Mongabay.co.id

Warga Motui Keluhkan Debu Batubara dari PLTU Perusahaan Pemurnian Nikel

PLTU PT OSS yang berjarak ratusan meter dengan pemukiman warga. Setiap hari kepulan debu hitam kelihatan disini. Bahkan sangat perih di mata. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Dalam sebulan ini, ribuan warga di Kecamatan Motui, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, resah dampak aktivitas bongkar muat batubara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) PT Obsidian Stainless Steel (OSS). Ini perusahaan asal Tiongkok yang bikin pabrik pemurnian feronikel–campuran nikel dan besi jadi nikel murni– hasil olahan induknya, PT Virtue Dragon Nickel Industri (Virtue), yang beroperasi di Kawasan Industri Morosi, Konawe. Virtue mengolah bijih nikel jadi feronikel.

Kedua perusahaan ini beroperasi di Konawe, sebelah wilayah Konawe Utara. Warga resah karena polusi udara karena debu batubara.

Partikel hitam dari batubara ini menyebar, yang terpantau hingga jarak tiga kilometer ke desa-desa di Kecamatan Motui. Sedikitnya, warga enam desa terdampak serbuan debu batubara. Yakni, Desa Sama Subur, Wawoluri, Puuwonggia, Ranombopulu, Motui dan Lambuluo.

Baca juga: Debu Batubara Resahkan Warga Desa Muara Jambi

Baharudin, Kepala Desa Motui, mengatakan, debu hitam sangat menggangu aktivitas warga. Debu hitam itu begitu perih ketika mengenai mata. Dia bilang, debu mulai banyak beterbangan sejak awal Agustus lalu.

Tak hanya di jalanan, debu menempel di lantai hingga dinding rumah warga.

Sebelum ada bongkar muat batubara, desa ini begitu asri. Nampak nyiur rimbun di sepanjang jalan desa tempat Baharudin tinggal. Pohon-pohon besar di kebun warga juga berjejer di sekitar kampung ini.

Semua keindahan alam Motui, berubah seketika. Partikel-pertikel kecil berwarna hitam berterbangan di lingkungan mereka. Debu nempel di pepohonan, tertiup angin dan terbang ke penjuru desa.

Warga, terutama ibu rumah tangga bekerja eksta membersihkan rumah.

“Sangat meresahkan warga. Takutnya sampai masuk di makanan, padahal ventilasi sudah ditutup dengan plastik. Debu tetap masuk juga dalam rumah,” katanya.

 

Nampak dari kejauhan kepulan asap dan pembakaran forenikel di PT OSS. Foto ini diambil saat malam hari di sekitar perusahaan. Foto Kamarudin/ Mongabay. Indonesia

 

Baharudin bilang, anak-anak sering mengalami batuk dan susah bernapas. Dia tak tahu penyebabnya. Keluhan tertulis mereka sampaikan ke OSS atas nama Pemerintah Kecamatan Motui diteken 15 kepala desa.

Baca juga: Studi Ungkap Polutan PLTU Batubara Sebabkan Kematian Dini

Hasil pertemuan, OSS menyampaikan, akan rutin menyiram batubara untuk menghilangkan debu. Jawaban perusahaan ini dianggap aneh oleh mereka. Pasalnya, bagaimana mungkin batubara lalu debu hilang?

“Katanya dari perusahaan solusi dari mereka batubara akan disiram dan pengangkutan akan ditutup, sambil membangun salah satu bagian teknis dari batubara ini,” katanya.

Roni Syukur, Kepala Teknik Tambang (KTT) PT OSS, mengakui bila partikel hitam yang dirasakan warga dari batubara. Sejak tak ada hujan dan tak ada penyiraman. “Ada miskomunikasi dari bagian penyiraman dengan orang lapangan. Debu batubara itu dari stockpile kita. Jadi, saya sudah sampaikan (ke warga), perusahaan akan lebih memperhatikan masalah penyiraman.”

Selain itu, katanya, akan ada belt conveyor dari pengangkutan ke PLTU. Kini, mekanisme pengangkutan batubara pakai truk tertutup terpal.

Roni bilang, pembangunan belt conveyor sedang proses. Sedianya, belt conveyor terbangun sejak awal, namun terkendala pesanan dan pengiriman barang dari Tiongkok maka pengerjaan terlambat.

Menurut dia, perusahaan tidak bisa menunggu pembangunan fasilitas belt conveyor. Dalam aturan pengangkutan batubara di OSS, hanya wajib bak dump truk ditutup terpal.

“Memang kami menggunakan manual dulu, tidak langsung matic. Karena pembangunan masih berjalan. Itu, kita sudah lakukan. Lebih bagus lagi, kita pakai belt conveyor.” 

 

Bahaya polusi batubara

Bicara debu batubara, manusia yang terpapar partikel ini dapat mengalami berbagai ancaman penyakit seperti kanker, jantung, diabetes dan paru-paru hitam serta penyakit pernapasan seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), pneumoconiosis dan lain-lain.

Merah Johansyah, Koordiantor Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengatakan, debu batubara sangat berbahaya bagi manusia dan lingkungan kalau tidak cepat ditanggulangi.

“[Pemerintah] daerah juga harus pengawasan lapangan. Harus audit karena dalam UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup ada peran pemerintah dari daerah sampai nasional.”

 

Warga Motui, memperlihatkan debu hitam dari batubara. Sudah hampir sebulan peristiwa ini dirasakan masyarakat beberapa desa di Kecamatan Motui. Foto: Kamarudin. Mongabay Indonesia

 

Menurut dia, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup merupakan upaya sistematis dan terpadu untuk melestarikan fungsi dan mencegah pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup. Ia meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

Dia bilang, peristiwa di Motui, Konawe Utara, harus segera ditindak lanjuti.

Berita Mongabay, sebelumnya menyebutkan, Universitas Harvard bersama Greenpeace Internasional pada 13 Januari 2017, meluncurkan penelitian terbaru soal kematian dini pertahun di negara-negara Asia Tenggara, Korea, Taiwan dan Jepang dampak pembangkit pembangkit listrik batubara. Di Asia Tenggara, negara terparah Indonesia disusul Vietnam.

Dalam penelitian itu memperlihatkan, kala rencana pembangunan PLTU batubara berlanjut, emisi di Asia Tenggara, Korea Selatan dan Jepang akan naik tiga kali lipat pada 2030 dengan konsentrasi peningkatan terbesar di Indonesia dan Vietnam.

Baca juga: Terus Bangun PLTU Picu Kematian Dini di Asia Tenggara, Indonesia Terbesar

Dengan begitu, pembangkit batubara ini bakal menciptakan 70.000 kematian dini setiap tahun. Disebutkan, Indonesia akan menderita tertinggi kematian dini, diikuti Vietnam, lalu Myanmar pada 2030.

Pada 2015, Univeristas Harvard dan Greenpeace Asia Tenggara juga rilis laporan berjudul Ancaman Mau PLTU Batubara. Riset itu mengungkap, operasi PLTU batubara di Indonesia, menyebabkan kematian dini 6.500 jiwa per tahun. Angka ini dari penelitian 42 PLTU di Indonesia.

Indonesia mencanangkan tambahan pembangkit batubara sekitar 22.000 MW—bagian proyek 35.000 MW—kalau jalan, prediksi kematian dini di Indonesia, melonjak jadi 15.700 jiwa per tahun atau 21.000 –an dengan negara tetangga.

Pencemaran udara, antara lain kontribusi dari PLTU jadi masalah serius dunia. Pada 2020, Greenpeace Asia Tenggara dan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) meluncurkan riset terbaru mengenai dampak kerugian ekonomi akibat polusi udara.

Hasil riset ini memperlihatkan, dampak polusi udara dari pembakaran bahan bakar fosil seperti batubara, minyak dan gas dikaitkan dengan kematian dini di seluruh dunia sebanyak 4,5 juta orang per tahun.

Tak hanya bahaya kesehatan, pencemaran udara juga sebabkan kerugian ekonomi mencapai US$8 miliar per hari, atau 3,3% dari produk domestik bruto (PDB) dunia, alias setahun US$2,9 triliun.

Masih berita di Mongabay, sebuah penelitian menjelaskan, kerusakan karena polusi udara ke paru-paru, jantung dan otak. Dalam riset itu, faktor risiko global untuk stroke, polusi udara PM2.5 jadi peringkat ketujuh dalam dampak umur kesehatan seseorang. Sementara polusi udara rumah tangga dari pembakaran bahan bakar ada pada peringkat kedelapan.

Penelitian ini juga menyebutkan, efek polusi udara menyebabkan stroke. Dampak pembakaran bahan bakar fosil sering tidak diperhitungkan, begitu juga partikel halus yang berbahaya bagi sistem kardiovaskular.

Jangka panjang, polusi udara bisa meningkatkan risiko stroke, karena particulate matter yang menyebabkan penyempitan pembuluh darah di otak, membuat darah lebih tebal dan meningkatkan tekanan darah, hingga berakibat meningkatkan risiko pembekuan di otak.

Warga sekitar berisiko, begitu juga para pekerja. Menurut laman safetysign menyebutkan, penderita penyakit dampak debu batubara adalah mereka yang sering bersentuhan langsung. Seperti pekerja tambang yang setiap hari terpapar debu batubara bisa merusak paru-paru mereka. Terpapar debu batubara berlebih atau dalam jangka waktu lama bisa menyebabkan pneumokoniosis.

Para pekerja tambang rentan mengalami pneumokoniosis . Seperti dilansir depkes.go.id pada 13 November 2015, sebuah riset menunjukkan, sekitar 9% penambang batubara di Indonesia menderita pneumokoniosis.

Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), pneumokoniosis merupakan penyakit akibat kerja paling banyak diderita pekerja. Tahun 2013, sebanyak 30%-50% pekerja di negara berkembang menderita pneumoconiosis. Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, dari 1 juta kematian pekerja, 5% akibat pneumokoniosis .

Dalam bahasa awam, penyakit akibat paparan debu batubara disebut penyakit paru-paru hitam atau pneumoconiosis batubara. Pneumokoniosis batubara terjadi karena terhirup debu batubara berlebih atau dalam jangka waktu lama.

Setiap debu batubara yang masuk ke sistem pernapasan bagian dalam atau paru-paru bagian dalam tidak bisa dikeluarkan oleh sistem tubuh secara alami. Jadi, debu akan tinggal selama-tahun di dalam paru-paru.

Dengan begitu, pneumokoniosis pada pekerja tambang batubara tidak dapat disembuhkan karena kerusakan pada paru-paru menetap. Alternatifnya, penderita hanya dapat mengurangi atau mengontrol gejala, yaitu dengan bronkodilator dan terapi oksigen.

 

PLTU PT OSS yang berjarak ratusan meter dengan pemukiman warga. Setiap hari kepulan debu hitam kelihatan dari sini. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version