Mongabay.co.id

Perempuan Nelayan Manado, Mencari Solusi di Tengah Pandemi (Bagian 1)

Nelayan Manado tetap mencari ikan di tengah pandemi. Foto : Ilona Esterina Piri/Mongabay Indonesia

 

Napo Durian (55) tengah duduk dan berbincang dengan penjual ikan lain di trotoar jalan dekat Tugu Boboca Malalayang, Kota Manado, Sulawesi Utara. Waktu menunjukan pukul 10.00 WITA, saat saya menghampiri lapaknya. Agustus merupakan bulan kelima dirinya berjualan di tempat tersebut, terhitung sejak pandemi dan status darurat COVID-19 ditetapkan.

Sejak awal pandemi, kegiatan berjualan ikan di pinggir jalan menjadi hal yang yang lumrah ditemui tiap pagi juga sore di Kota Manado. Sejumlah titik berjualan terlihat di jalan-jalan dekat pantai seperti Malalayang, Bahu, bahkan hingga ke wilayah Karangria.

“Saya keluar untuk jualan dari subuh atau pagi, biasanya jam lima subuh atau paling lat (lama) jam enam pagi. Ikut jam suami pulang melaut lah,” ujar Napo saat ditemui pada Senin, (1/9/2020).

Ia harus bangun subuh menunggu suaminya di tepi pantai pulang dari melaut malam. Para penjual ikan lain memanggilnya Embo’ (sapaan akrab untuk tante dalam bahasa Sangihe). Napo merupakan istri nelayan yang bermukim di kelurahan Malalayang Lingkungan Empat.

Bersama suami dan anak semata wayangnya Napo pindah dari Sangir ke Kota Manado sejak tahun 2000. Kepada saya dirinya mengaku penghasilannya dari berjualan ikan menurun drastis sejak pandemi.

baca : Melihat Kemandirian Nelayan di Sulawesi Utara Menghadapi Pandemi

 

Perempuan nelayan Manado menjual ikan di pinggir jalan selama pandemi. Foto : Ilona Esterina Piri /Mongabay Indonesia

 

Keluarganya merupakan satu dari sekian banyak nelayan Manado yang terdampak COVID-19. Saat pasar harus membatasi kegiatan jual beli selama pandemi, mereka harus memutar otak agar ikan tetap bisa terjual. Kebanyakan dari mereka adalah ibu-ibu nelayan dan tukang tibo (pengumpul yang menjual ikan).

Menjual di pinggir jalan adalah solusi terbaik yang mereka pilih. Pada proses menjual, mereka tak lupa mentaati peraturan menjaga arak dan menggunakan masker. Beberapa penjual seperti Napo bahkan menggunakan pembungkus rambut. Dengan berjualan di pinggir jalan, transaksi dilakukan tanpa harus berdesakan karena pembeli umumnya masyarakat yang sedang melakukan perjalanan.

Menurunnya daya beli mulai dirasakan oleh penjual ikan. Napo mulai merasakan sulitnya menjual ikan saat hasil tangkapan suaminya sering bersisa. “Seperti hari ini, sudah hampir jam sebelas pembeli baru ada dua,” keluhnya.

Napo dan penjual lain di sekitar Tugu Boboca biasanya menjual ikan jenis tude (selar) dan malalugis, sesekali menjual jenis yang sedikit lebih besar seperti cakalang (tongkol). Satu plastik berukuran sedang berisi tude dihargai Rp20.000, ada kalanya lebih murah yakni Rp.30.000 untuk dua plastik ikan, agar lebih cepat terjual.

Ia tak lupa menyisakan sebagian kecil ikan hasil tangkapan untuk dijemur menjadi ikan asin, sebagai persediaan jika saja suaminya pulang melaut tidak mendapatkan ikan sama sekali akibat cuaca atau perubahan arus. Jika sudah demikian dirinya yang harus memikirkan cara agar tetap berpenghasilan dan bisa menutupi kerugian bahan bakar perahu.

Hal serupa dituturkan pengumpul yang juga penjual ikan lain, Rapa Kapantow (46). Pernah berminggu-minggu tidak ada ikan yang bisa dijual karena nelayan tidak melaut akibat angin kencang. Rapa mengaku penghasilannya sebagai penjual ikan sangat membantu suaminya yang bekerja sebagai tukang ojek, juga biaya sekolah anaknya.

baca juga : Kesejahteraan Nelayan Manado, Ironi di Tengah Perkembangan Ekonomi

 

Pembeli yang singgah langsung untuk membeli ikan, tanpa harus berdesakan di pasar. Foto : Ilona Esterina Piri/Mongabay Indonesia

 

Perjuangan Nelayan Perempuan

Selain melakukan tugas pasca tangkap, Napo Durian mengaku terkadang dirinya ikut melaut menemani suaminya. Berada di tengah laut, tak hanya suami, keselamatannya juga turut dipertaruhkan. Meski begitu, ia tidak memiliki kartu nelayan pun asuransi untuk bahaya yang bisa mengancamnya kapan saja.

“Asuransi nelayan tidak ada, karena saya tidak punya kartu nelayan, hanya suami punya. Pernah ikut diskusi dengan dinas kelautan, saya juga baru tahu ada istilah perempuan nelayan. Menurut saya sebagai perempuan nelayan harusnya kami juga dapat kartu nelayan, karena saya suka ikut suami ke laut dan saya yang jual ikan hasil tangkapan,”terang Napo.

Kerja ekstra perempuan nelayan di laut maupun darat belum sepenuhnya mendapat perhatian dari pemerintah. Hal itu diungkap Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati yang dihubungi Kamis, (3/9/2020). Susan menyebutkan anggapan perempuan hanya sebatas bagian dari rumah tangga nelayan adalah keliru.

Dalam Undang-undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam, pasal 45 disebutkan kegiatan pemberdayaan memperhatikan keterlibatan dan peran perempuan dalam rumah tangga nelayan.

KIARA sendiri turut andil dalam advokasi panjang memperjuangkan hak perempuan nelayan sebelum akhirnya terbit undang-undang itu.

“Ada dua subjek yang turut kami perjuangkan waktu itu, petambak garam dan perempuan nelayan. Akhirnya petambak garam masuk, tapi perempuan nelayan hanya tertulis sebagai bagian rumah tangga nelayan. Bagi kami, pihak KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) dan DPR belum paham bahwa dalam produksi perikanan kontribusi perempuan nelayan itu besar,” tegas Susan.

perlu dibaca : Terpinggir Karena Reklamasi, Nasib Nelayan Teluk Manado Kini [2]

 

Perempuan nelayan Malalayang Dua, Kota Manado, sedang mengklasifikasi ikan hasil tangkapan sebelum dijual. Foto : Ilona Esterina Piri/Mongabay Indonesia.

 

Bagi Susan peran perempuan tak hanya sesederhana mengurus urusan domestik. Asumsi ini menurutnya akan membuat banyak perempuan nelayan yang kehilangan haknya. Mereka memiliki beban ganda karena juga terlibat di pra dan pasca tangkap, namun kesulitan mengakses asuransi maupun modal. Dalam hal ini Susan kembali menegaskan keadilan gender dalam kebijakan dan memperoleh hak sangat dibutuhkan.

Senada dengan Susan, Asosiasi Nelayan Tradisional Sulawesi Utara (ANTRA) melalui Ketua, Rignolda Damaludin mengatakan perempuan nelayan memiliki peran yang tak kalah pentingnya dengan nelayan pria.

Menurut Rignolda untuk perlindungan perempuan nelayan di undang-undang terbentur definisi nelayan itu sendiri. Dalam UU No.7/2016 disebutkan nelayan adalah mereka yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.

Pada pasal 1 ayat 8 disebutkan penangkapan ikan adalah kegiatan menangkap ikan bukan dalam keadaan dibudidayakan dan hanya terbatas kerja di atas kapal. Antra mengakui perempuan nelayan sebagai bagian dari kerja utuh. Perempuan nelayan memegang peran yang tak kalah penting di darat yakni produksi dan penjualan.

Tidak hanya Napo, perempuan nelayan lain juga merasakan hal serupa, Devita Tumengkol (39) misalnya. Devi, sapaan akrabnya mengisahkan bagaimana ia harus mengatur perbekalan suami melaut dan harus memikirkan strategi menjual ikan. Ia mengaku masih lebih beruntung, karena suaminya mempunyai rakit dan perahu sendiri, sehingga penghasilannya dengan suami terkadang bisa lebih besar dari nelayan lain.

Riset terbaru KIARA menyebutkan perempuan nelayan berkontribusi sebesar 48% untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi. Selama pandemi, perempuan nelayanlah yang harus memutar otak agar ikan bisa dijual dengan maksimal, tanpa ada kerugian. Namun hak perempuan nelayan seakan terbentur oleh regulasi. Beberapa perempuan nelayan yang ditemui mengaku tidak punya kartu nelayan, dan profesi di KTP-nya terdaftar sebagai ibu rumah tangga.

 

DKP Sulut selalu berupaya mencari solusi untuk membantu perekonomian nelayan terdampak covid. Foto : Ilona Esterina Piri/Mongabay Indonesia

 

Sementara itu, Ruth, Pejabat sementara Kepala Seksi Nelayan DKP Sulawesi Utara, mengatakan kartu nelayan lebih spesifik diberikan kepada nelayan tangkap. Kartu ini umumnya hanya dimiliki oleh pria. Menurutnya perempuan nelayan kebanyakan bekerja dalam rumah tangga, dan otomatis tidak akan mendapat kartu nelayan.

Selama ia bertugas di DKP Sulut, belum pernah melihat perempuan pemegang kartu nelayan, karena umumnya yang bekerja di laut hanya laki-laki. “Kami juga melihat data usulan input enumerator itu biasanya hanya laki-laki,” kata Ruth yang ditemui Senin, (1/9/2020).

Dia mengungkapkan pihak DKP tidak memberikan batasan bagi perempuan yang ingin menjadi nelayan dan mendapatkan kartu, hanya saja pemilahan kerja perempuan nelayan hanya sebagai pemasar sudah terlanjur melekat di masyarakat.

Meski begitu perempuan nelayan yang ikut melaut di kota Manado tetap ada. Napo bahkan mengaku dirinya juga bisa beberapa teknik mengael (memancing), sama seperti suaminya.

***

 

*Ilona Esterina Piri, jurnalis Fokusline.com ManadoArtikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia

 

***

 

Keterangan foto utama : Nelayan Manado tetap mencari ikan di tengah pandemi. Foto : Ilona Esterina Piri/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version