplikasikan konsep apa yang dijelaskan Umar, membuat kolam ikan. “Kalau bisa memanfaatkan bio slury dan lemna, ikan akan tumbuh normal, tanpa perlu tambahan pakan sejak benih ditabur hingga panen,” terangnya.

Dikatakannya, integrated farms atau peternakan terintegrasi tidak harus dengan lahan luas. “Kalau bisa diterapkan, uang belanja dapur dapat dimanfaatkan untuk keperluan lain.”

 

Tanaman ini diberikan pupuk yang berasal dari sisa pengolahan biogas. Foto: Dedi Suhadi/Mataramradio

 

Sosok inspiratif

Keberhasilan Ummi Ningsih sebagai Ketua PKK Desa Narmada 2010-2018, mendampingi sang suami menata kehidupan masyarakat sekaligus memanfaatkan energi terbarukan mendapat penghargaan dari tiga kementerian yakni Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Dengan pendekatan sosial dan psikologi, Ummi mampu membangkitkan kesadaran masyarakat sehingga mau menata lingkungannya.

Ana dan Asma, dua anggota Paman Sam memberikan pujian pada Ummi yang dianggap sosok inspiratif. Tidak pelit berbagi ilmu. “Sebelum corona [COVID-19] melanda, saya dapat satu juta Rupiah dari hasil jualan tanaman dan pupuk,” jelas Ana yang memanfaatkan halaman rumah ukuran 1,5 meter x 7 meter untuk bercocok tanam.

Sedang Asma, mengaku keterampilan yang diperolehnya dari Ummi dalam hal memanfaatkan sampah anorganik menjadi barang kerajinan sangat membantu. “Sampah jadi berkah,” katanya.

Bayu, pemilik Botanic Garden, ikon pariwisata di Desa Narmada, mengatakan Ummi sangat menginspirasi warga. “Pemanfaatan pupuk organik untuk tanaman di Botanic Garden juga berkat beliau,” ungkapnya.

Ketua Dewan Pengawas Yayasan Pancakarsa, Endang Susilowati yang konsen memperjuangkan isu gender mengacungkan jempol atas dedikasi Ummi Niningsih. “Perempuan lebih paham, bagaimana mengatur dapur. Adanya ibu-ibu yang berjualan memanfaatkan biogas merupakan suatu keberhasilan yang harus didukung pemerintah daerah,” katanya.

Program energi terbarukan dengan melibatkan perempuan dinilai Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia, Mike Verawati Tangka, masih sedikit. Padahal perempuan yang paling banyak bergelut dengan energi. Dia berharap ada skema yang jelas dari pemerintah untuk penggunaan energi terbarukan bagi rumah tangga.

”Diperlukan kebijakan pengarusutamaan gender dalam pengembangan energi terbarukan,” katanya.

 

Dari lubang ini, kotoran sapi diaduk sebelum dimasukkan ke dalam tabung reaktor biogas. Foto: Dedi Suhadi/Mataramradio

 

Membangun kembali desa wisata

Kepala Dinas Pariwisata Lombok Barat, Saiful Ahkam, mengakui sebagai satu dari 57 desa wisata yang ada di Lombok Barat, Narmada menjadi target pengembangan pariwisata yang harus segera dilaksakanan. Dengan potensi pariwisata yang ada, mulai air terjun, taman hijau, kesenian, hingga religi merupakan bagian menarik dalam pengembangannya.

Apalagi, Desa Narmada sudah mendapatkan penghargaan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, sebagai model pengembangan desa wisata. Di Narmada juga terdapat Taman Narmada yang dibangun pada 1727 Masehi, peninggalan Kerajaan Karang Asem Lombok.

Dikatakan Ahkam, dalam penataan pariwisata, Pemerintah Kabupaten Lombok Barat membagi tiga zona yakni merah, kuning dan hijau. Zona merah merupakan daerah yang tidak memiliki potensi pariwisata sehingga dikesampingkan dulu. Zona kuning merupakan wilayah yang dilakukan pemetaan kembali potensinya. Zona hijau, pemerintah mendukung sepenuhnya termasuk promosi ke luar NTB.

Namun, untuk membangun pariwisata bukan hanya kemauan pemerintah tapi juga keterlibatan masyarakat sehingga pariwisata berjalan mandiri. “Kesadaran masyarakat menjadi hal penting bagi pengembangan desa wisata,” katanya.

Kepala Desa Narmada, Subayanto mengatakan, masyarakat sebagai pemegang utama kemajuan memang harus memahami potensi daerahnya. “Kalau masyarakat sudah sadar akan mudah diajak membangun termasuk memajukan pariwisatanya.”

Agar pariwisata kembali menggeliat, Subayanto mengaku terus menjalin komunikasi dengan tokoh masyarakat, tokoh adat, generasi muda, juga ibu-ibu rumah tangga. “Desa Narmada harus bisa lebih maju lagi,” tandasnya.

 

* Dedi Suhadi, jurnalis Mataramradio.com. Artikel ini didukung Mongabay Indonesia.

 

 

Exit mobile version