Mongabay.co.id

Nelayan Manado : Semangat Melaut Meski Daya Beli Tengah Surut (Bagian 2)

 

Dampak pandemi COVID-19 dirasakan semua orang di Indonesia, tidak terkecuali di Kota Manado, Sulawesi Utara. Para nelayan di Kota Manado terdampak pandemi dengan turunnya harga ikan karena daya beli masyarakat yang juga menurun.

Meski daya beli masyarakat menurun, tak lantas membuat semangat nelayan Kota Manado hilang. Seperti yang dilakukan nelayan muda dari Forum Nelayang Pesisir Pantai Malalayang Dua (FNPPM) melaut pada siang hari di penghujung bulan Agustus 2020. Nelayan Kota Manado mengenal dua waktu melaut, yakni siang sebelum matahari terbit hingga matahari terbenam, dan melaut malam hingga pagi menjelang.

Saat melaut, terlihat banyak perahu nelayan di perairan Teluk Manado, terutama di sekitar rakit-rakit tempat berkumpulnya ikan. Ukuran perahunya variatif, tapi umumnya nelayan menggunakan katinting (perahu kecil) dengan kapasitas maksimal dua orang. Seperti nelayan FNPPM, nelayan ditemui kebanyakan juga menggunakan pancing noru (pancing ulur dengan umpan buatan).

baca : Perempuan Nelayan Manado, Mencari Solusi di Tengah Pandemi (Bagian 1)

 

Nelayan Manado tetap mencari ikan di tengah pandemi. Foto : Ilona Esterina Piri/Mongabay Indonesia

 

Kepala Dinas (Kadis) Kelautan dan Perikanan Sulawesi Utara (Sulut), Tinneke Adam, dalam workshop yang diselenggarakan Mongabay Indonesia pada Rabu (29/7/2020), mengatakan perikanan bisa menjadi sektor unggulan di provinsi itu.

“Perikanan bisa jadi sektor unggulan di Sulut karena situasi kerjanya yang cenderung stabil. Permintaan ikan masih tinggi, sementara kerja nelayan masih berjalan. Tidak ada larangan melaut bagi nelayan selama COVID-19. Berbeda dengan karyawan kantor yang ada pembatasan dan pemutusan kerja,” ujarnya.

Memang tidak ada pelarangan dan pembatasan melaut bagi nelayan. Namun menurut penuturan perempuan nelayan, Devi Tatumengkol (39) persoalan lain yang harus dihadapi adalah bagaimana menjual ikan di tengah turunnya daya beli selama pandemi.

Devi tidak memungkiri, selama pandemi pembeli berkurang. “Biasanya kalo ndak terjual, ikan sisa kita makan sendiri atau dibagi ke tetangga. Kerugiannya selain waktu juga rugi bensin,” katanya.

Rugi bahan bakar adalah hal lain yang menjadi kekhawatiran nelayan di Teluk Manado. Belum lagi bahan bakar yang mahal dan sulitnya mengakses BBM bersubsidi. Seperti diungkapkan nelayan Sario, Poni Telleng yang mengatakan perlu surat rekomendasi atau kartu nelayan jika ingin membeli BBM bersubsidi di SPBU.

Akses bensin perahu harus menggunakan surat, ia mengeluhkan semakin sulitnya nelayan mendapatkan bahan bakar bersubsidi. Selama pandemi bahkan ada SPBU yang tidak mengizinkan nelayan mendapat akses bahan bakar subsidi.

Padahal DKP sudah memberikan rekomendasi SPBU yang boleh untuk nelayan beli BBM seperti di Tateli dan SPBU Malalayang. Syaratnya hanya mengantongi kartu nelayan dan surat dari DKP. Meski begitu pada praktiknya masih sulit mengakses meski mengantongi rekomendasi, seperti di SPBU Malalayang.

“Malah angkot lebih mudah mendapatkan BBM subsidi, kalau nelayan harus ada kartu. Itupun belum tentu dikasih. Padahal sama-sama bekerja cari uang. Kami tidak mungkin bawa perahu ke SPBU untuk diisikan,” ungkap Poni yang ditemui Kamis, (3/9/2020).

Sedangkan staf Perkumpulan Kelompok Pengelola Sumberdaya Alam (Kelola) Brama Djabar, pada Kamis (3/9/2020) menunjukan bentuk surat rekomendasi yang harus dimiliki nelayan untuk mendapatkan BBM subsidi.

“Dari DKP sebelumnya ada Kartu Kendali Pemberian BBM Subsidi. Kami ikut bantu beberapa nelayan di FNPPM mengurus. Kartu tersebut dari DKP langsung sekaligus merekomendasikan SPBU mana saja yang bekerjasama. Kalau sekarang pakai Kusuka, dan hanya boleh beli di SPBU di Tateli,” terangnya.

baca juga : Melihat Kemandirian Nelayan di Sulawesi Utara Menghadapi Pandemi

 

Kartu kendali pembelian BBM Subsidi untuk nelayan di Kota Manado, Sulut. Sumber : FNPPM

 

 

Sementara Nelayan Malalayang, Maikel Agumanis (57) menambahkan kini di SPBU Malalayang nelayan hanya bisa dapat bahan bakar non subsidi seperti pertalite. Harga yang tentunya lebih mahal, sehingga cost jadi bertambah.

Meski dihadapkan resiko rugi bahan bakar, kegiatan melaut nelayan tetap berjalan setiap harinya, begitupun kegiatan menjual ikan. Sepulang melaut, di darat langsung disambut perempuan nelayan yang kemudian ikut membantu mengangkut ikan untuk kemudian diklasifikasi berdasarkan ukuran dan jenis ikan.

Salah seorang pengumpul yang menjual ikan Deice Mokotika mengatakan dirinya tetap menjual ikan setiap hari. Tidak ada hari tanpa ikan masuk, kecuali saat cuaca tidak memungkinkan melaut atau sedang tidak ada ikan.

 

Solusi dari Dinas Kelautan Perikanan

Menanggapi menurunnya daya beli ikan dampak pandemi, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sulawesi Utara memberikan bantuan dan menawarkan sejumlah solusi. Sekretaris DKP Sulut, Christie Saruan mengatakan untuk masalah penjualan DKP siap mensosialisasikan kerja sama dengan aplikasi ojek online.

“Ini sebenarnya program Kementerian (KKP), sudah disosialisasikan ke kami, tapi hingga saat ini untuk penerapan kami masih menunggu teknisnya. Sudah launching, kami harus berkoordinasi lagi dengan direktorat pemasaran dan kelautan barulah disampaikan ke nelayan,” terangnya saat ditemui Senin, (1/9/2020).

Menurut Christine sudah dilakukan penandatanganan MoU antara KKP dengan beberapa aplikasi berbasis ojek online. Nanti akan ada fitur sendiri untuk memasarkannya.

Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari Kemensos juga telah didistrubusikan kepada nelayan. DKP Sulut juga menyediakan dana BTT (Bantuan Tak Terduga) untuk nelayan, pembudidaya, dan pemasar yang terdampak COVID-19. Bantuan berupa BBM, cool box, benih dan pakan.

Christie menuturkan jumlah penerima bantuan masih diverifikasi, dan variatif. “Ada kelompok nelayan yang mengusulkan juga, tapi kami tetap harus verifikasi lagi, jangan sampai ada yang terima double.”

Syarat mendapat bantuan menurutnya cukup mudah, bantuan tidak hanya diterima mereka yang memegang kartu nelayan, tapi harus mengantongi surat rekomendasi dari pemerintah setempat seperti lurah.

baca juga : Kesejahteraan Nelayan Manado, Ironi di Tengah Perkembangan Ekonomi

 

Perempuan nelayan Malalayang Dua, Kota Manado, sedang mengklasifikasi ikan hasil tangkapan sebelum dijual. Foto : Ilona Esterina Piri/Mongabay Indonesia.

 

Kontribusi lain dari DKP untuk membantu distribusi dan penjualan ikan salah satunya dengan menghubungi pembeli langsung dan pengumpul. Selain itu DKP juga membantu kontrol harga ikan di pasar. Ini meminimalisir pengumpul yang memainkan harga untuk keuntungan pribadi namun akhirnya merugikan nelayan.

Christine mengatakan untuk wilayah Sulawesi Utara, tidak perlu menghawatirkan penurunan daya beli, karena menurutnya konsumsi ikan warga masih tinggi dibanding wilayah lain. “Tidak perlu khawatir soal pemasaran, ikan tetap habis, malah banyak orang justru mencari, kadang ada pula yang beli lebih untuk stok pangan di rumah, saya juga begitu,” tambahnya.

Sementara itu, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati yang dihubungi Kamis, (3/9/2020) berpendapat ide membantu penjualan dengan kerjasama dari pihak kementerian dengan aplikasi ojek online patut diapresiasi. Namun ia menilai skemanya belum tepat.

“Di tengah pandemi, semua serba susah, apa semua nelayan punya akses internet yang baik dan uang membeli kuota? Atau bahkan ada yang tidak punya smartphone. KKP harus memperhatikan hal itu juga. Apakah negara memfasilitasi sampai di situ?” paparnya.

Mendengar cerita distribusi bantuan, perempuan nelayan, Napo Durian, mengaku hingga saat ini belum mendapatkan BLT maupun BTT seperti yang disebutkan pihak DKP. Padahal suaminya merupakan pemegang kartu nelayan di Malalayang Dua Lingkungan Empat.

Ada hal penting lain yang menurutnya lebih dibutuhkan yakni pengurangan biaya kuliah anaknya. “Anak saya saat ini kuliah, dan selama COVID belum ada pengurangan SPP, sementara hasil penjulan ikan saat ini menurun drastis.”

perlu dibaca : Terpinggir Karena Reklamasi, Nasib Nelayan Teluk Manado Kini [2]

 

Pembeli yang singgah langsung untuk membeli ikan, tanpa harus berdesakan di pasar. Foto : Ilona Esterina Piri/Mongabay Indonesia

 

Sementara itu, Akademisi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi Manado, Rignolda Damaludin memandang keresahan perihal menurunnya pendapatan nelayan selama COVID-19 tidak melulu terselesaikan hanya dengan bantuan.

Selama pandemi, nelayan Teluk Manado umumnya menjual ikan jenis ikan konsumsi harian, bukan konsumsi restoran, rumah makan, atau skala katering karena konsumennya banyak tutup. Karena itu jumlah penjual ikan akan lebih banyak dalam satu wilayah dengan segmen pasar yang sama. Menghadapi itu perempuan nelayan dan pengumpul yang menjual ikan di Kota Manado perlu memikirkan strategi untuk berjualan.

Kemandirian nelayan butuh dukungan seperti memangkas sistem dan regulasi yang mempersulit nelayan. Selain akses bahan bakar yang sulit, nelayan perempuan seperti Napo Durian juga mengaku kerap didatangi Satpol PP untuk memperingatkan bahwa tempat ia biasa berjualan di pinggir jalan tidak memiliki izin.

Rignolda berharap respon pemerintah dan dinas terkait untuk membantu perekonomian nelayan lebih baik selama pandemi. Akademisi yang juga ketua Asosiasi Nelayan Tradisional Sulawesi Utara (ANTRA) ini justru melihat pilihan perempuan nelayan berjualan di pinggir jalan sebagai sesuatu yang inovatif.

“Sejauh yang saya lihat, komunitas nelayan di daseng Kinamang Malalayang, dari segi perekonomian cukup bertahan. Mereka tidak lagi menggunakan pasar sebagai mekanisme berjualan, tapi menciptakan pasar sendiri. Dengan demikian justru mereka menghindari kepadatan dan menaati protokol kesehatan untuk jaga jarak, karena pembeli hanya sekedar singgah tanpa berdesakan,” tutur Rignolda.

 

***

 

*Ilona Esterina Piri, jurnalis jurnalis Fokusline.com ManadoArtikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version