Mongabay.co.id

Ketika Petani Sawit di Lampung Mulai Beralih ke Tanaman Lain

 

 

 

 

Rumah kayu dari papan baru tampak baru selesai dibangun. Paku masih terlihat terserak. Rumah ini tak ada pembatas antara ruang tamu dan dapur.

Salman Ilyas dan istrinya, Rosmani, baru tiga bulan pindah ke Bengkunat, Pesisir Barat, Lampung. Mereka juga belum pasang listrik, baru ada aki mobil untuk sumber penerangan.

Pasangan ini mengaku betah tinggal di sini. Mereka bahkan berencana lebih sering tinggal di sini, meninggalkan rumah lama di kabupaten sebelah, Tanggamus.

Pada 2013, Rosmani sering sakit-sakitan. Bolak-balik ke rumah sakit sudah tak terhitung. Penyakit gula darah dan radang sendi di lutut, begitu kata dokter.

Setelah lama berobat, penyakit mulai berangsur pulih. Mereka punya kebun sawit sekitar satu hektar di Bengkunat. Merekapun bersepakat bermukim di dekat kebun itu.

Rosmani membantu suami mengelola kebun. Cara ini agar tubuh mereka tetap sehat meski usia telah memasuki kepala enam.

“Sekarang cuma modal semangat. Kalau tenaga, sudah tidak semuda dulu,” katanya.

Dengan punya rumah dekat kebun, mereka bisa memantau langsung kebun dari dekat. Kadang, mereka mendapati tandan sawit hilang. Kebun mereka terletak pas di depan jalan raya.

Setelah pindah, Salman memutuskan menebas batang sawit seluas satu hektar itu. Sekitar 140 batang sawit usia tujuh tahun itu dia habiskan.

Alasan Salman, harga sawit tak lagi bersahabat dan produksi tak kunjung menghasilkan. Dia ingin mencari peluang baru dengan nenanam tanaman lain.

Saat ini, Salman mulai menyemai pepaya, dan memesan bibit jeruk BW dari luar kota. Salman dan Rosmani berharap, garapan baru ini bisa membawa mereka kembali berangkat umrah.

“Sawit sudah nikmatin baru enam kuwintal satu hektar, sekarang mau ganti ke jeruk. Biar badan bisa gerak juga,” katanya, Minggu (13/9/20).

Salman tak serta merta meninggalkan sawit secara total. Dia pun menyemai benih sawit. Dia ingat betul peran sawit bagi kehidupan mereka. Dia bisa membuatkan rumah anak hasil keringat menanam sawit. Kala itu, lahan cukup luas, sekitar lima hektar. Kini sudah dia bagi-bagikan kepada ketiga anaknya.

Salman mengumpulkan puluhan biji sawit dari tanaman unggul untuk semai. “Ini mau dijambang, dari pohon yang nggak pernah ngetrek,” katanya, sambl memperlihatkan puluhan biji sawit yang tersimpan dalam karung.

Lahan Zuhron di Bengkunat, Pesisisr Barat, Dia tebangi tanaman sawit, dan ganti dengan tanaman lain. Foto: DIan Wahyu Kusuma

Zuhron. petani di Bengkunat, Pesisir Barat, hampir sama dengan Salman. Dia tebang sawit dan ganti tanaman lain.

Sejak 2016, Zuhron menebas batang-batang sawit berumur empat tahun, mengganti dengan pepaya. Zuhron bilang, belum sempat menikmati sawit itu tetapi memutuskan pindah pepaya jenis california. Alasannya, tiap pekan pepaya bisa panen dengan harga tinggi. Dalam seminggu dia bisa memanen pepaya, dan penampung hasil panen tak jauh dari rumahnya.

Dia merinci, kalau sawit, hanya 80 batang dengan jarak tanam 10×11 meter tak masuk penghitungan untung. “Perhitungannya gak masuk kalau nanem sedikit. Kates harga Rp1.500 per kg, per minggu bisa dapat Rp1 juga sudah positif. Kalau sawit tadi belum tentu,” katanya.

Tak semua petani sawit di Bengkunat, beralih. Beberapa petani tetap ingin mempertahankan sawit. Anwarsyah dan istrinya, Rikawati, salah satunya. Mereka masih tetap mempertahankan sawit warisan dari orangtuanya seluas dia hektar.

Anwar bercerita, pernah bekerja di perusahaan perikanan dan perkebunan sawit hingga mengerti perawatan sawit. Sedikitnya dua tahun sekali dia memberi tiga jenis pupuk pada piringan sawit. Urea, Npk, SP36 menjadi bagian pupuk sawit. “Harusnya lima jenis pupuk, tapi karena petani rakyat tidak mampu beli pupuk seperti di perusahaan,” katanya.

Kemudian perawatan di sekitar batang sawit, penebasan batang sawit juga rutin. Karena perawatan intensif, Anwar bisa mendapatkan rata-rata dua ton per hektar sawit.

“Kami pernah dapat lima ton per hektar,” katanya, sambil melihat sawit berusia delapan tahun di kebunnya.

Meskipun begitu, cuaca juga menentukan. Kemarau panjang tahun lalu, membuat beberapa tanaman sawit tak menghasilkan buah utuh. Petani menyebutnya dengan istilah nge-trak.

Mengganti tanaman sawit tak hanya di Bengkunat, juga di desa lain di Lampung. Edi Sutopo, petani Desa Sribasuki, Kecamatan Kalirejo, Lampung Tengah, juga ganti kebun sawit jadi sawah tadah hujan.

Dia sudah dua musim tanam padi ini. Alasannya, produksi sawit umur tujuh tahun itu tak serenyah menanam padi.

Dia membandingkan, bila menanam padi bisa mendapat rata-rata Rp1 juta per bulan per hektar, sementara sawit belum tentu.

Edi juga nenambah penghasilan dengan budidaya ikan air tawar di samping tanaman padinya.

Ada juga Sri Lestari, petani perempuan di Desa Sidoluhur, Lampung Tengah. Baru setahun ini, dia mengganti sawit dengan jagung. Sawit berumur 10 tahun di lahan satu hektar itu dia pangkas pelepahnya.

“Buahnya jarang, kadang panen kadang gak. Ada yang lebet ada yang ga ada buahnya. Sekarang jagung aja, udahlah sawit mah,” kata Sri.

Dia cerita, sawit sekali panen dalam 20 hari bisa mendapat Rp200.000. “Dulu pernah dapat Rp500.000 sekali panen, kalau begitu terus gak mikir mau nebang sawit.”

Nuryadi , suami Sri mengatakan, hasil satu hektar sawit tidak bisa diandalkan. “Mau kredit motor saja ga bisa buat cicilannya,” katanya.

 

Kebun sawit berganti jadi jagung di Bangun Rejo, Lampung Tengah. Foto: Lutfi Yulisa.jpg

 

Sri bercerita, kala menanam sawit dengan konsep kemitraan, semua buruh panen dari pabrik desa sebelah. Sejak menanam jagung, dia bisa membantu memberikan lapangan kerja bagi tetangga. Mulai dari upah buruh tanam, pupuk, sampai panen.

Dia bisa mempekerjakan 10 tetangga saat menanam dan memanen jagung dengan upah Rp50.000 per hari. “Alhamdulillah, sejak ditanamni jagung, orang sini diajaki semua, tadinya gak bisa mau kasih orang-orang. Sekarang, ngajak orang ke kebun, bisa ngasih.”

Sri yang akan mengantarkan makanan siang bila 10 pekerja sedang menggarap kebun. Sebanyak lima kg beras, lauk, dan kerupuk dia siapkan sedari pagi. Menu makanan ringan, roti, keripik serta kopi dan teh menjadi pelengkap bila pekerja beristirahat.

Sigit Wahyudi, petani di Lampung Tengah memutuskan hal sama dengan Sri. Pada 2018, merupakan taun terakhir dia memanen sawit . Sekarang, Sigit fokus tanam jagung. Dia bilang, perawatan kurang intensif pada sawit menyebabkan produksi tidak lagi bagus.

Apalagi, katanya, sawit terserang jamur ganoderma. Dia pun memilih mengganti sawit yang berusia 24 tahun itu dengan jagung. Jagung yang dia tanam itu bukan untuk diambil buahnya, melainkan untuk pakan ternak sapi. Jagung untuk ternak bisa panen dalam dua bulan. Dalam 1,5 hektar, dia bisa mendapat keuntungan bersih Rp15 juta.

Dengan kondisi cuaca, Sigit hanya bisa menanam jagung selama tiga kali dalam setahun.

Puji Winarno, Kepala Desa Sidoluhur, Kecamatan Bangun Rejo, Lampung Tengah mengatakan, sawit di wilayahnya rata-rata memasuki usia peremajaan karena tanam pada 1993. “Jadi, sekarang sudah layak diganti.”

Menurut dia, produksi sawit dari 500.000 di desanya menurun karena usia sawit sudah tua. Puji bilang, 60% dari 1.400 keluarga di desa itu jadikan sawit tanaman utama.

Sebagian petani sawit ada yang memanfaatkan program peremajaan sawit, sebagian lagi memilih beralih tanaman.

Petani yang memiliki lahan sempit banyak beralih ke tanaman lain, karena untuk peremajaan sawit harus menunggu sampai sawit berproduksi lagi 4-5 tahun.

Dia menilai, saat ini harga sawit tak jadi masalah karena bisa Rp1.200 per kg. Meski empat tahun belakang harga pernah anjlok ke Rp600 per kg. Harga tertinggi sawit pernah mencapai Rp1.800-Rp2.000 per kg.

“Rata-rata harga gak jadi masalah, saat panen raya harga biasa memang anjlok”

Khusus batang sawit yang ditebang, petani bisa menjual Rp500per batang untuk jadi gula sawit. Batang sawit yang ditebang, diambil air atau nira pada ujung daun mudanya setiap hari. Proses pengambilan air ini bisa mencapai satu bulan penuh.

 

Edi Sutopo, ganti sawit dengan padi. Foto: Dian Wahyu Kusuma

 

Perhatikan aspek berkelanjutan

Putra Agung, Team Manager, Palm Oil, Rainforest Alliance mengatakan, kepemilikan lahan petani beragam antara 0,5–2 hektar. Banyak studi terkait ini dan banyak yang menyebutkan bahwa ideal petani mengelola lahan sawit seluas 2-4 hektar bahkan lebih.

Namun, katanya, tentu saja luasan ideal ini dipengaruhi oleh banyak hal seperti jumlah tenaga kerja di dalam satu keluarga, agri-input dan lain-lain. Yang akhirnya, semua itu akan menentukan produktivitas.

Menyoal berapa ideal lahan sawit warga supaya petani bisa bertahan di tengah gejolak harga tandan buah sawit, Putra menilai, ideal bisa diinterpretasikan bermacam-macam tergantung faktor-faktor pendukung. “Yang paling penting untuk diketahui oleh petani adalah perlu aspek berkelanjutan untuk dalam pengelolaan kebun sawit mereka.”

Dia bilang, sawit berkelanjutan tidak hanya merujuk kepada lingkungan, juga usaha kebun mereka. Sebagai unit bisnis keluarga, hendaknya dapat memberikan keuntungan kepada petani pengelola.

Menurut dia, banyak cara bisa ditempuh, seperti mulai mengenalkan petani swadaya kepada praktik sawit berkelanjutan lewat peembenahan tata kelola, kelembagaan dan lain-lain.

Kemudian, bisa dengan mengikuti skema sertifikasi untuk petani swadaya seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) maupun Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Berbagai upaya ini, katanya, guna mengupayakan pengelolaan kebun sawit petani swadaya memenuhi standar lingkungan, sosial dan ekonomi. Juga membuka ruang lebih besar bagi produksi sawit petani swadaya bisa diterima pasar lebih luas.

Kala petani beralih dari sawit pun, kata Putra, perlu memperhatikan pemilihan tanaman dengan pertimbangan ekonomi juga lingkungan. Kalau sawit, katanya, sebagai tanaman monokultur dapat dipastikan memberikan dampak terhadap biodiversitas dan lain-lain.

“Kalau bisa tanaman yang akan jadi pengganti sawit yang memang teknik budidaya sudah dikuasai dengan baik oleh petani. Selain kalau ingin memperbaiki kualitas lingkungan, komposisi tanaman multi-strata seperti agroforestri bisa jadi alternatif terbaik.”

 

Petani sawit di Lampung Tengah, menanami kebun dengan tanaman lain seoerti jagung. Foto: Dian Wahyu Kusuma

 

Produksi turun

Kala melihat data, terjadi tren penurunan produksi sawit di Lampung. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung menunjukkan, pada 2015 produksi sawit 546.242 ton, pada 2016 turun jadi 398.539 ton. Kemudian 2017, turun lagi jadi 194.324 ton dan 2018 tinggal 190.339 ton.

Angka penurunan tertinggi terjadi di Kabupaten Pesisir Barat, dari 20.282 ton pada 2016 jadi 5.811 ton pada 2018. Di Lampung Tengah, dari 109.725 ton pada 2016 jadi 43.553 ton pada 2018.

Penurunan produksi sawit itu, menurut R Hanung Ismono, peneliti Sawit Rakyat Universitas Lampung, karena petani sawit rakyat beralih ke tanaman lain. Lahan petani terbatas, sisi lain sebagian petani menunggu proses peremajaan sawit dari program pemerintah.

Menurut Hanung, umumnya umur tanaman sawit di Lampung di atas 20 tahun. Umur sudah tua, produksi sawit pun menurun. Beberapa tanaman sawit juga memiliki batang terlalu tinggi, pada proses pemanenan membuat tandan buah rusak hingga mempengaruhi kualitas.

Selain itu, sawit juga rentan terserang hama seperti jamur genoderma dan kumbang tanduk kalau tumpangsari dengan tanaman lain. Saat peremajaan, banyak petani membuat tumpang sari dengan singkong atau tanaman lain. Hal ini, katanya, kurang efektif karena bisa menyebabkan jamur menyerang tanaman sawit.

Serangan hama ini, katanya, juga masif terjadi karena di Lampung, pernah ada program integrasi sawit dengan pengembalaan sapi. Sapi di kebun sawit itu menghasilkan kotoran yang tertinggal di kebun, hingga menginisiasi jamur ganoderma dan kumbang tanduk (Oryctes rhinoceros).

Bila sawit terserang jamur ganoderma, tanaman jadi tidak berkembang maksmimal. Selanjutnya, kumbang tanduk yang hinggap di batang sawit makin berkembang biak dan menyebar ke tanaman sawit lain yang masih sehat.

Alih-alih ingin mendapat hasil dari peremajaan sawit, petani malah mendapat tanaman sawit terserang penyakit.

Dia menyarankan, bila hendak tumpang sari, petani bisa menanam jenis kacang-kacangan, karena bermanfaat bagi sawit sebagai sumber Nitrogen (N) yang baik bagi sawit.

“Sawit mengerjakannya mudah, kalau gak ada penyakit bisa 20 tahun panen. Sebulan dua kali panen, waktu luang petani bisa buat untuk usaha bisnis yang lain,” kata Hanung.

Dia menilai, sawit bisa jadi tanaman jaring pengaman ekonomi keluarga. Dalam setahun, sawit bisa panen 10 bulan dengan asumsi dua bulan tidak berbuah (ngetrek).   “Minimal memiliki 4-5 hektar tanaman sawit sudah aman, bisa menyekolahkan anak.”

 

Petani Nuryadi, di Bangunrejo, Lampung Tengah, juga menyela tanaman sawit dengan jagung. Foto: DIan Wahyu Kusuma

 

Peremajaan lambat

Bicara sawit rakyat, Jabuk, Kabid Produksi Dinas Perkebunan Sawit Lampung mengatakan, produksi menurun bisa terjadi karena banyak sebab, antara lain pemeliharaan tidak intensif, juga umur tanaman sudah tidak produktif lagi.

Pada 2019 dan 2020, sudah ada 507 pekebun dengan luas lahan 2.591 hektar mengajukan peremajaan sawit dari target 3.500 hektar.

Dia bilang, ada bantuan Rp25 juta per hektar untuk program peremajaan, yakni persiapan buka lahan dan penanaman bibit sawit. Bantuan itu masih kurang. “Masih kurang Rp25 juta lah.” Kekurangan dana itu, katanya, bisa ajukan kredit usaha rakyat (KUR) sektor pertanian.

Syarat ketentuan sawit sudah tua dan tak produktif lagi harus peremajaan.  Bantuan bisa melalui kelompok tani, mereka bersama-sama minimal 50 hektar. “Bisa saja dikelola petani, targetnya tanaman kebun jadi.”

Hanung menambahkan, tanaman sawit di Lampung perlu peremajaan. Rata-rata tahun tanam sawit petani mandiri dan mitra sekitar 1996 alias sudah 24 tahun.

Sayangnya, kata Hanung, upaya peremajaan sawit di Lampung terbilang lambat. Pencairan dana peremajaan sawit dari Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) di Lampung, masih belum begitu besar.

“Saya gak ngerti kenapa proses peremajaan sawit di Lampung berlangsung lambat.” Satu kendala peremajaan sawit, katanya, kemungkinan karena lahan rakyat berpencar-pencar.

Bila petani mendapatkan program peremajaan, katanya, petani bisa mendapatkan benih unggul bersertifikat.

Perkebunan sawit swadaya di Lampung, sekitar 60% petani mandiri, sisanya, petani mitra. Rata-rata pengusahaan lahan sawit mandiri terbesar yakni di Kabupaten Pesisir Barat sebesar 3,52 hektar, dan terkecil di Lampung Selatan 2,02 hektar.

Menurut dosen agribisnis ini, antusiasme peremajaan sawit di Lampung termasuk tinggi sebesar 64,78%. Kemudian, kesiapan petani sawit rakyat dalam peremajaan sampai 76%.

Namun, katanya, kinerja pelaksanaan peremajaan sawit masuk kategori sangat rendah. Data 2019, target peremajaan kebun sawit 9.685,25 hektar, luas kebun yang memperoleh rekomendasi teknis dari Direktorat Jenderal Perkebunan, baru 186,57 hektar dari 101 keluarga.

“Hampir di setiap daerah, petani menginginkan segera peremajaan sawit, tapi hasil survei saya, petani belum bisa menjangkau program itu,” kata Hanung.

Dia menyarankan, perlu penambahan anggaran peremajaan sawit petani. Biaya Rp25 juta per hektar dari peremajaan sawit masih kurang. “Petani menambah biaya replanting cukup berat.”

 

 

*Dian Wahyu Kusuma, jurnalis Lampung Post. Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia

 

Keterangan foto utama: Salman Ilyas dan Rosmani, yang menebang tanaman sawit di kebun mereka, dan akan menanami dengan beragam tanaman, dari pepaya, jeruk BW dan sawit. Foto: Lutfi Yulisa

 

Exit mobile version