Mongabay.co.id

Belajar dari Bencana: Pariwisata Lumpuh, Sembalun Bertahan dengan Bertani

Hamparan sawah di Sembalun dengan latar puncak Gunung Rinjani. Sebelum dikenal dengan pariwisata, Sembalun dikenal dengan sentra bawang putih. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Riki, tampak sibuk menyiapkan lahan pertanian. Musim tanam kali ini dia akan mengisi lahan dengan sayur mayur. Bawang putih tak ketinggalan sebagai andalan Sembalun. Lahan Riki di Dusun Matakin Desa Sembalun Lawang, Lombok, Nusa Tenggara Barat, tak terlalu luas.

Meski begitu cukup untuk memenuhi keperluan pasangan dengan dua orang anak ini. Riki mengatur agar panen tidak serempak. Dia menjual sayur-sayur ke pasar tradisional di Sembalun. Sebagian jual ke pengepul yang akan membawa ke pasar induk.

Riki bersyukur punya lahan tani. Dengan lahan itu dia bisa melewati masa-masa krisis. Ketika gempa bumi 2018 dan awal-awal pandemi corona.

Saat gempa bumi pertama 29 Juli 2018, sebagian petani Sembalun akan panen. Kunjungan wisatawan juga ramai. Gempa bikin pariwisata tiarap. Gunung Rinjani tutup bagi wisatawan.

Berikutnya gempa 5 Agustus, 9 Agustus, 19 Agustus 2018. Sembalun benar-benar tutup untuk pariwisata. Saat itu, pertanian masih berjalan. Tinggal di desa-desa pengungsian, para petani Sembalun tetap panen. Seminggu setelah gempa, pasar mulai aktif, walaupun tidak sepenuhnya normal. Sayur- mayur dibeli relawan untuk lokasi-lokasi pengungsian.

 

Demplot tanaman bawang yang diolah secara organik di areal persawahan Sembalun. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Sayur-sayuran dari Sembalun masuk ke tenda-tenda pengungsian di Lombok Utara, Lombok Tengah, Lombok Barat. Para petani Sembalun tetap ada penghasilan.

“Kalau ada warga yang minta kami kasi juga saat itu,’’ kata Riki.

Ketika pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) mulai merebak, mereka tutup secara lokal. Tak ada wisatawan. Sembalun menutup diri. Di pintu masuk Sembalun berjaga aparat keamanan dan pemerintah desa. Mereka melarang orang luar masuk Sembalun.

Dari seluruh kecamatan di Lombok Timur, saat itu, hanya Sembalun yang masih hijau. Sembalun mengunci diri dari luar. Seluruh keperluan sehari-hari bisa mereka penuhi dari hasil pertanian. Hanya beras dan kebutuhan lain dari luar.

 

***

Dari riset Gema Alam, tercatat 39.659 wisatawan mencanegara dan 43.120 wisatawan domenstik datang ke Sembalun sebelum gempa. Dengan penutupan Rinjani saat gempa yang berlanjut ke pandemi, ribuan orang kehilangan lapangan pekerjaan. Selain tidak ada pemasukan untuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang diambil Balai Taman Nasional Gunung Rinjani, yang lain juga terdampak.

Mereka yang terdampak seperti, porter, pemandu, agen travel, trekking organizer (TO), transportasi, pemilik warung makan, pemilik homestay, pemilik hotel, pemilik café, pengelola rumah adat, pengelola bukit-bukit untuk hiking.

Perkiraan kehilangan pendapatan masyarakat lebih Rp400 miliar selama Juli 2018-Agustus 2019. Kala itu, rekomendasi Gema Alam, TNGR membuka pendakian Rinjani kalau ingin memulihkan ekonomi masyarakat Sembalun.

 

Seorang petani sedang menyemprot tanamannya di Sembalun. Penggunaan bahan kimia yang berlebihan dapat mengancam kelestarian lingkungan. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Untuk melihat dampak bencana terhadap pariwisata ini bisa melihat perbandingan dengan Senaru Lombok Utara. Senaru adalah salah satu jalur pendakian seperti Sembalun. Usaha di Senaru sama seperti di Sembalun. Bahkan pelaku usaha wisata pendakian lebih banyak di sana.

Ketika terjadi gempa dan berlanjut pandemi corona, pemulihan di Senaru berjalan lebih lambat. Hingga saat kini masih banyak bangunan terkait dengan jasa pendakian rusak. Bangunan roboh belum dibangun kembali. Bangunan retak belum diperbaiki. Beberapa bangunan seperti tak berpenghuni. Tidak terurus.

Senaru murni mengandalkan hidup dari jasa wisata. Berbeda dengan Sembalun, para pelaku wisata masih memiliki lahan pertanian. Ketika pariwisata tutup, mereka menggarap sawah dan lahan sayur mayur.

Berbeda dengan Senaru yang tidak memiliki lahan pertanian. Para pelaku usaha wisata di Sembalun masih bisa ada pekerjaan lain. Seperti Royal, Ketua Sembalun Community Development Center (SCDC) juga pengelola pendakian Bukit Pergasingan. Lokasi ini tutup ketika gempa dan pandemi. Royal memilih mengolah lahan pertanian.

Awalnya, bertani sebagai sampingan, selama masa krisis, bertani jadi kegiatan utama.

“Kalau porter Sembalun masih bisa bertahan karena mereka juga petani. Jika pendakian tutup mereka beralih jadi petani, berbeda dengan Senaru,’’ kata Royal yang juga Ketua Pokdarwis Lombok Timur ini.

 

 

***

Suara mesin pemotong besi meraung-raung dari lantai dua rumah ibu Saiun. Beberapa pekerja sedang memasang atap rumah. Pekerja lain sibuk mengangkut keramik. Bangunan lantai dua itu akan jadi café.

Putri pertama Saiun, Melsi akan membuka usaha. Dia mau lanjutkan usaha orangtuanya dengan konsep berbeda. Bangunan lantai dua itu akan jadi tempat nongkrong. Lantai satu toko oleh-oleh.

Bangunan lantai dua ini belum sepenuhnya selesai renovasi. Ia satu-satunya yang selamat dari gempa 2018. Rumah tempat tinggal, rumah produksi milik Saiun rusak oleh gempa.

Saiun adalah pemilik usaha oleh-oleh di Sembalun. Dia memproduksi black garlic, kopi, ashitaba, keripik kentang, kacang buncis. Bahan baku dari sawah dan kebun. Dia juga membeli dari petani.

Saiun masih ingat ketika gempa terjadi, seluruh usahanya macet. Pendapatan terbesar berasal dari penjualan oleh-oleh. Dia juga menjual secara online.

Ketika gempa dan awal pandemi usaha itu macet. Saiun dan keluarga bertahan karena masih memiliki sawah dan kebun. Untuk kebutuhan sehari-hari bisa mencukupi dari hasil sawah dan kebun. Penjualan di pasar menopang ekonomi keluarga.

 

Atap rumah warga di Sembalun tampak sama. Atap dari seng ini merupakan bangunan rumah yang dibangun setelah gempa 2018. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Saiun bilang, dari pengalaman gempa 2018, tidak bisa sepenuhnya mengandalkan pariwisata. Pariwisata rentan dengan bencana. Wisatawan yang datang ke Sembalun dan merasakan gempa, katanya, perlu waktu lama memulihkan dampak psikologi.

Ketika pendakian Rinjani buka setelah gempa, pertengahan 2019, wisatawan tidak banyak. Yang banyak, justru wisatawan lokal.

Saiun melihat peluang itu. Wisatawan lokal tak semua mendaki, mereka datang ke Sembalun ingin melihat areal pertanian. Sawah-sawah di Sembalun jadi lokasi swafoto, mereka juga ikut panen stroberi.

Sensasi itulah, katanya, jadi daya tarik pariwiasta. Kalau pertanian di Sembalun tetap terjaga, Saiun yakin orang akan tetap datang. Mereka membeli hasil pertanian sebagai oleh-oleh, dan yang mengelola parkir, warung bisa tetap mendapatkan penghasilan.

“Kami punya sedikit lahan, di sana khusus untuk bahan baku,’’ kata Saiun.

Beberapa tawaran kerja sama untuk mengelola lahan sebagai lokasi penginapan Saiun tolak. Walaupun dia sendiri ada rencana, tetapi belajar dari pengalaman gempa dan pandemi, lahan-lahan pertanian di Sembalun, harus tetap dijaga.

 

Gagas pertanian organik

Royal tidak henti-hentinya mengenalkan pertanian organik. Melalui media sosial dia, memperlihatkan pertanian bawang organik. Dia juga mendorong Sembalun beralih ke petanian organik. Dengan branding organik, harga jual lebih tinggi, dan aman bagi lingkungan Sumbalun dan manusia yang mengkonsumsinya.

Pengembangan pariwisata dengan konsep ekowisata cocok dengan Sembalun. Secara visual, sawah dan hutan bambu di Sembalun bisa jadi daya tarik. Kalau ada pertanian organik, katanya, bagus dan menarik.

Baiq Sri Mulya, aktivis perempuan Sembalun juga menyoroti penggunaan bahan kimia di sana. Setiap tahun, berton-ton bahan kimia mulai dari pupuk, racun serangga, dan berbagai jenis obat pertanian masuk ke Sembalun. Bungkus bahan-bahan itu dibuang di sembarang tempat, seperti saluran irigasi. Padahal, katanya, air mengalir ke sungai yang dipakai masyarakat untuk mencuci.

Mulya mengajak saya ke areal persawahan. Pagi itu, para petani akan menyemprot tanaman mereka guna mencegah serangga. Baru saja mendekat, bau bahan kimia menusuk tajam. Bahan-bahan kimia ini terbawa angin juga masuk aliran air.

Mulya bilang, air, tanah, dan udara sekitar sudah tidak sehat. Penggunaan berlebihan bahan kimia akan berpengaruh pada kualitas tanaman. Sayur petani Sembalun tak bebas bahan kimia. Jadi, katanya, harus benar-benar cuci bersih sebelum dimasak.

“Bau menyengat dari penyemprotan ini menandakan udara tidak sehat. Ini bisa berpengaruh pada pernapasan, terutama anak-anak,’’ katanya.

Untuk memulai pertanian organik di Sembalun, memang tak mudah. Para petani sudah terlalu ‘manja’ dengan bahan kimia.

“Ketika ada sawah organik, sekitarnya bahan kimia, hama bisa menyerang yang organik ini. Harus buat green house kalau mau aman,’’ kata Mulya, lulusan magister lingkungan dari Australia ini.

Pertanian organik harus dimulai dari komunitas-komunitas atau halaman rumah masing-masing. Di Sembalun, katanya, masih banyak warga punya halaman luas.

Begitu jugan dengan komunitas dan pelaku wisata yang memiliki lahan, katanya, bisa mulai mengembangkan pertanian organik. Selain menghasilkan sayur-sayuran bebas bahan kimia, harga jauh lebih tinggi.

 

 

Keterangan foto utama: Hamparan sawah di Sembalun dengan latar puncak Gunung Rinjani. Sebelum dikenal dengan pariwisata, Sembalun dikenal dengan sentra bawang putih. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

Exit mobile version