Mongabay.co.id

Kolaborasi Adat dan Agama Jaga Bumi, Seperti Apa?

Hutan adat masyarakat Dayak Iban seluas 9.480 hektar di Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, kini diakui negara. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

 

 

Bumi alami krisis. Kerusakan lingkungan terjadi di berbagai belahan bumi, termasuk di Indonesia. Untuk itu, lintas agama dan adat penting membangun gerakan bersama guna menyelamatkan bumi dari kerusakan makin parah. Begitu benang merah dari diskusi virtual bertema Kemuliaan Alam Dalam Iman, 21 September lalu.

Kalo berlayar ke Utara, memang badai tak dapat diduga. Saatnya katong angkat suara, selamatkan bumi sekarang juga, ” kata Eliza Kissya, Kepala Kewang Haruku di Maluku Tengah, Kecamatan Pulau Haruku, Maluku dalam diskusi daring yang diselenggarakan Econusa, GKI Pengharapan Jayapura, Prakasarsa Lintas Agama untuk Hutan Tropis, dan Kewang Haruku ini.

Sepanjang diskusi, tokoh adat asal Maluku ini kerap mengucap pantun-pantun bertema penyelamatan lingkungan.

Kewang, lembaga adat dalam pemerintah desa (negeri) di Maluku yang berperan melaksanakan aturan-aturan pemerintah desa, termasuk aturan pengelolaan lingkungan. Om Elly begitu dia disapa, menjadi kepala Kewang sejak 1979. Atas perannya mengelola lingkungan dan merawat secara lestari, deretan penghargaan lingkungan hidup dia peroleh.

Di Pulau Haruku, ada 11 kampung. Kerusakan lingkungan antara lain, abrasi, ekosistem burung maleo rusak dan kerusakanhutan bakau maupun ekosistem laut.

Mengatasi itu, Om Ely mengajak masyarakat pembibitan dan penanaman bakau, membantu proses penetasan telur dan penangkaran maleo, menyelamatkan penyu, hingga merawat terumbu karang.

Agar gerakan meluas dan berkelanjutan, dia juga mendidik kader penyelamat lingkungan dan membentuk Kewang kecil. Tidak jarang dia berkeliling ke sekolah-sekolah untuk berbagi pengetahuan tentang masalah lingkungan dan upaya penyelamatannya.

 

Hamparan tanah sudah bersih, yang sebelumnya hutan adat Malind Anim di Desa Zanegi, Merauke, Papua. Foto: Nanang Sujana

 

Sasi merupakan satu tradisi yang masih berlangsung hingga kini. Menurut dia, sumber daya di Pulau kecil Haruku akan habis kalau menerus diambil. Lewat sasi, masyarakat dilarang mengambil hasil sumber daya alam baik hewan maupun tumbuhan tertentu, agar populasi terjaga.

Orang yang melanggar sasi akan mendapatkan sanksi adat. Sasi ada beberapa jenis. Ada sasi laut, sasi dalam negeri, sasi sungai, dan sasi hutan. Upacara khusus dibuat untuk menutup dan membuka sasi.

Sasi laut mendatangkan hasil melimpah untuk warga. Saat sasi dibuka, warga berkumpul, ribuan ton ikan panen.

“Ikan dari laut kita panggil masuk ke sungai, baru panen di sungai. Orang kagum karena ini sudah dari zaman purbakala, dari zaman orang tua dulu.”

Adat dan agama di Pulai Haruku yang mayoritas Kristen ini, katanya, berjalan selaras dan seirama dalam menjaga kelestarian alam.

 

Peran gereja jaga alam

Peter Wamea dari Komisi Perdamaian dan Keutusan Ciptaan (KPKC) GKI Pengharapan Jayapura hadir sebagai narasumber. Ada sekitar 5.513 jemaat di GKI Pengharapan Jayapura. Kata Peter, gereja terus memberikan penyadaran kepada umat.

Kelompok kategorial seperti laki-laki dan perempuan, pemuda sampai remaja terlibat dalam kegiatan penyelamatan lingkungan seperti penanaman pohon.

Wilayah GKI Pengharapan Jayapura berada di antara dua ekosistem penting yaitu Cagar alam Cyclop dan Teluk Humbolt . Ia terhubung langsung ke Teluk Youtefa.

 

Hutan, rumah dan tempat hidup orang Papua, terbabat menjadi kebun sawit…Foto dari screenshot video investigasi

 

Dari Cagar Alam Cyclop dengan luas mencapai 22.500 hektar ini mengalir sungai-sungai yang mensupalai air untuk penduduk kota dan Kabupaten Jayapura.

Di Teluk Youtefa, terdapat hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun padang pasir, laut dan pasir. Wilayah Cyclop terancam penggundulan dan kebakaran. Teluk Youtefa terancam pencemaran.

Untuk merespon masalah lingkungan, GKI Pengharapan Jayapura memiliki satu bidang khusus yaitu Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (KPKC). Pada hari ulang tahun pekabaran injil di Tanah Tabi 10 Maret 2019, KPKC menyerahkan kajian lingkungan hidup kepada Pemerintah Kota Jayapura.

Di dalamnya, terdapat landasan ekoteologi, persoalan lingkungan di wilayah GKI Pengharapan, dan berbagai rekomendasi kepada pemerintah.

KPKC GKI Pengharapan Jayapura mengajak warga di Lereng Cyclop untuk menjaga wilayah itu. Salah satu yang mereka dampingi adalah Kelompok Pencinta Alam Zaitun, dipimpin Seppy Karubaba.

“Mereka bekerja dengan motto, Allah adalah alam, alam adalah Allah. Sayang Allah berartu kita sayang alam.”

Kelompok ini menanam di hulu Sungai Anafri Gurabesi Kloofkamp. Penanaman sudah sejak 1995. Kini, kelompok ini memiliki 12 tempat persemaian pohon pelindung. Setiap tempat terdapat ribuan bibit berbagai jenis pohon seperti bitanggur, akasia, jambu mete, matoa, jati, cemara gunung, bambu, dan mangga.

Peter menyatakan ada ayat-ayat Alkitab yang menjadi landasan upaya penyelamatan lingkungan. Ekoteologi atau teologi lingkungan, katanya, seperti tercantum dalam Kejadian 2: 15, Tuhan mengambil manusia dan menempatkan manusia dalam Taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara.

“Di sini kita garis bawahi mengusahakan dan memelihara. Jadi, alam ciptaan Allah dalam proses pembangunan tetapi pembangunan yang harus berkelanjutan . Kita garis bawahi dalam kalimat ini kata memelihara.”

Peter berharap, upaya gereja bisa mendorong perubahan perilaku warga hingga bisa mengurangi ancaman kerusakan.

 

Masyarakat Ngadas saat mengikuti rangkaian acara Karo. di Ngadas walau terpolarisasi dalam banyak agama, namun masyarakat Ngadas tetap taat dan tunduk pada adat Tengger. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Agama dukung adat

Masalah perubahan iklim sudah dibahas sejak lama namun tidak membawa perubahan berarti. Berbagai pihak terlibat membahas soal ini dari presiden, menteri, swasta, hingga organisasi masyarakat sipil. Kini, tokoh lintas iman pun terlibat.

Aliansi lintas iman dari Kolombia, Peru, Brazil, Kongo, Indonesia lalu menggagas The Interfaith Rainforest Initiative (IRI) pada Juni 2017. IRI menjadi wadah bagi pemimpin agama untuk bahu membahu dengan masyarakat adat, pemerintah, organisasi masyarakat sipil dan dunia usaha dalam melindungi hutan.

Hanafi Guciano, Fasilitator Nasional Interfaith Rainforest Initiatives Indonesia menyatakan, kearifan masyarakat adat kunci menyelamatkan hutan. Wilayah-wilayah di mana hutan tropis masih dikuasai masyarakat adat, hampir 80% keragaman hayatinya masih terjaga.

“Praktik pengolahan lahan masyarakat adat sangat bagus dengan kearifan lokal, tradisi, dan hubungan spiritual antara manusia dengan alam. Itulah yang menjadi pelindung hutan selama ini.”

Meskipun begitu, katanya, ancaman hutan dan masyarakat adat cukup besar. Kebijakan ekonomi politik tak berpihak alam dan masyarakat adat. Kehadiran koorporasi menggunduli banyak hutan tropis.

Belum ada dasar hukum kuat bagi masyarakat adat atas tanah dan hutan. Padahal, perlindungan hukum atas masyarakat adat penting karena bukan saja bicara hak tanah, juga konservasi dan mencegah perubahan iklim.

Studi memperlihatkan, pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat secara signifikan berpengaruh pada berkurangnya kerusakan hutan.

“Itu cara yang paling mudah dan paling murah melindungi bumi dari perubahan iklim.”

Untuk itu, katanya, perlu juga keterlibatan lintas agama ikut mendorong negara mengeluarkan kebijakan yang melindungi hutan dan masyarakat adat.

Di Indonesia, IRI terus kampanye dan advokasi. Pada 2021, akan ada pelatihan di Papua dan Maluku. Para pemuka agama di dua wilayah ini akan dipersiapkan jadi pejuang lingkungan.

“Kita berharap nanti bersama komunitas masyarakat adat, kelompok agama mendorong gerakan menyelamatkan hutan.”

 

 

Keterangan foto utama: Hutan adat masyarakat Dayak Iban seluas 9.480 hektar di Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, kini diakui negara. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Exit mobile version