- Industri budi daya udang nasional sedang was-was karena sejumlah negara tetangga sedang terkena wabah penyakit acute hepatopancreatic necrosis disease (AHPND). Penyakit tersebut bisa mematikan industri, karena akan menyerang udang yang usianya di bawah 40 hari
- Negara yang industri budi daya udangnya sudah dilumpuhkan oleh AHPND, adalah Tiongkok, Meksiko, Thailand, Malaysia, Vietnam, Filipina, dan India. Akibat penyakit tersebut, produksi udang di negara-negara tersebut mengalami penurunan dengan signifikan
- Bagi Indonesia, ancaman AHPND terasa semakin dekat dan nyata, karena benteng pertahanan batas Negara adalah berbatasan langsung dengan Malaysia. Ancaman terasa semakin dekat, karena AHPND adalah penyakit lintas batas (transboundary disease)
- Agar bisa dicegah masuk ke Indonesia, pengawasan dan kewaspadaan terus ditingkatkan Pemerintah Indonesia dan pemangku kepentingan terkait. Dalam prosesnya, sosialiasi di tambak udang menjadi langkah yang paling signifikan karena bisa meningkatkan kewaspadaan langsung di tambak
Ancaman penyakit acute hepatopancreatic necrosis disease (AHPND) pada udang semakin nyata dirasakan para pembudi daya yang ada di Indonesia. Jika tidak dicegah dan diantisipasi, penyakit tersebut akan menyerang usaha budi daya udang yang sedang berjalan dan dengan cepat mematikan seluruh udang yang ada di dalam kolam pembesaran.
Penyakit tersebut diwaspadai oleh Indonesia, karena negara tetangga sudah merasakan keganasannya dan memicu banyaknya kehancuran sentra udang. Sebut saja negara seperti Malaysia, Thailand, Tiongkok, Vietnam, Meksiko, dan India sudah merasakan bagaimana ganasnya AHPND.
Direktur Jenderal Perikanan Budi daya Kementerian Kelautan dan Perikanan (DPJB KKP) Slamet Soebjakto menjelaskan, upaya pencegahan harus dilakukan sejak dari sekarang untuk menghindari kemungkinan terburuk. Untuk itu, perlu ada upaya pengawasan dan sosialisasi di seluruh sentra udang.
“Pencegahan harus dilakukan secara ketat dan komprehensif, sehingga tidak ada celah yang memberi potensi terjadinya penyebaran AHPND di Indonsia,” ujar dia pekan lalu di Jakarta.
Dengan melaksanakan sosialisasi dan pengawasan di sentra udang, maka secara tidak langsung itu akan melibatkan dan meningkatkan kesadaran pemangku kepentingan pada industri udang dan juga masyarakat pembudi daya udang yang ada di Indonesia terhadap penyakit AHPND.
baca : Ancaman Penyakit EMS dan AHPND pada Udang
Slamet menyebutkan, AHPND menjadi penyakit yang harus diwaspadai, karena ada bakteri vibrio parahaemolyticus di dalamnya yang bisa menghasilkan racun mematikan dan bisa menyerang pada udang vaname (Litopenaeus vannamei) yang umurnya kurang dari 40 hari di dalam kolam.
“Juga, AHPND itu adalah jenis penyakit lintas batas atau transboundary disease,” tutur dia.
Bukti bahwa AHPND bisa melintasi banyak wilayah dan negara, adalah dengan banyaknya laporan dari negara yang disebutkan di atas tentang masuknya penyakit tersebut ke negara masing-masing. Negara-negara tersebut bahkan sudah mengumumkan bahwa sudah ada infeksi pada industri budi daya udang.
Menurut Slamet, pengalaman negara-negara tersebut wajib untuk dipelajari Indonesia dan sekaligus bisa meningkatkan kewaspadaan terhadap penyakit AHPND. Bentuk kewaspadaan itu, dengan memperketat analisis resiko impor berbagai produk yang berpotensi bisa menjadi pembawa penyakit dari negara yang terkena wabah.
Dengan kondisi sekarang di mana Indonesia tengah fokus meningkatkan produksi udang, maka ancaman penyakit AHPND jangan sampai menghentikan geliat yang tengah berjalan saat ini. Dengan melaksanakan pencegahan, maka upaya untuk meningkatkan produksi udang akan bisa terus berjalan.
baca juga : Industri Udang Nasional Bersiaga dari Penyakit Mematikan AHPND
Ancaman
Untuk mencegah masuknya penyakit tersebut ke Indonesia, KKP sudah menyiapkan sejumlah langkah. Pertama, dengan menerbitkan Peraturan Direktorat Jenderal Perikanan Budi daya KKP Nomor 165 Tahun 2019 tentang SOP Pencegahan AHPND.
Kedua, membentuk Satuan Gugus Tugas Pengendali Hama dan Penyakit Ikan. Ketiga, meningkatkan kapasitas laboratorium pengujian di UPT mulai dari metode, bahan uji dan sumber daya manusia (SDM). Keempat, memperketat pengawasan terhadap lalu lintas udang baik domestik maupun internasional.
Kelima, melakukan pendataan unit pembenihan dan tambak di setiap provinsi. Keenam, sosialisasi pencegahan AHPND kepada petugas dinas dan stakeholder terkait. Ketujuh, melakukan surveilans, yakni pengumpulan data penyakit berdasarkan pengambilan sampel/spesimen ke sentra budidaya udang.
“Kedelapan, menyusun format sistem pelaporan untuk pusat diagnostik Penyakit Ikan nasional,” ucap dia.
Slamet menambahkan, keberadaan Satgas memiliki peran sebagai pengarah, penanggung jawab, tim ahli dan pelaksanana dengan melibatkan banyak pihak terkait seperti Pemerintah, akademisi, atau pemangku kepentingan yang memiliki tujuan sama untuk mengendalikan dan mencegah penyakit ikan masuk ke Indonesia.
“Salah satunya adalah dengan melaksanakan antisipasi pencegahan AHPND di sentra produksi budi daya udang di seluruh Indonesia,” jelas dia.
Dengan cara tersebut, Slamet berharap seluruh sentra produksi budi daya udang bisa bisa bekerja sama dan menjaga komitmen untuk ikut serta menjaga wilayah NKRI bisa terbebas dari penyakit AHPND. Komitmen tersebut juga harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang ada.
Khusus untuk pembudi daya, dia meminta untuk selalu melaksanakan pengelolaan budi daya dengan memperketat biosekuriti dan segera melaporkan jika ada indikasi penyakit AHPND di lokasi budi daya masing-masing. Laporan tersebut akan direspon langsung selama 24 jam oleh tim Satgas.
perlu dibaca : Benteng Pertahanan Negara dari Serangan Penyakit Udang
Sebelumnya, Presiden Shrimp Club Indonesia (SCI) Iwan Sutanto mengatakan bahwa industri udang nasional terus bersiaga dengan melakukan berbagai upaya pencegahan masuknya penyakit AHPND ke sentra-sentra udang. Melalui upaya tersebut, industri udang nasional optimis bisa tetap baik dan terbebas dari serangan penyakit berbahaya dan mematikan tersebut.
Selain itu, dari Shrimp Production Review, yang dirilis Global Aquaculture Alliance, disebutkan bahwa penyakit merupakan isu terbesar dalam budi daya udang di berbagai negara. Menurut hasil review tersebut, pemicu serang penyakit ikan adalah karena penerapan manajemen kesehatan ikan dan lingkungan masih belum berjalan optimal.
“Selain itu, lalu lintas importasi sarana produksi yang tidak terkendali menjadi penyebab lainnya,” demikian hasil reviu tersebut.
Biosekuriti
Terpisah, Pengurus Serikat Petambak Pantura Indonesia Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, Rujatno, mengakui kalau saat ini pihaknya terus melaksanakan edukasi dan sosialisasi tentang penyakit AHPND kepada seluruh petambak di Pantura Jawa.
Menurut dia, saat ini bisnis budi daya udang di Pantura sedang dalam kondisi terbaik dan karenanya pihaknya langsung waspada setelah tahu sejumlah negara terinfeksi penyakit tersebut. Selain melakukan langkah antisipatif, sosialisasi penerapan biosekuriti juga terus dilakukan.
Diketahui, AHPND adalah penyakit yang disebabkan adanya infeksi bakteri vibrio parahaemolyticus (Vp AHPND) yang mampu memproduksi toksin dan menyebabkan kematian pada udang dengan mortalitas mencapai 100%. Kematian akibat AHPND terjadi pada umur kurang dari 40 hari setelah ditebar di tambak.
Penyakit tersebut pertama kali muncul di Tiongkok pada 2009 dan dikenal dengan sebutan covert mortality disease. Setelah Tiongkok, AHPND dilaporkan menyerang tambak-tambak udang di Vietnam pada 2010, Malaysia pada 2011, Thailand pada 2012, Meksiko 2013, dan Filipina pada 2015.
baca juga : Sistem Biosekuriti Budi Daya Udang Indonesia Diakui Dunia. Begini Ceritanya..
Secara umum, gejala klinis udang yang terinfeksi AHPND, adalah kematian secara mendadak di dasar tambak pada umur kurang dari 40 hari pasca tebar, seluruh badan udang terlihat pucat, dan saluran pencernaanya kosong.
Kemudian, gejala lainnya adalah organ hepatopankreas udang mengecil dan terlihat pucat saat dibedah. Akan tetapi gejala klinis yang mudah ditemukan di tambak, akan sulit dikenali di jika kejadiannya ada di hatchery (pusat pembenihan).
Namun demikian, ciri-cirinya bisa dilihat dari adanya gerakan larva dan postlarva (PL) yang terlihat lemah, hepatopankreas pucat, dan terjadi kematian secara mendadak mulai stadia PL 1 sampai dengan sebelum PL didistribusikan mencapai kurang dari 30 persen.
Selain AHPND, penyakit lain yang masih menghantui bisnis perudangan nasional, adalah White Spot Syndrome Virus (WSSV), Infectious Myonecrosis Virus (IMNV), Enterocytozoon Hepatopenaei (EHP), dan White Feces Disease (WFD).
Sementara, kemunculan AHPND, penyakit Covert Mortality Nodavirus (CMNV), dan paling baru Decapod Iridescent Virus 1 (DIV1) yang saat ini tengah menyerang industri budi daya udang di Tiongkok, Vietnam, dan Thailand, harus diantisipasi dengan menerapkan upaya proteksi di pintu pintu masuk lintas batas.
***
Keterangan foto utama : Biota laut seperti udang, kepiting dan ikan kembali datang setelah mangrove kembali tumbuh.Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia