Mongabay.co.id

Dengan Surya, Belasan Tahun Pesantren di Pulau Kecil ini Penuhi Energi secara Mandiri

 

Pondok Pesantren (Ponpes) Darussalam berada di Desa Saobi, Kecamatan Kangayan, Madura. Meski berada di Kabupaten Sumenep lokasinya tidak berada di daratan Madura, tapi di Pulau Kangayan. Untuk memenuhi kebutuhannya pengasuh pondok pesantren memenuhi kebutuhannya dengan listrik swadaya.

Untuk mencapai pulau ini setidaknya diperlukan belasan jam menyusuri samudera dengan kapal laut dari Kota Sumenep.  Kondisi geografis inilah yang membuat Saobi terlambat mendapatkan layanan listrik PLN.

Pada akhirnya memang listrik PLN mulai beroperasi beberapa bulan lalu, ia memanfaatkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berkapasitas 0,15 mW. Namun, tak urung banyak warga yang masih menggunakan jasa diesel milik perorangan.

“Dengan keterbatasan kadang orang jadi kreatif. Kalau serba ada malah tidak kreatif orang. Tidak tertantang,” jelas Herman Junaidi, pengasuh Pondok Pesantren Darussalam mengungkapkan filosofinya.

Herman juga seorang ASN di Dinas Pendidikan Sumenep sejak 2005. Dia alumni Prodi Pendidikan Fisika, Universitas Negeri Malang.

Dengan keterbatasan layanan listrik dari negara, Ponpes Darussalam yang Herman pimpin termasuk yang memilih gunakan listrik PLTS secara mandiri sejak belasan tahun lalu.

 

Berada di pulau kecil, Pondok Pesantren Darrsusalam memenuhi energinya secara mandiri. Foto: M Tamimi/Mongabay Indonesia

 

Pemanfaatan energi terbarukan itu pada awalnya diinisiasi oleh Suharto Noer, pengasuh Darussalam sebelumnya. Herman kemudian melanjutkan dan mengembangkan untuk berbagai keperluan pesantren.

Yayasan Darussalam sendiri membina tingkat pendidikan mulai Raudlatul Atfal (RA) sampai Madrasah Aliyah (MA). Rinciannya, Aliyah 82 siswa, MTs 110 siswa, Madrasah Ibtidaiyah sekitar 90 siswa, dan Atfal ada 60 siswa. Siswa MTs wajib mondok.

Herman masih ingat era sebelum Ponpes Darrusalam beralih ke PLTS dan masih gunakan diesel.  Dia cerita pernah membawa komputer tabung ke pesantren. Berhubung voltase listrik tak merata, komputer juga tidak stabil, akhirnya rusak. Komputernya pun hangus.

Tantangan tidak selesai sampai mereka punya sumber energi. Sejak pemberlakuan ujian nasional berbasis komputer (UNBK) oleh pemerintah, dia harus memutar otak mengatasi ini. Mau tidak mau, dia harus mengikuti kebijakan pemerintah.

Kalau tidak bisa ujian mandiri, santri di tingkat Aliyah itu harus ikut ke Arjasa, ke Pulau Kangean.

Perjalanan menuju Arjasa,  tidaklah semudah perjalanan di kota. Mereka harus gunakan perahu dengan jarak tempuh sekitar satu jam perjalanan. Setelah itu,  harus ikut taksi lagi dari Pelabuhan Songai Bato-Bato menuju lokasi.

Jangan bayangkan “taksi” seperti di kota-kota. Taksi yang mereka maksud adalah mobil pick up yang diberi atap bagian atas baknya. Belum lagi konsumsi ketika ada di tempat, akan memakan biaya banyak.

Herman pun berusaha untuk UNBK mandiri. Para santri ikut UNBK offline. Setelah ujian selesai, dia membawa sendiri server komputer ke Arjasa untuk menyinkronkan hasil ujian.

“Lebih baik satu orang ke Arjasa, ketimbang berpuluh-puluh siswa ke sana.”

Selama dua tahun Herman melakukan itu, Madrasah Aliyah Darussalam pun akhirnya bisa UNBK online.

Tapi itu pun butuh perjuangan. Dia bilang, bukan hal mudah kalau mau online, modem harus ditaruh di tempat tinggi dengan gunakan bambu supaya dapat sinyal. Hal ini karena tiang utama salah satu provider GSM ada di Desa Cellong, beberapa pulau dari Saobi.

 

Salah satu instalasi PLTS yang diusahakan oleh pondok pesantren. Sudah belasan tahun, Ponpes Darussalam menggunakan energi surya. Foto: M Tamimi/Mongabay Indonesia

 

 

Di tengah keterbatasan yang ada itu Herman pun terus berinovasi, dengan energi surya.

Awalnya PLTS Darussalam punya 20 panel, tetapi akhirnya hanya tersisa 12 panel, karena keterbatasan ketersediaan aki penyimpan daya. Herman pun mencari solusi, dia putuskan pakai aki mobil.

“Biasa 20 aki, cuma sekolah tidak mampu beli hingga pakai empat aki, 12 V dan 60 A,” kata guru fisika itu.

Instalasi energi surya pesantren ini kekurangan aki. Perlu 16 aki untuk kekuatan maksimal. Beberapa panel surya yang terpakai masih dia simpan. Kalau panel surya melebihi kapasitas aki, maka aki yang dipakai akan cepat rusak.

Saat ditanya darimana biaya untuk memenuhi kebutuhan itu, dia sebut pesantren membiayai sendiri berbagai keperluan itu.

“Ya, dari mana, kalau pakai bantuan itu kan bisa ‘kapan-kapan’, biaya sendiri lebih cepat,” katanya tertawa.

Dari menyiasati keterbatasan yang ada, Herman ingin anak-anak tidak putus asa. Bahkan bisa menarik hikmah, tidak selalu mengeluh, sebaliknya adaptif dan mampu berinovasi di tengah kesulitan.

Untuk itu, dia tak hanya berharap santri mereka hanya berbekal prestasi akademik tinggi. Tetapi juga punya keterampilan lain, semisal las dan menjahit.

“Anak-anak itu kan tidak bisa dicekoki dengan akademik semua, ada yang cerdas di keterampilan [termasuk teknologi EBT].” Herman sadar, tidak  semua santri memiliki prestasi akademik tinggi. Ada yang lemah di akademik tetapi punya keterampilan.

Perihal inovasi dan modifikasi, ada beberapa warga pesantren yang telah melakukan ini. Contohnya Syarifuddin, yang masih kerabat dekat Herman.

Ceritanya sekitar tahun 2005, pesantren pernah dapatkan bantuan pembangkit listrik tenaga angin, tetapi tak berjalan baik.  Kincir angin bantuan tidak bekerja maksimal, putarannya tidak cepat dan selalu berderit. Akhirnya, ia tidak digunakan lagi.

Inverter dan baterai yang ada, dia lalu alihkan ke PLTS untuk berbagai keperluan pesantren, baik pondok, mesjid dan sekolah. Kapasitas yang dihasilkan sekitar 3.000 Watt, yang dipakai untuk memenuhi kebutuhan air wudhu’. Mesin itu masih tetap terawat sampai kini.

Mun nika, engghi gunana ka pesantren sangat membantu [Ini sangat membantu pesantren],” kata Syarifuddin.

Di tengah infrastruktur yang terbatas, teknologi energi terbarukan amat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di wilayah terpencil seperti Pulau Kangayan. Terlebih itu, masyarakat harus mampu berinovasi dengan berbagai kondisi yang ada.

 

 

Exit mobile version