Mongabay.co.id

Pandemi di Pesisir Makassar : Pemkot Harus Kreatif Atasi Dampak (Bagian 5)

  • Dampak pandemi COVID-19 dirasakan mengubah tatanan sosial, ekonomi dan lingkungan di desa, kota, pesisir dan pulau-pulau, termasuk di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Masyarakat dan nelayan di pulau-pulau di Kota Makassar terpuruk kehidupan dan pendapatannya
  • Sektor perikanan di Makassar terdampak pandemi, mulai dari rantai produksi perikanan yaitu nelayan sampai ke industri dan kuliner perikanan. Produksi, harga ikan dan penjualan hasil perikanan turun tajam yang mempengaruhi turunnya ekspor hasil laut  karena transportasi ke negara tujuan ekspor juga dibatasi
  • Selain terbatasnya transportasi ke negara tujuan ekspor, pengusaha perikanan juga mengeluhkan meningkatnya biaya kargo pesawat terbang sampai 300 persen.
  • Pemkot Makassar diharapkan bekerja lebih optimal mengatasi dampak pandemi COVID-19 dengan membuka komunikasi dan pendampingan kepada pengusaha, selain kepada para nelayan dan warga Makassar
  • Artikel ini merupakan tulisan pertama dari lima tulisan. Tulisan pertama bisa dibaca ditautan ini. Tulisan kedua bisa dibaca ditautan ini. Tulisan ketiga pada ditautan ini. Tulisan keempat pada ditautan ini

 

Sudah lama Makassar dikenal sebagai kota maritim, parameter pertumbuhan Indonesia bagian timur, pusat lalulintas ikan antarpulau, antarkota, dalam negeri maupun ke mancanegara. Lalu, di tengah pandemi COVID-19 ini seberapa terdampak kota berjuluk Anging Mammiri ini?

Seberapa terpukul kehidupan pesisir dan masyarakat pulau-pulau dan pelaku usaha perikanan di Kota Makassar?

 

Ekspor Ikan di tengah Pandemi

Sejak merebak akhir Februari 2020, COVID-19 menjadi musuh tak terlihat bagi segenap negara bangsa di dunia tak terkecuali Indonesia. Selain melumpuhkan mata rantai bisnis, pandemi ini juga mengubah relasi sosial, yaitu tatanan kehidupan di pesisir dan pulau-pulau.

Laporan Tim Percepatan Penanggulangan COVID-19 Makassar menyebutkan bahwa Kecamatan Sangkarrang ‘hanya’ 24 orang terpapar virus ini atau paling sedikit dari limabelas kecamatan di Kota Makassar. Bandingkan seperti Kecamatan Rappocini yang mencapai 960 orang positif hingga 17 September 2020.

baca : Dampak Pandemi di Pesisir Makassar : Dari Penggantian Wali Kota hingga Belitan ‘Patron Client’ Perikanan  [Bagian 1]

 

Tabel sebaran COVID-19 di Kota Makassar. Sumber : infocorona.makassar.go.id/

 

Sementara itu, laporan lalulintas perikanan ekspor dari Kota Makassar semester I tahun 2019 oleh Balai Besar Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Makassar menyebutkan total komoditi perikanan mencapai 44.039 ton dengan total nilai komoditi mencapai Rp2,4 triliun.

Ada lima komoditi teratas yaitu, rumput laut 79 persen, lalu karagenan enam persen, udang vanamei tiga persen, tuna dua persen dan gurita satu persen. Komoditi campuran lainnya mencapai sembilan persen.

Pada semester yang sama pada tahun 2020, komposisi dan jumlahnya berubah. Rumput laut masih dominan hingga 75,9 persen, lalu karaginan 8,7 persen, vanamei 5,5 persen, gurita 1,8 persen dan tuna 1,7 persen. Total komoditi 65.317 ton dengan nilai Rp2,36 triliun dan komoditi lain, tujuh persen atau turun sekitar dua persen. Dari tahun lalu 6.683 ton senilai Rp627,1 miliar menjadi 4.586 ton senilai Rp4897,06 miliar.

Negara-negara tujuan adalah China, Korea Selatan untuk rumput laut, sementara karaginan untuk China, Inggris dan Belanda. Udang vaname dikirim ke China, Jepang dan Amerika, sementara gurita tujuan Amerika, China dan Italia disusul tuna untuk Jepang, Amerika dan Kanada.

Jika secara umum menegaskan bahwa ada penurunan namun secara spesifik penurunan itu dapat dilihat komoditi di luar kelima komoditi itu, di sini termasuk ikan-ikan karang, tenggiri, ekor kuning hingga kepiting. Produk atau komoditi ini umumnya dipasok oleh usaha perikanan skala kecil, para penangkap ikan di pesisir dan pulau-pulau sekitar Kota Makassar.

“Komoditi rumput laut menjadi komoditi ekspor primadona Sulsel dalam dua tahun terakhir, jadi perlu dikembangkan budidaya rumput laut di pulau-pulau kecil apalagi Sulsel sudah memiliki unit pengolahan yang dapat mengolah bahan baku menjadi bahan setengah jadi (semi refined carragenan) sehingga added value-nya meningkat, bukan hanya diekspor dalam bentuk mentah saja,” kata Sitti Chadijah, Kepala BKIPM-KKP Makassar.

baca juga : Dampak Pandemi di Pesisir Makassar : Potret Pulau Lae-Lae, Lesunya Perdagangan Ikan Hingga Sepinya Papalimbang [Bagian 2]

 

Lalulintas komoditas hasil perikanan ekspor melalui BKIPM Makassar pada semester 1 tahun 2020. Sumber : BKIPM Makassar

 

Berdampak ke Industri Perikanan

Pandemi dirasakan Ray Suryadi, salah seorang pengusaha perikanan di Makassar yang juga anggota Komisi A DPRD Kota Makassar, dari Fraksi Partai Demokrat. Ray merupakan Direktur PT Artibuana Lautan Indonesia dan PT Makassar Singapore Fishery yang aktif mengirim ikan ke luar negeri.

“Saya kira hampir semua bidang terdampak pandemi COVID-19, terutama di nelayan kita. Sektor usaha penjual ikan, eksportir, semua terdampak. Mengapa terdampak karena secara umum seluruh unit bisnis seluruh dunia tengah dilanda pandemi juga,” katanya.

“Sebagaimana kita tahu mata rantai perikanan ini sudah jelas, nelayan dibiayai papalele, punggawa (pengepul ikan), dari nelayan ke supplier, lalu memberikan hasil produk perikanan ke eksportir, itu mata rantainya,” jelas Ray.

Ray menggambarkan permasalahan perikanan saat ini. “Karena perekonomian kita tidak lagi berjalan normal seperti sedia kala. Patut dicatat bahwa tidak semua pemodal punya kekuatan finansial kuat, jadi banyak juga yang terpukul,” tambahnya.

“Artinya apa, tidak semua nelayan dapat modal lagi untuk melakukan kegiatan perikanan,” sebut Ray. Selama satu semester terakhir, dia mencatat bahwa bisnisnya ke Singapura, sebagai salah satu destinasi bisnisnya sangat terdampak.

“Sebagai eksportir hasil laut, jelas sekali kami membaca bahwa tangkapan nelayan kita tidak lagi melimpah seperti dulu. Sudah tidak banyak pemodal yang mampu memberi kekuatan operasional untuk penangkapan,” imbuhnya.

Ray mengaku banyak melihat dan mendengar dari warga pesisir Kota Makassar. Dia ke Pulau Barrang Lompo, ke Pelelangan Ikan Paotere atau di Pangkalan Pendaratan Ikan Paotere terkait dampak pandemi ini.

“Kita tahu sendiri relasi antara nelayan dan pengusaha (papalele atau punggawa, middlemen) pada semua aspek keuangan. Semua terdampak, dari proses usaha penangkapan ikan hingga pemasaran,” jelasnya.

“Semua pihak menjadi tidak bergerak, tabungan terkuras, kita semua membayar biaya operasional. Sehingga beberapa bulan sangat menyiksa di usaha perikanan,” ujarnya.

perlu dibaca : Dampak Pandemi di Pesisir Makassar : Tak Lagi Dapat Bantuan, Warga Pulau Barrang Caddi Anggap Pemerintah Sudah bangkrut [Bagian 3]

 

Nelayan menarik perahunya setelah melaut di perairan Pulau Barrangcaddi, Kota Makassar. Foto : Pelakita.id/Mongabay Indonesia

 

Dia menyebut bahwa karena proses bisnis tidak berjalan normal, antara si nelayan dan punggawa, ini juga berlanjut ke pola hubungan antara agen dan eksportir.

“Jika nelayan ke punggawa, punggawa ke supplier, lalu ke eksportir. Eksportir ke buyers di luar negeri. Antara si pemasok atau agen dan eksportir juga mengalami keadaan yang sama. Pemasok atau papalele tidak mampu membeli karena krisis. Tapi yang paling terdampak adalah eksportir,” jelasnya.

“Beberapa negara lockdown. Ada penutupan. Rantai kerja di dalam tapi pengiriman untuk luar negeri. pun di-lock down. Biasanya mengirim ikan paling dekat Singapura. Sekalipun tidak di-lockdown, tetapi banyak sekali maskapai tidak berjalan normal. Dari yang dulunya lima maskapai, ada lima tujuan sekarang cuma satu,” paparnya.

Karena itu, lanjut Ray, kapasitas yang dikirim, dari beratus ton hanya menjadi beberapa ton.

“Kuota ini pun dibagi oleh pengusaha ekspor di Makassar dan Sulsel. Kalau jatah untuk Sulsel 20 ton, maka itulah yang dibagi-bagi antar eksportir. Apa yang menjadi permasalahan? Pengekspor ini mendapatkan beban pembayaran kargo yang malah kian membebani,” akunya.

“Dapat dipahami bahwa pesawat itu kan mendapat biaya tutup kargo dari penumpang, tapi kalau penumpang tidak ada? Makanya biaya kargo ditingkatkan,” ucapnya.

Tidak tanggung-tanggung, biaya kargo ini menekan kemampuan pembiayaan eksportir. “Untuk menutup biaya operasional pesawat, biayanya sampai 300 persen. Ini pelaku usaha yang sulit, sudah memberatkan dikarenakan tidak adanya modal,” katanya.

Menurutnya, karena tidak ada atau terbatasnya pemodal, mereka yang sebelumnya membeli ikan ke nelayan tidak terlalu mahal, tapi harus mengeluarkan biaya berlipat pada kargo. “Kalau harga ikan 50, biaya kargo bisa 60,” imbuhnya.

“Ini masih dirasakan dan berdampak ke produksi nelayan. Memang masih ada beberapa pengusaha yang bertahan meski masih sangat terbatas. Memang, saat ini sudah ada jadwal penerbangan tapi itu tadi, biaya kargo masih mahal,” imbuhnya.

baca : Dampak Pandemi di Pesisir Makassar : Terpuruknya Warga Pulau Lumu-Lumu (bagian 4)

 

Seorang nelayan memperlihatkan gurita hasil tangkapannya di Pulau Lumu-Lumu. Harga gurita jatuh di tengah pandemi COVID-19. Foto : Pelakita.id/Mongabay Indonesia

 

Ray menyebut bahwa turunnya harga ikan itu dapat dirasakan seperti harga ikan tenggiri. Jika selama ini mencapai Rp70 ribu/kg untuk kemudian diekspor, namun belakangan ini harganya jatuh ke Rp50 ribu/kg.

Ray mengaku bahwa dengan anggota nelayan berikut relasi bisnisnya yang mempunyai sekurangnya 200 unit kapal ikan pencari dari berbagai ukuran, maka dampak pandemi itu dia bisa rasakan dari respon anggota dan jaringan bisnisnya ini. Ray terhubung dengan nelayan-nelayan di Sulawesi Selatan, mulai dari Makassar, Barru, Pangkep, Sinjai hingga Selayar.

 

Pemkot belum efektif

Sebagai pebisnis di Makassar, Ray membaca bahwa respon Pemerintah terutama Pemkot Makassar belum optimal atau belum efektif.

“Masih ada yang perlu dipertajam, apa itu? Pendampingan ke pengusaha. Harus ada kemudahan akses, Pemkot harus membangun komunikiasi ke pengusaha,” katanya. Maksud Ray adalah bagaimana Pemkot mendekati semua pengusaha untuk mencari tahu bagaimana dampak pandemi ini.

“Seperti media ini (Pelakita.id dan Mongabay Indonesia) yang membangun komunikasi dengan kami. Pemkot melalui Dinas Perikanan Kota bisa melakukan pendekatan ini, membangun pola komunikasi yang baik,” kata alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Hasanuddin angkatan 2009 ini.

“Volume dan nilai bisnis perikanan saya kira terpangkas hingga 80 persen, artinya, yang masih berjalan antara 10 hingga 20 persen ini perlu didukung, diberi kemudahan, setidaknya ada komunikasi yang terjaga,” imbuhnya.

Kenapa Pemkot harus turun tangan sebab usaha perikanan tidak sekadar mencari ikan dan menjualnya tetapi melibatkan banyak aspek dan level masyarakat.

“Kalau saya ini kan pebisnis sektor perikanan, tapi perlu diketahui juga ada sektor UMKM yang tumbuh. Mereka butuh pasokan ikan juga. Jadi harus ada pelatihan-pelatihan, yang secara masif. Misalnya bagaimana bikin produk olahan, kerupuk atau crispy yang diminati warga,” katanya.

“Jadi Pemkot harus kreatif lah. Lebih menghasilkan differensiasi program, lebih kreatif untuk warga yang bekerja di sektor ini. Masyarakat pesisir ini potensi kita, bahwa mereka mau bekerja, mereka punya talenta,” tutup Ray.

baca juga : Menggali Potensi Ekonomi di Kepulauan Makassar dan Pangkep Saat Pandemi

 

Ikan kering sebagai alternatif pakan dan produk perikanan untuk bertahan di tengah pandemi. Foto : Pelakita.id/Mongabay Indonesia

 

Ekonomi Terpukul

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sulawesi Selatan, Sulkaf S. Latief saat menjadi pembicara webinar yang digelar Mongabay Indonesia, Jumat (17/7/2020) mengatakan masyarakat pesisir dan pulau-pulau mengakui warga pulau adalah kelompok yang sangat terdampak COVID-19.

“Di Makassar, restoran banyak yang tutup, padahal dari restoran inilah masyarakat nelayan bisa mendapatkan harga yang bagus. Ikan-ikan dijual ke sana. Rumput laut pun harganya turun, hanya udang yang bertahan,” katanya,

“Dampaknya bisa dirasakan nelayan dan pengusaha apalagi sejak ditutupnya akses masuk ke wilayah kota atau sebaliknya. Kami di dinas, tidak ada anggaran khusus, kami bekerja sama dengan swasta dan pemda,” tambahnya.

***

 

*Rizki Latjindung, Muhammad Syukri dan Kamarudin Azis. Mereka adalah jurnalis pelakita.id Sulawesi Selatan. Artikel ini didukung Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version