Mongabay.co.id

LIPI akan Teliti Temuan Tengkorak Satwa di Sungai Metro Malang

Warga di Malang, Lulut Edi Santoso, menemukan satu tengkorak diduga satwa liar jenis carnivora berusia 50 tahunan pada 4 September 2020. Tengkorak ditemukan di bawah sungai kedalaman satu meter, terhimpit bebatuan. Ada yang bilang itu macan tutul, ada juga dugaan harimau Jawa. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

 

Lulut Edi Santoso, guru seni SMA Negeri 3 Malang menemukan tengkorak di dasar Sungai Metro, Merjosari, Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur, Jumat 4 September 2020. Diduga tengkorak satwa liar jenis carnivora berusia 50 tahunan. Tengkorak ditemukan di bawah sungai kedalaman satu meter, terhimpit bebatuan.

“Sempit, dalam dan arus kuat. Sulit menjangkau, menyelam. Kemungkinan leher atau bagian badan,” kata guru yang juga tertarik benda purbakala dan bersejarah.

Dia sempat menemukan patahan tulang leher, namun diabaikan. Sedangkan di bawah ada bagian lebih besar yang tak bisa diangkat.

Saat itu, katanya, dia bersama temannya, Rahmat menyusuri Sungai Metro sejak pukul 10.00. Sekitar pukul 17.00, mereka menemukan tengkorak binatang buas itu. Menjelang maghrib mereka membawa struktur tulang atau tengkorak temuan itu, disimpan di bawah rerumpun bambu di tepi sungai.

Tengkorak tinggi 13 centimeter, panjang 21 centimeter dan lebar 15 centimeter ini berat sekitar delapan ons.

“Kira-kira tengkorak apa? Saya tak paham tentang binatang, tak yakin ini harimau,” katanya, seraya bilang, kemungkinan mendekati macan kumbang (Panthera pardus melas). Ada pula yang menduga jika struktur tulang berupa tengkorak harimau Jawa (Panthera tigris sondaica).

 

Temuan tengkorak kepala satwa liar di Sungai Metro, Malang, ditimbang. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Dugaan ini berdasar pengalaman temannya yang sering menjelajahi hutan belantara. Apalagi, juga pernah ditemukan kotoran atau feses beserta jejak telapak kaki harimau di Gunung Kawi. Tepatnya di barat-selatan punggung Gunung Kawi.

Saat menyelam, Lulut juga menemukan uang gobok dan cincin tembaga.

Kawasan Merjosari merupakan permukiman kuno yang diduga tersebar beragam artefak bersejarah. Dekat dengan Patirtaan Merjosari atau Kapundungan dan artefak berupa yoni bebahan dasar batu andesit.

“Pecahan gerabah dan keramik juga banyak. Kalau tak diamankan, akan hilang tertimbun sampah dan material padat lain,” katanya.

Temuan tengkorak ini dia serahkan ke tokoh masyarakat Merjosari yang menggagas Kampung Sehat Joyo Amerta, Luthfi Jayadi Kurniawan. Ini sebuah kampung edukasi ekologi dan literasi di tepi Sungai Metro.

Petugas Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Timur, mengidentifikasi tengkorak ini. Luthfi menyerahkan tengkorak kepada petugas BBKSDA Jatim.

Mamat Ruhimat, Kepala Seksi Konservasi Wilayah VI BKSDA Jawa Timur mengatakan, petugas turun berdasar informasi masyarakat atas temuan tengkorak. Struktur tengkorak ini akan diuji di laboratorium Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). “Tengkorak jenis kucing hutan. Bisa macan tutul atau harimau. Mudah mudahan harimau Jawa,” katanya.

Peneliti LIPI, akan menguji dan mengidentifikasi. “Tak usah berangan-angan. Tunggu hasil penelitian LIPI,” katanya.

Dia juga belum tahu penyebab satwa mati, secara alami atau dilukai.

Di wilayah BBKSDA Jawa Timur, kata Mamat, masih ditemukan jejak, bekas cakaran dan foto dari camera trap atau kamera jebakan, macan tutul. Foto macan tutul diperoleh di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), sedang bekas cakaran di pohon dan jejak di Cagar Alam Pulau Sempu, lokasi di sekitar Lumajang.

 

Temuan tengkorak satwa di Sungai Metro, akan diteliti LIPI. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Perburuan

Dia bilang, perburuan satwa liar di TNBTS dan Cagar Alam Pulau Sempu masih marak. Pemburu antara lain memburu babi hutan dan kijang.

“Tak menutup kemungkian masih ada macan tutul di habitatnya. Tak tahu berapa populasinya, perlu pengamatan.”

Gono Semiadi, peneliti mamalia dan pengelolaan satwa liar Pusat Penelitian Biologi, LIPI, mengatakan, belum menerima spesimen struktur tulang tengkorak yang diduga macan kumbang atau harimau Jawa itu.

Dia baru melihat berdasar foto yang tersedia dan sulit mengidentifikasi tanpa melihat langsung. Di foto harus spesifik sudut penggambilan gambar.

Menurut Gono, untuk meneliti tengkorak bisa pendekatan morfologi dan molekular. Secara morfologi dan morfometri, bisa dilihat dari serpihan tengkorak.

Kalau foto, sudut pengambilan gambar harus spesifik. “Susah tanpa melihat konkrit tengkorak itu. Saya lebih ke morfologi, kalau foto bisa dengan digital forensik,” katanya.

 

Tengkorak satwa temuan Lulut Edi Santoso di Sungai Metro, Malang. Tengkorak ditemukan di bawah sungai kedalaman satu meter, terhimpit bebatuan. Ada yang bilang itu macan tutul, ada juga dugaan harimau Jawa. Foto: Eko Widianto/ Mongabay IndonesiaFoto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Harimau Jawa

Mengenai harimau Jawa, katanya, tak ada penelitian intensif dan khusus. Namun, pemantauan ada menemukan bekas cakaran dan telapak kaki.

LIPI hampir tak pernah menemukan fakta otentik berupa bukti rekaman asli. Bukti foto tersebar dari aplikasi perpesanan. Klaim terakhir, kata Gono, terjadi tiga tahun lalu, di Ujung Kulon. Sempat tersebar foto di media sosial. “Digital forensik menghindari basis data yang sudah tersebar. Kita cari first source,” katanya.

Secara ilmiah, kata Gono, harimau Jawa kategori punah secara populasi. Berbasis perjumpaan, selama rentang waktu 30 tahun terakhir tak ada pelaporan perjumpaan. Sekitar 1970. dilaporkan perjumpaan terakhir di kawasan konservasi. “Setelah itu, tak pernah mendapat informasi lagi.”

Gono menghargai kalau ada yang menyatakan ada harimau Jawa. Sejauh ini, belum ada bukti harimau Jawa apakah suara auman, rekaman video dan foto.

Ketika harimau punah, katanya, terjadi saat di tanah Jawa hutan primer habis. Penyebab kepunahan harimau Jawa, katanya, kombinasi antara perburuan, habitat habis dan budaya.

Saat itu, katanya, banyak terjadi perburuan harimau Jawa yang dilakukan pembesar dan militer Hindia Belanda. Juga kebudayaan berupa tontonan harimau ditombaki hingga mati di tengah lapangan.

Selain itu, terjadi alih fungsi hutan secara masif menjadi perkebunan di sejumlah dataran tinggi. Ada jadi kebun karet, kopi dan teh.

Jaid, wilayah sebaran dan jelajah harimau terpotong-potong. Harimau Jawa terdesak, populasi terus menyusut.

Belum lagi kehilangan sumber pakan seperti rusa dan babi hutan. Awalnya habitat harimau Jawa berada dar ujung ke ujung Pulau Jawa. Wilayah sebaran mulai dataran rendah, menengah hingga dataran tinggi.

Didik Raharyono, Direktur Peduli Karnivor Jawa (PKJ) melihat temuan tengkorak di Malang dari foto yang tersebar di sejumlah media massa. Dilihat dari foto, katanya, sudut pengambilan kurang detail. Hingga tak bisa dipastikan apakah tengkorak macan tutul atau harimau Jawa. “Selintas dari foto saja, mata menghadap ke depan. Itu ciri khas carnivora,” katanya.

 

Harimau Jawa (Phantera tigris sondaica) yang tertangkap kamera pemburu satwa liar. Foto : Koleksi PKJ

 

Dia bilang, foto mudah teridenfikasi, kalau pakai dokumentasi taksonomi. Model dokumentasi taksonomi ada pembanding, dan ukuran dengan pengambilan foto dari atas, depan, samping dan belakang.

Kalau struktur tulang tengkorak utuh, katanya, akan terlihat perbedaan antara macan tutul atau harimau. Perbedaan ada di tengkorak belakang dan model gigi. “Tengkorak harimau atau macan khas,” katanya.

Didik meyakini masih ada harimau Jawa di Malang. Pada 2012, dia bertemu petani jeruk di Malang yang menceritakan memiliki kulit harimau Jawa. Kulit harimau jadi sabuk dilengkapi rajah. Sabuk kulit harimau ini pemberian seorang pemburu yang memburu di Gunung Kawi pada 2006. Sedangkan hulu Sungai Metro berada di Gunung Kawi.

Awalnya, kata Didik, seluruh hutan di Pulau Jawa menjadi habitat harimau Jawa. Lantas, sebuah lembaga menyebut habitat terakhir harimau Jawa di Taman Nasional Meru Betiri.

Sedangkan menurut Didik, habitat harimau Jawa berada di hutan yang terisasa di Pulau Jawa. Setelah dipantau selama beberapa tahun tak ditemukan foto harimau, katanya, hingga mengemuka harimau Jawa punah.

“Sedangkan kepunahan dari pendekatan yang katanya ilmiah menggunakan metodologi sains.”

Terjadi penggiringan opini, kata Didik, kalau habitat terakhir harimau di Taman Nasional Meru Betiri berdasar hitungan luas hutan dan kebutuhan daya dukung harimau Jawa.

“Hingga dinisbihkan, ketika pemburu menjumpai, membunuh dan menjual. Akhirnya terabaikan,” katanya.

Jejak telapak kaki harimau Jawa juga ditemukan di Taman Nasional Meru Betiri pada medio 2006-2004. Jejak telapak ukuran dengan panjang 14 centimeter dengan lebar 16 centimeter. Temuan jejak telapak berukuran sama juga di TNUK pada 2009. “Jelas bukan telapak maca tutul. Itu telapak milik harimau loreng,” katanya.

Didik bertemu dengan bekas pemburu sarang burung walet di Taman Nasional Ujung Kulon (TUNK) yang bersaksi pada 2010 melihat bangkai harimau Jawa. Namun, tak dilaporkan ke petugas karena saat itu tengah mencuri sarang burung walet. Sebanyak enam orang pencuri burung walet yang menyaksikan bangkai harimau Jawa itu.

Lokasi bangkai harimau Jawa di Legon Bibir, ujung barat bawah Sunung Sanghyang Sirah. Suku Baduy Dalam melaporkan kepada fotografer telah mengubur harimau loreng pada 2015.

Harimau mati karena jebakan babi yang dipasang Suku Baduy Dalam. Pada 2017, beredar foto harimau di padang gembalaan Cidaun di media sosial. Foto keberadaan harimau ini menjadi perbincangan para warganet.

Didik juga bertemu pemburu yang bertemu harimau Jawa. Serta mendokumentasikan dengan bantuan teleskop senjata berburu. Foto ini diambil pada 2018. Didik menyampaikan ke publik foto itu melalui diskusi Tiger Day beberapa waktu lalu.

Para pemburu hanya menyampaikan di komunitasnya. Mereka merahasiakan temuan kepada orang di luar kelompoknya. Pemburu memiliki pengetahuan mengidentifikasi jejak, dan mengedus harimau. Keahlian mereka berbeda antara pemburu awal, menengah dan tingkat tingi.

Selain itu, masyarakat Jawa juga memegang nilai dan budaya yang turut melindungi dan menjaga harimau Jawa. Didik pernah bertemu komunitas yang pernah melihat langsung harimau Jawa, namun syarat tak boleh didokumentasikan. Juga berjanji tak memberi tahu yang lain. “Informasi budaya, ada secara sosiologi. Ada kajian etnotigrologinya,” kata Didik.

PKJ, katanya, membuka pelatihan daring identifikasi di lapangan menggunakan parameter terstandar, seperti menentukan ukuran, ciri kotoran, dan detail fisik harimau Jawa dari pendekatan morfometri.

Tujuannya, mengumpulkan data ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan.

 

 

 

 

 

Exit mobile version