Mongabay.co.id

Studi: Kurang dari 10 Persen Hutan Tropis Terbaik Dunia yang Telah Terlindung Hukum Legal

 

Hutan tropis dan subtropis berdaun lebar menutupi hanya 14 persen dari permukaan Bumi, tetapi berperan melindungi setidaknya setengah dari semua spesies dan memberikan jasa ekosistem penting seperti penyerapan karbon dan siklus air. Hal ini membuat ekosistem ini penting untuk memenuhi target iklim dan konservasi global seperti Perjanjian Iklim Paris dan Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD).

Menurut penelitian terbaru yang diterbitkan di Nature Ecology and Evolution, hanya sebagian kecil saja dari hutan tropis primer di dunia yang telah mendapat perlindungan dari kerusakan.

Cakupan studi ini menyebut hanya tersisa 1,9 juta hektar hutan tropis dunia yang memiliki integritas ekologis. Yaitu, tutupan pohon-pohon yang tinggi dengan  aktivitas manusia yang terbatas.

Definisi ini meliputi hutan primer tua berpohon besar, memiliki lapisan kanopi, dan keanekaragaman hayati tingkat tinggi. Ia menyediakan ekosistem berkualitas tinggi seperti penyimpanan karbon, dan cenderung lebih tahan terhadap perubahan iklim.

 

Hutan sekunder di Cagar Biosfer Yangambi, Republik Demokratik Kongo. Hutan dengan integritas ekologis tinggi dapat mencakup hutan primer dan sekunder. Mereka dikategorikan sebagai prioritas tertinggi untuk perlindungan berdasarkan dengan analisis studi. Gambar milik CIFOR via Flickr (CC-BY NC-ND).

 

Penelitian menyebut kurang dari 10 prsen, tepatnya hanya 6,5 persen dari hutan dengan integritas ekologis tinggi ini berada di bawah perlindungan hukum.

“Hutan tinggi dengan kanopi tertutup dan ancaman manusia rendah, sebagian besarnya terbatas berada di Lembah Amazon dan Kongo,” jelas Andrew Hansen dari Montana State University yang memimpin penelitian ini.

“Sebagian besar hutan ini tidak memiliki perlindungan secara formal sehingga menempatkannya pada ancaman resiko kerusakan yang besar.”

Hansen dan timnya menggunakan data resolusi tinggi yang dikumpulkan oleh satelit ICESat-2, Landsat-7 dan -8 milik NASA untuk menghitung tinggi kanopi, tutupan pohon, dan waktu sejak terjadinya gangguan. Intepretasi data yang digunakan turut memasukkan laju perkirakan kehilangan luas hutan antara tahun 2000 dan 2017.

Para peneliti selanjutnya menginterpolasi data ancaman manusia, yaitu ukuran populasi manusia lokal, penggunaan lahan, dan infrastruktur transportasi terdekat seperti jalan. Mereka memperkenalkan skala baru yang disebut: Indeks Integritas Struktural Hutan (FSII), yang selanjutnya digunakan untuk membuat peta integritas ekologi hutan berdaun lebar di seluruh kawasan tropis.

 

Pohon dengan kanopi yang besar dan tua seperti ini adalah rumah bagi banyak spesies dan menyimpan karbon dalam jumlah besar. Foto: A.J. Hansen.

 

“Sistem pengukuran studi ini sederhana, lugas, mudah dipahami, memiliki cakupan pantropis. Indeks ini bisa digunakan oleh pembuat kebijakan untuk menyusun strategi konservasi di hutan-hutan yang tersisa,” ungkap Lourens Poorter, profesor ekologi hutan tropis di Universitas Wageningen di Belanda. Dia tidak terlibat dalam penelitian tersebut.

Namun, Poorter menyangsikan jika indeks FSII ini kedepannya cukup efektif digunakan sebagai indikator nilai ekologis penuh dari hutan. Sebutnya, FSII perlu dikembangkan para pihak lebih lanjut untuk menghitung kekayaan spesies, keberadaan endemik, atau potensi penyerapan karbon dan jasa ekosistem secara komprehensif, sehingga akan dapat dipakai untuk perumusan kebijakan.

“Karena hutan integritas tinggi dengan gangguan manusia yang rendah belum tentu jadi kawasan prioritas pelestarian,” ujarnya.

Para peneliti mengakui bahwa beberapa hutan dengan nilai konservasi tinggi, seperti hutan dataran rendah di Kalimantan dan Sumatera, tidak menjadi fokus kajian prioritas utama dalam studi ini.

 

Peneliti memetakan sebaran integritas struktural tinggi (hijau tua), kondisi struktural tinggi dengan gangguan manusia yang tinggi (hijau muda), dan kondisi struktural rendah (cokelat tua) di seluruh bioma hutan tropis. Gambar milik Hansen, A.J., Burns, P., Ervin, J. et al. (2020). Keterangan akronim: Forest Structural Integrity Index (FSII). Structural Condition Index (SCI)

 

Sepertiga hutan tropis sudah hilang

Terlepas dari pentingnya hutan tropis basah untuk keanekaragaman hayati, penyimpanan karbon dan perputaran siklus air, studi ini menemukan hanya kurang dari 10 persen dari hutan yang tersisa di bioma ini yang dilindungi secara legal. Aktivitas manusia telah merusak 33 persen bioma, 22 persen lainnya terdegradasi, dengan 13 persen masih dalam kondisi struktural yang baik, tetapi terancam oleh aktivitas manusia.

Pembukaan hutan antara periode 2013-2019 memang kecil terjadi di hutan dengan FSII tinggi, kemungkinan ihwalnya karena letaknya yang terisolir.

Namun, skema mega-rail dan jalan raya yang diusulkan di Amazon dan Kongo cepat atau lambat bakal memperluas akses kepada hutan, mengekspos deforestasi dan degradasi yang cepat. Jika ini terjadi, hutan tropis seperti Lembah Amazon akan menuju titik kritis yang tidak dapat dikembalikan kepada bentuk semula.

Para peneliti merekomendasikan agar pembuat kebijakan dan pengelola hutan menggunakan kerangka FSII yang dipadukan dengan analisis tingkat nasional, sehingga akan mencakup perlindungan bagi hutan yang saat ini dirasa kurang diprioritaskan.

“Penting sekali kita semua turut melestarikan hutan yang tersisa dan memfasilitasi restorasi melalui penanaman kembali hutan alam, termasuk di area-area pertanian dan lahan terlantar,” kata Poorter.

 

Kerangka kerja yang direkomendasikan untuk konservasi hutan tropis. Tampak empat strategi konservasi dan kriteria terkait untuk pemetaan, taktik pengelolaan, dan lokasi di seluruh bioma. Kriteria termasuk SCI, HFP dan status perlindungan. Gambar milik Hansen, A.J., Burns, P., Ervin, J. et al (2020).

 

Target Dunia 2050

Sebuah draf teks dari Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global pasca-2020 CBD telah dirilis bulan Januari dipersiapkan untuk menetapkan target 10 tahun ke depan dan tujuan jangka panjang hingga 2050. Dokumen ini diharapkan ditandatangani dan berlaku di Konferensi Biodiversitas UN, yang ditunda hingga 2021 karena pandemi virus corona.

Sebelumnya, menurut Global Biodiversity Outlook edisi kelima yang diterbitkan bulan ini, dunia telah gagal memenuhi satu dari 20 target keanekaragaman hayati yang ditetapkan oleh CBD Rencana Strategis Keanekaragaman Hayati yang dibuat pada tahun 2010.

Survei terbaru memberikan gambaran yang semakin jelas pada dunia tentang keadaan sistem alam planet pada tahun 2020 yang hasilnya kurang bagus. Kegagalan ini menunjukan pentingnya menetapkan target masa depan yang jelas, terukur, dan efektif.

“Studi ini sangat berguna untuk memprioritaskan dan mengevaluasi hasil konservasi hutan di daerah tropis,” ungkap Elizabeth Maruma Mrema, Sekretaris Eksekutif Konvensi Keanekaragaman Hayati.

“Pihak CBD didorong untuk menggunakan penelitian untuk merencanakan dan melaksanakan upaya konservasi hutan di tiap negara anggota. Juga untuk memberikan masukan bagi rumusan Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global pasca-2020.”

Mrema menambahkan bahwa diperlukan dukungan teknis dan finansial bagi negara-negara berkembang agar dapat memenuhi komitmen mereka dalam aspek keanekaragaman hayati, degradasi ekosistem, dan mengurangi perubahan iklim secara holistik.

 

Strategi konservasi pada skala yang lebih kecil telah dilakukan lewat keterlibatan para peternak yang keluarganya telah melindungi hutan primer di Orinoco, Kolombia selama sembilan generasi. Foto: A.J. Hansen.

 

Mempertahankan dan memperluas perlindungan

“Hasil studi ini memuat rekomendasi konservasi, dan turut mendesak agar negara-negara dapat memelihara perlindungan, menambah perlindungan hutan baru, mengurangi dampak merugikan oleh faktor manusia, dan memulihkan struktur hutan,” ungkap A.J Hansen.

Saran ini jelasnya, termasuk perlindungan baru untuk 41 persen dari kawasan hutan yang tersisa, restorasi aktif di 7 persen wilayah, dan pengurangan gangguan manusia di 19 persen dari bioma.

Keterlibatan masyarakat lokal dan adat pun penting sebagai penjaga kelestarian hutan tropis.

“Pengalaman kami di Amazon dan wilayah Choco di Kolombia, beberapa lokasi FSII tinggi paling penting berada di lahan yang dikelola oleh penduduk lokal,” kata Hansen. Sayangnya, kurangnya peta yang diterbitkan untuk tanah adat di banyak negara membuat tim belum dapat menyelidiki dampak ini secara mendalam dalam analisis mereka.

 

Citation:

Hansen, A.J., Burns, P., Ervin, J. et al. A policy-driven framework for conserving the best of Earth’s remaining moist tropical forestsNat Ecol Evol (2020). DOI: 10.1038/s41559-020-1274-7

 

Tulisan asli berbahasa Inggris: Less than half of worlds humid tropical forests have high ecological integraty, study. Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita

 

***

Foto utama: Hutan di TN Gunung Halimun-Salak. Foto dok: CIFOR via Flickr (CC-BY NC-ND 2.0).

 

Exit mobile version