Mongabay.co.id

Ekonomi Lesu Akibat COVID-19, Pedagang di Ekowisata Mangrove Tongke-tongke Sinjai Tunggu Kepastian (Bagian 2)

Pengunjung tengah menyusuri kawasan hutan mangrove, Desa Tongke-tongke, Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten Sinjai, Sulsel, dengan menggunakan perahu bermesin. Foto : Rahmi Djafar/Mongabay Indonesia

 

Kawasan mangrove Tongke-tongke, Kecamatan Sinjai Utara, Kabupaten Sinjai, telah ditetapkan sebagai Laboratorium Mangrove Sulawesi Selatan sejak tahun 2017. Sejumlah saran dan prasarana telah dibenahi. Kementeriaan Kelautan dan Perikanan mulai memberikan bantuan alokasi dana pada 2015. Tracking mangrove, gazebo jualan, kantor pengelola, studi mangrove, musholla, taman bermain dan kamar mandi dibangun secara beransur. Kafe terapung juga ada, atas inisiasi warga setempat, H. Beddu Ming.

Saat ditemui Kamis (20/08/2020), Beddu Ming sedang mengecek alat tangkap bubu di dekat kafe terapung miliknya. Rupanya, perangkap yang dia pasang berhasil menangkap sejumlah kepiting bakau. Aktivitas ini baru dilakukan saat ekowisata Tongke-tongke ditutup. Kepiting akan dikonsumsi bersama keluarganya. Dia mengaku lebih baik dikonsumsi sendiri karena harga jual turun di pasaran.

Empat tahun lalu, Beddu Ming, melihat potensi usaha dengan jumlah peminat yang tinggi. Banyak pengujung bertanya ke dia, dimana penjual kopi di sekitaran wisata tersebut. Waktu itu, belum ada warkop atau kafe. Atas sebab itu, ia berinisiatif membuat kafe yang mudah dijangkau oleh pengujung. Muncul lah kafe terapung pertama di dalam kawasan wisata.

“Waktu sendiri, saya pertama buat itu kafe terapung. Dulu itu pemasukan saya bagus hanya dari usaha kafe ini. Satu tahun kemudian, warga lain juga meniru usaha kafe terapung. Meski ada saingan, saya tetap bersyukur pemasukan bersih sekitar Rp.500 ribu,” ujar H. Beddu Ming yang juga seorang nelayan ikan kering.

baca : Ekowisata Mangrove Tongke-tongke Sinjai Ditutup Sementara, Pelancong Kecewa [Bagian 1]

 

H. Beddu Ming menceritakan kondisi perekonomian keluarganya dan usaha kafe terapung yang terdampak pandemi Covid-19 saat ditemui di dalam kawasan wisata. Foto: Dhirga Erlangga/Mongabay Indonesia

 

Raut pasrah terlihat di wajahnya. Dia menceritakan perekonomian keluarganya memburuk, sejak pandemi COVID-19 ada di Indonesia. Sejak itu, pengunjung semakin hari semakin berkurang hingga penutupan ekowisata Tongke-tongke ditutup. Dampak pandemi membuat dia harus memutar otak dengan menangkap kepiting untuk menutupi biaya pengeluaran keluarga.

Disisi lain, dia juga merasa bersyukur karena sejak memiliki usaha di kawasan ekowisata Tongke-tongke tidak dibebani pajak usaha. Katanya, iuran mereka bayar semaunya jika pendapatan melampaui target.

“Biasa ada. Kalau banyak penghasilan, kita bayar pajak ke pemerintah. Tapi tidak menentu toh, semau kita,” ujarnya.

Selaras dengan harapan salah-satu penjual grosir di dekat gerbang masuk wisata. Dia mempertanyakan kenapa wisata Tongke-tongke belum dibuka, sementara wisata lain sudah buka. Contohnya Pantai Bira Kabupaten Bulukumba. Sejak ditutup dia mengaku jumlah pembeli merosot drastis. Sama halnya pelaku usaha kreatif penjualan hasil laut di dalam kawasan wisata, sama sekali tidak ada pemasukan. Asesoris hasil laut, pejual grosir, kafe, penjual gorengan dan jasa sewa perahu terkena dampak COVID-19 berimbas perekonomian rakyat kucar-kacir.

“Pembeli tinggal sedikit, kadang hanya warga di sini. Pengunjung sebelum corona, sampai tempat parkir penuh dan ada juga parkir jauh dari sini,” ujarnya berharap destinasi hutan bakau segera dibuka sediakala.

Sedangkan dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Sinjai, Romy, berharap segera dibuka namun sesuai protokol kesehatan berwisata. Ia juga risau kondisi roda perekonomian pelaku usaha mikro pesisir Desa Tongke-tongke semakin memburuk. Buntut Pendapatan Asli Daerah (PAD) sektor pariwisata ikut bobrok.

“Mudah-mudahan kembali normal. Para pedagang dapat berjualan kembali dengan digaungkan protokol kesehatan. Perekonomian di Sinjai dapat pulih khususnya sektor pariwisata,” ujarnya Rabu, (19/08/2020).

baca juga : Meniti Tongke-Tongke Jadi Magnet Sinjai

 

Terpasang beberapa spanduk peringatan mengenai protokol kesehatan di jalan setapak kayu. Pemasangan dilakukan jauh setelah penutupan wisata. Foto: Dhirga Erlangga/Mongabay Indonesia

 

Suntikan Dana

Hutan mangrove Tongke-tongke mulai bersolek dari masa ke masa. Berawal tahun 80-an masyarakat bergotong royong menanam bakau di bibir pantai. Usaha dari warga untuk mengatasi banjir rob, kini menjadi wisata andalan bagi masyarakat Sinjai.

Lambat laun tanaman bakau tumbuh subur. Satu pohon demi sepohon tumbuh meluas area pesisir Desa Tongke-tongke. Memasuki tahun 2006, wisata ini mulai dikenal tapi belum dikunjungi pelancong. Hingga tahun 2015, wisata ini mulai dilirik oleh Kementeriaan Kelautan dan Perikanan dengan suntikan dana. Namun, Pemkab Sinjai belum memutuskan pemberlakuan retribusi daerah atau pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa pemberian izin tertentu.

“Tahun 2015 mulai dibantu oleh Kementeriaan Kelautan dan Perikanan dan sudah jadi destinasi wisata. Cuman tidak ada penarikan retribusi,” ujar Mappagara Sinusi, bidang Pengembangan Destinasi dan Industri Pariwisata (Disparbud) Kabupaten Sinjai, Rabu, (19/08/2020).

Saat memperoleh Dana Alokasi Khusus (DAK), Pemkab Sinjai mulai membenahi hutan mangrove Tongke-tongke menjadi destinasi layak untuk dicoba. Prasarana mulai dipasang dengan melibatkan warga sekitar.

“Melalui dana ini ada lima item yang dibangun di sana. Pertama jembatan kayu atau jalan setapak, menara pandang, gazebo, pusat jajanan kuliner dan pusat informasi,” katanya.

perlu dibaca : Dedikasi Tiada Henti Taiyeb untuk Mangrove Tongke-tongke Sinjai

 

Perahu wisata tersusun rapi. Sudah lima bulan tidak terpakai dan menjadi salah-satu pendapatan warga dengan biaya sewa Rp.50.000 sampai Rp.100.000. Foto: Dhirga Erlangga/Mongabay Indonesia

 

Sepanjang tahun 2015 sampai 2017 para pelancong dapat berwisata secara gratis. Mulai dari warga Sinjai hingga luar daerah Sinjai berdatangan. Tahun 2017 juga, Menteri Kelautan dan Perikanan pernah berkunjung di kawasan wisata untuk melihat langsung perkembangan pembangunan jembatan setapak. Warga juga mulai membuka usaha kecil-kecil sekitaran kawasan hutan bakau.

Memasuki tahun 2018, Pemkab Sinjai mulai memutuskan penarikan dana retribusi daerah. Ujicoba dilakukan dengan retribusi karcis masuk seharga Rp.5000 per orang. Sejak itu, Penarikan retribusi wisata Tongke-tongke mulai memasukkan ke kas daerah, diluar dugaan dana pemasukan mencapai ratusan juta rupiah.

“Dari beberapa target dana retribusi, memang yang melampaui target untuk tahap awal penarikan retribusi itu adalah wisata Tongke-tongke. Itu targetnya kemarin sekitar Rp100 juta, malah diperoleh sekitar Rp.230 juta. Tapi, sekarang kita harus sabar karena pandemi,” ujarnya sambil tersenyum.

“Tahun 2019, mulai kita bangun lagi beberapa item infrastruktur,” katanya.

Bantuan dana hibah dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Sulawesi Selatan, bagai angin segar untuk Pemkab Sinjai. Sebanyak satu miliar rupiah akan digunakan untuk membangun tiga prasarana. Jalan setapak akan diperluas mengelilingi hutan bakau, gazebo tempat berjualan jajanan kuliner dan spot foto. Ditambah sumber bantuan dana ketiga, dana CSR (Corporate Social and Responsibility) dari Bank Indonesia.

“Tahun 2020 ada penambahan jalan setapak, pengadaan truk sampah dan pengecatan jalan setapak dan gerbang dibenahi. Kebetulan kita dapat adan CSR dari Bank Indonesia juga,” jelasnya.

baca juga : Menitip Asa di Hutan Mangrove Tongke-Tongke

 

Spanduk peringatan bagi pengunjung, agar berhati-hati berpijak di papan lantai jembatan kayu sebab beberapa sudah bolong. Foto: Dhirga Erlangga/Mongabay Indonesia

 

Menurut Beddu Ming, pemilihan jenis kayu untuk dipasang di jalan setapak perlu diperhatikan. Sebab beberapa kayu sudah patah dan akibatnya jalan jadi bolong. Ia khawatir pengunjung terperosot dan luka.

“Baru beberapa tahun sudah banyak kayu yang patah. Itu bahaya, nanti ada pengunjung tidak lihat dan luka kakinya,” ujarnya.

Di sisi lain, Mappagara Sinusi mengatakan pihaknya telah membentuk dua kelompok untuk menjaga kelestariaan hutan bakau. Menurutnya, sebagai wadah pengawalan semua kegiatan-kegiatan yang ada di area wisata tersebut.

“Jadi disana itu, kami sudah bentuk juga Kelompok Sadar Wisata (Kopidarwis) dan Kelompok Pencinta Lingkungan. Kelompok ini yang akan mengawasi dan mengawal kegiatan-kegiatan di sana,” tandasnya.

***

 

*Dhirga Erlangga. Jurnalis Inipasti.com Sulawesi Selatan. Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia

 

***

 

Keterangan foto utama : Ilustrasi. Pengunjung tengah menyusuri kawasan hutan mangrove, Desa Tongke-tongke, Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten Sinjai, Sulsel, dengan menggunakan perahu bermesin. Foto : Rahmi Djafar/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version