Mongabay.co.id

Debu Batubara Resahkan Warga Desa Muara Jambi

 

 

 

 

Di seberang Sungai Batanghari, Desa Muara Jambi, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, debu hitam mengepul pekat dari arah gunungan stockpile batubara milik PT Tegas Guna Mandari (TGM). Debu terbang bebas mengikuti arah angin.

Zalmiati, duduk di teras rumah hanya bisa diam melihat debu beterbangan itu. Dia tak lagi heran, karena saban hari itu terjadi.

Beberapa bulan lalu, kondisi kesehatan perempuan 42 tahun itu sempat memburuk karena batuk yang dideritanya. “Sudah berobat kemano-mano, suntik tigo kali nggak sembuh-sembuh. Kata orang ini batuk karena debu batubara,” katanya.

Kondisi makin buruk saat kemarau tiba. Debu batubara kering begitu mudah tersapu angin hingga ke rumah warga, mengotori lantai, dinding, bahkan peralatan makan di dapur.

“Air untuk minum itu kalau tidak ditutup hitam semua, kena debu batubara. Kalau kita mau makan, gelas, piring itu kito celup dulu ke aek (air), kalau nggak batubara semua,” kata Zalmiati.

Nasib sama dialami tetangganya, Maryani. Setiap hari lantai rumah Maryani selalu kotor rata dengan debu batubara.

“Piring, magicom di rak itu kalau tidak ditutup pasti hitam. Sampai nasi hitam jugo kalau tidak ditutup pakai lab.”

“Biarpun pintu ditutup, debu tetap masuk.”

Dia kemudian mengusapkan tangan pada kaca nako rumahnya. Sekali usap, telapak tangan pun hitam karena debu batubara.

Maryani bilang, debu batubara itu kerap naik saat perusahaan bongkar muat di atas kapal tongkang. “Kami tengok PT tu siram, tapi siram dimano tapi loading-nyo ntah dinamo, tetap bae ado debu.”

Tahun lalu, anaknya yang baru empat tahun batuk sampai tiga bulan tak sembuh-sembuh. Dia menduga karena debu batubara yang saban hari mengotori rumahnya.

Maryani hanya bisa pasrah setiap hari menghirup udara kotor dari polusi batubara.

Lewat perangkat desa, TGM bagi-bagi sembako pada warga di sekitar stockpile. Maryani sudah dua kali dapat bantuan sembako dari perusahaan, terakhir sebelum puasa.

“Ada beras dua kilogram, minyak dua kilogram, susu dua kaleng dan mi instan 10 bungkus, teh sekotak.”

Kabar dari perangkat desa, bantuan akan diberikan tiga kali setahun tetapi tetap tak akan sebanding dengan bahaya dari debu batubara yang mereka hirup setiap hari.

Dinas Lingkungan Hidup Muaro Jambi mencatat, kasus ISPA mencapai angka tertinggi pada 2019. Asap kebakaran hutan dan lahan ditengarai jadi penyabab utama,

Namun, katanya, debu batubara di pinggir Sungai Batanghari juga ikut andil. Bondan, juru kampanye iklim dan energi Greenpeace bilang, dalam jangka panjang bahaya debu batubara bisa memicu dampak lebih serius. “Dampaknya bisa paru-paru hitam, bahkan stroke,”

Abu Zar AB, Kepala Desa Muara Jambi, mengatakan, lebih 200 keluarga di RT01, 02, dan 03 yang tinggal di pinggiran Sungai Batanghari kena dampak aktivitas stockpile batubara milik TGM dan PT. Nan Riang. “Ada 250 keluarga tinggal dekat stockpile itu,” katanya.

 

Maryani, warga Desa Muara Jambi, bersama balitanya. Anaknya pernah batuk berbulan-bulan. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Banyak warga protes kena dampak debu batubara. Abu sudah melaporkan masalah debu stockpile itu ke Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Muaro Jambi. Lagi-lagi, tak ada solusi.

“Pada 2019, rapat di DLH (Dinas Lingkungan Hidup-red) itulah ujung-ujungnya mentok sampai sekarang, tidak ada solusi. Janji minggu depan sampai sekarang nggak ada rapat-rapat lagi.”

Sejak 1989, perusahaan stockpile batubara mulai beroperasi di Desa Muara Jambi. Jumlah naik pada 2000-an. TGM mendapatkan izin operasi mulai 2008, masa Bupati Muaro Jambi Burhanuddin Mahir.

Kini, TGM jadi lokasi penumpukan ribuan ton batubara milik PT PDE dan PT Baskara. Stockpile milik PT.Nan Riang, PT KBP (Triveni) juga beroperasi dekat Desa Muara Jambi.

Agustus lalu, Pemerintah Desa Muara Jambi memanggil TGM. Pemerintah desa meminta solusi konkret atas permasalahan debu barubara yang sudah berlarut dari belasan tahun lalu.

Nan Riang juga diudang meski tak beroperasi di Desa Muara Jambi. “Kalau Nan Riang itu di Talang Duku, tapi dampaknya itu kena kita juga,” kata Abu Zar.

Saat pertemuan di kantor desa, hanya TGM yang datang diwakili JA Ginting, bagian legal dan hukum perusahaan. Pemerintah Desa Muara Jambi minta, setiap kali perusahaan bongkar muat batu bara harus penyiraman agar debu tak sampai ke rumah warga. Abu Zar juga minta bongkar batubara malam hari.

“Saya pengennya masyarakat tenang jangan sampai heboh. Soalnya urusan dengan PT ini enak-enak sakit, urusannya sepele tapi sulit.”

TGM mengklaim, telah memperhatikan tata kelola lingkungan. Bahkan empat tahun terakhir perusahaan gunakan conveyor otomatis untuk mengurangi dampak debu batubara saat bongkar muat dari kapal tongkang.

“Kita juga sudah mengadakan conveyor otomatis, jadi kalau batubara naik, ikut naik jadi debu tidak kemana-mana, diikuti penyiraman. Kita tidak tahu perusahaan lain apakah mengikuti cara kita atau tidak,” kata Ginting.

TGM, katanya, tak keberatan kalau pemerintah desa menuntut aktivitas bongkar muat malam hari. “Operasional malam kita sudah biasa, kalau cauaca berangin terus panas terik kita pasti malam. Itu sudah kita lakukan dari dulu, kalau sudah berdebu kita siram.”

 

Kapal tongkang mengangkut ribuan ton batubara melalui Sungai Batanghari. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Ancam Candi Muaro Jambi

Tak hanya kesehatan warga, debu batubara juga mengancam bangunan Candi Muaro Jambi. Bangunan Candi Hindu-Buddha yang dibangun abad ke-7 hingga 12 masehi itu terancam pelapukan dini karena polusi debu batubara.

Sejak 2011, Abdul Havis, Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia di Jambi ini menolak keberadaan stockpile batubara di Desa Muara Jambi. Dia nilai, tumpukan ‘emas hitam’ itu bisa mengancam Candi Muaro Jambi yang tengah diusulkan ke UNESCO untuk jadi Situs Warisan Dunia.

Dia khawatir, debu batubara bisa mempercepat pelapukan bangunan Candi Muaro Jambi. “Batu candi itu jadi hitam keno debu batubara.”

Dia mengkitisi, kebijakan Pemerintah Muaro Jambi yang menetapkan Desa Muara Jambi, masuk kawasan industri. Pasalnya, Desa Muara Jambi merupakan ring satu kompleks percandian Muaro Jambi yang kini berkembang sebagai desa wisata.

“Kalau Muara Jambi itu masuk kawasan industri, cocoknya industri pariwisata, bukan tambang.”

Saat ini, hampir separuh ekonomi warga Muara Jambi disokong dari aktivitas pariwisata. “Kalau ada banyak debu batubara kayak gitu siapa yang mau datang ke sini? Wisatawan asing itu nggak akan mau datang kalau banyak polusi.”

 

Ganggu ekosistem sungai

Rudiansyah, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi Rudiansyah mengatakan, stockpile di pinggir Sungai Batanghari, praktis mengganggu ekosistem sungai dan warga Muara Jambi dalam mendapatkan udara bersih.

Dinas Lingkungan Hidup, katanya, tak bekerja sesuai tugas dan fungsi hingga masalah debu batubara berlarut. “Pasti ini ada pembiaran, seakan-akan mereka (pemerintah) menutup mata, padahal dampak jelas sudah ada.”

Dia mendorong, Bupati Muaro Jambi, Masnah Busro, segera turun tangan menyelesaikan pencemaran stockpile batubara ini. “Bentuk tim lintas sektoral untuk mengevaluasi, karena masyarakat harus tetap jadi prioritas,” katanya.

 

Maryani memperlihatkan tangannya penuh debu batubara yang menempel di dinding rumahnya. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Kalau masalah terus berlanjut, kata Rudi, warga bisa mengajukan gugatan prosedur perizinan perusahaan ke PTUN untuk membatalkan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). “Ingat amdal ini konteksnya partisipasi publik bukan sosialisasi publik, jadi persetujuan atau tidak persetujuan.”

Saya menghubungi Firmansyah, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Muaro Jambi. Dia mengaku awal Agustus lalu telah meninjau lokasi penumpukan batubara, termasuk stockpile TGM. Setidaknya, ada 12 titik stockpile batubara beroperasi di bibir Sungai Batanghari di kawasan industri Muaro Jambi. Mulai Desa Kumpeh, Kemingking Dalam, Talang Duku, Niaso, Kunangan, Muara Jambi dan Teluk Jambu.

“Saya sudah minta laporan pengelolaan lingkungan TGM, tapi sampai sekarang belum dikasih,” katanya.

Firman ingin mengetahui apakah masih sesuai izin yang diberikan pada 2008.

Selama ini, katanya, pengawasan stockpile batubara rutin. Bahkan, setiap satu sampai enam bulan sekali dinas uji parameter: air; tanah dan udara.

Firman bilang, hasil pengujian kadar pH air di kawasan stockpile batubara masih di bawah standar baku mutu, bahkan lebih baik dibanding Sungai Batanghari.

“pH air—Sungai Batanghari—5,3, sementara pH air di steling pot 6,9, masih di bawah NAB (nilai ambang batas-red).”

Kondisi udara juga dikatakan masih dalam kategori aman. “Cuman yang saya khawatirkan itu debu. Debu batubara ukuran 0,1-0,3 itu kan sangat halus sekali bisa memengaruhi kesehatan masyarakat. Itu sebabnya penyakit ISPA di Muaro Jambi, salah satu pemicunya debu, termasuk debu batubara.”

Untuk mengurangi dampak debu batubara, ketinggian penumpukan batubara dilarang melebih tujuh meter. Kenyataan, di pelabuhan, tumpukan stockpile batubara justru sampai belasan meter. “Makanya kemarin saya emosi. Saya rubuhkan (stockpile) atau kamu saya rubuhkan. Saya bilang. Tapi sekarang sudah tertib,” kata Firman.

“Saya tidak mau main-main kalau untuk penumpukan batubara, karena dampak sangat luas untuk masyarakat. Termasuk untuk daya tahan candi kita.”

Dia klaim, hasil pengukuran ISPU di Pelabuhan Talang Duku dan sekitar masih dalam kategori aman. Sejak 2015-2020, katanya, ISPU berkisar 48-62.

“Itu (debu) yang masih kita kaji. Maka kita larang tumpukan batubara melebihi tujuh meter. Saat loading harus menggunakan kondom. Itu sudah kita lakukan, kita awasi berkali-kali.”

 

 

 

Keterangan foto utama: Tongkang mengangkut ribuan ton batubara bersandar di tepi Desa Muara Jambi. Kapal itu menunggu air Sungai Batanghari pasang sebelum bongkar di lokasi PT.TGM. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version