Mongabay.co.id

Datangi Polda Kalteng soal Kasus Kinipan, Kompolnas Minta Polisi Lihat Latar Belakang

 

 

 

 

Awal September lalu, Effendi Buhing, Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan, ke Jakarta, antara lain mengadu ke Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) atas kasus tudingan pencurian dengan kekerasan yang menimpa dia dan empat orang adat.  Buhing melaporkan dugaan penyalahgunaan kekuasaan dan tindak kekerasan saat penangkapan dirinya oleh penyidik Polda Kalteng pada 26 Agustus lalu di Desa Kinipan, Lamandau, Kalteng. Kompolnas pun menindaklanjuti dengan turun ke Polda Daerah Kalteng pada 16-17 September lalu.

Baca juga: Berawal Konflik Lahan, Berujung Jerat Hukum Orang Kinipan

Yusuf S, Komisioner Kompolnas mengatakan, klarifikasi kepada penyidik terkait prosedur penangkapan. Proses itu sebagai bagian dari penahanan, yang sebelumnya sebagai tersangka. Ia berdasarkan laporan polisi tertanggal 9 Agustus 2020 dan surat perintah penyidikan pada 10 Agustus 2020.

Baca juga: Bencana Datang di Tengah Orang Kinipan Terhalang Jaga Hutan Adat

 Menurut Yusuf, penyidik sudah menjelaskan sebelum penahanan dan mendapat penolakan dari Effendi Buhing, dan tak terima ditetapkan sebagai tersangka. “Namun, yang kita klarifikasi ini kan bukan itu (proses penangkapan), tapi apa yang melatar belakangi,” kata Yusuf.

Lamandau termasuk Kinipan, pada September ini merupakan wilayah yang menderita banjir cukup parah. Foto: Dok. SOB

 

Kompolnas fokus latar belakang kasus

Polda Kalteng, penegakan hukum dan memproses berdasarkan laporan ke kepolisian. Dalam kesimpulan menetapkan Buhing sebagai tersangka. Dalam prosesnya, Buhing dilepaskan dengan status tak dijelaskan.

Baca juga: Warga Laman Kinipan Minta Pemimpin Lamandau Lindungi Hutan Adat Mereka

Menurut Yusuf, pelepasan tersangka perlu komitmen antar kedua pihak. “Menurut pertimbangan hukum oleh penyidik bisa dilepas, ketika bisa dilepas, seperti kasus Buhing itu pasti ada perjanjian yang dibangun antara penyidik dengan terlapor ataupun tersangka,” katanya via telepon.

Yusuf menyebut, salah satu isi perjanjian, misal, tersangka berjanji tak melarikan diri.

Terlepas dari itu, kata Yusuf, terpenting adalah latar belakang tuntutan Buhing yakni hutan adat tumpang tindih dengan perizinan perusahaan perkebunan PT Sawit Mandiri Lestari (SML).

“Kita juga meminta Polda, ke depan agar tuntutan mereka ini, selain proses penegakan hukum nanti juga apa yang jadi aspirasi dan keinginan yang melatarbelakangi, hingga ada dugaan tindak pidana. Pemerintah pusat, juga harus datang, maka kita sampaikan juga ke polisi sekiranya nanti agar memfasilitasi bupati dan pemerinta pusat, menawarkan ada pemenuhan tuntutan itu,” katanya.

Polisi, katanya, dalam proses penegakan hukun hanya melihat sisi pelanggaran hukum. Kompolnas pun menyarankan, Polda Kalteng, dalam proses ke depan mesti melihat juga dari sisi latar belakang hingga ada perbaikan dalam penanganan kasus-kasus serupa, baik konflik agraria di Kinipan maupun kasus lain di Indonesia.

“Kita memberi saran (kepada Polda Kalteng), hal-hal yang berpotensi konflik agar berhati-hati dalam penegakan hukumnya,” kata Yusuf.

Empat orang tim yang turun untuk klarifikasi yaitu Ketua Tim Irjen Pol (Purn) Pudji Hartono Iskandar, Yusuf S., Mohammad Dawan didampingi Kombes Pol Edy Suryanto, Kabag Duknis Sekretariat Kompolnas.

Baca juga: Bupati Lamandau Bahas Wilayah Kinipan, BPN: Masih Bisa Dikeluarkan dari Konsesi

Kombes Pol. Hendra Rochmawan, Kadiv Humas Polda Kalteng dihubungi via WhatsApp mengatakan, Polda Kalteng fokus pada kasus kejahatan yang masuk tahap penyelidikan dan penyidikan secara profesional. “Proses sidik itu sudah diserahkan ke jaksa dan penangkapan Buhing sudah sesuai prosedur baik penyidikan maupun penangkanpannya.”

Soal sengketa tanah atau hutan adat, kata Hendra, akan diserahkan kepada dewan adat dan kementerian terkait.

 

Hutan adat Kinipan, yang tumpang tindih dengan perusahaan sawit. Foto: Save Kinipan 

***

Masyarakat adat Laman Kinipan sudah turun temurun tinggal di Kecamatan Batang Kwa, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Bersama 239 keluarga, sekitar 938 jiwa, mereka menggantungkan hidup dari hutan.

Luas wilayah adat Laman Kinipan 16.169,942 hektar, terdiri dari 70% hutan rimba dan 30% lahan garapan masyarakat dan pemukiman. ”Hutan rimba jadi sangat penting bagi kami, salah satu sebagai sumber obat-obatan,” kata Buhing, kala datang ke Jakarta mengadu ke berbagai lembaga dan kementerian terkait konflik lahan mereka dengan perusahaan sawit pada 2018.

Hutan rimba, katanya, tak hanya jadi bahan papan, pangan, sumber air dan penyeimbang alam mereka karena letak di hulu.

Pada April 2016, Laman Kinipan sudah merilis pemetaan wilayah adat. Saat itu, dihadiri Asisten III Kabupaten Lamandau, anggota DPRD Lamandau, Pengurus Wilayah AMAN Kalteng, PW BPAN Kalteng, Dewan Wilayah AMAN Kalteng.

Awal 2018, Buhing ambil bagian dalam rapat koordinasi nasional hutan adat yang diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Mereka juga sudah mengajukan pencadangan hutan adat kepada KLHK. “Kami sudah memiliki peta dan sudah diverifikasi,” katanya kala itu.

 

Keterangan foto utama: Hutan adat Laman Kinipan yang bertumpang tindih dengan konsesi perusahaan sawit. Perusahaan mulai menebang pepohonan hutan pada 2018. Foto: warga Kinipan

Aksi menyuarakan penyelamatan hutan adat Laman Kinipan di Lamandau, Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

Exit mobile version