Mongabay.co.id

Para Penyelamat Penyu di Pesisir Selatan yang Keluarkan Kocek Sendiri untuk Konservasi

Tukik yang dilepasliarkan di Pantai Sodong, Adipala, Cilacap. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Ahmad Munajat masih ingat, bagaimana penyu-penyu cukup banyak terlihat di muara Kalibuntu sekitar Pantai Jogosimo di Kecamatan Klirong, Kebumen, Jawa Tengah. Di tahun 1980-an, penyu terutama jenis Lekang (Lepidochelys olivacea), masih cukup banyak terlihat Pantai Jogosimo. Kemudian tahun 1990-an mulai berkurang dan sejak tahun 2000-an, semakin hilang. Penyu, oleh warga sekitar disebut dengan nama “Pasiran”. Penduduk setempat umumnya akan mengambil telur-telur penyu pada saat musim bertelur mulai bulan Juli hingga September.

“Sewaktu saya kecil, masih dapat melihat penyu-penyu di kawasan Pantai Jogosimo. Namun, sejak dua dekade lalu, penyu-penyu mulai menghilang. Mungkin salah satu faktornya adalah diambilnya telur-telur penyu, sehingga siklus hidupnya terputus dan tidak sampai menetas menjadi tukik,”kata Munajat.

Sebagai warga asli Desa Jogosimo, Munajat galau melihat kondisi penyu yang makin hari kian tak terlihat. Keprihatinan itu yang menjadikan Munajat bergerak bersama Kastam. Keduanya mengajak teman-teman lainnya untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat pesisir agar tidak mengambil telur penyu. “Setiap penyu bertelur itu jumlahnya ratusan, kisarannya 125-an telur dalam satu sarang. Padahal, ketika mendarat ke pantai sekitar April hingga September, setiap malamnya dapat ditemukan 4-5 sarang,”ujarnya.

Masyarakat kerap mengambil telur-telur tersebut untuk kemudian dijual. Mereka yang membeli biasanya mengonsumsi, tetapi ada juga yang digunakan semacam obat kejantanan laki-laki, meski belum pernah ada bukti secara ilmiah. Harganya berkisar antara Rp1.500 hingga Rp5.000 per butir. Kalau menemukan  10 telur saja, dapat mengantongi hingga puluhan ribu.

“Pelan-pelan kami mensosialisasikan kepada masyarakat agar kalau menemukan telur diserahkan kepada saya atau Pak Kastam. Mereka memang tidak mejual, tetapi saya mengganti dengan uang pribadi. Biasanya, dalam setiap masa bertelur, kami mengeluarkan uang hingga Rp1 juta guna ongkos pengganti mereka yang menemukan telur penyu. Karena memang jual beli telur penyu dilarang,” jelasnya.

Munajat mengatakan setelah dikumpulkan, pihaknya kemudian membawa telur-telur tersebut ke lokasi khusus yang disiapkan untuk menetaskan telur penyu. “Kami menetaskan di lingkungan yang terlindung dari serangan predator maupun mereka yang akan mengambil telur penyu. Untuk menetaskan telur penyu menjadi tukik membutuhkan waktu antara 40-70 hari. Sejak kami terjun menetaskan telur-telur penyu, telah tiga kali menetaskan dan kemudian melepasliarkan tukik,” ujarnya.

baca : Ini Kisah Warga Jogosimo Penyelamat Telur Penyu hingga Menetas Jadi Tukik

 

Ahmad Munajat bersama Kastam melakukan proses penetasan. Foto : Kelompok Pelestari Alam Jogosimo

 

Bentuk Kelompok

Langkah Munajat bersama dengan Kastam terus berjalan, bahkan mereka bersama dengan warga lainnya sepakat untuk membentuk kelompok. “Pada 18 Mei 2019, kami membentuk Kelompok sadar Wisata (Pokdarwis) Gajah Gunung. Tugas intinya adalah menyelamatkan telur-telur penyu dari ancaman predator dan manusia. Kemudian dievakuasi ke tempat yang aman untuk ditetaskan hingga menjadi tukik. Pada saat ditempatkan di lokasi yang aman, kami mengadakan ronda untuk pengamanannya,”ujarnya.

Sejak kiprah konservasi yang dimulai awal 2018 lalu, sudah tiga kali melaksanakan pelepasliaran tukik. Pada Agustus 2018 lalu, untuk pertama kalinya, kelompok tersebut menetaskan 87 telur dan yang menjadi tukik sebanyak 67 tukik. Puluhan tukik tersebut kemudian dilepasliarkan di Pantai Jogosimo. Pelepasliaran yang kedua menciptakan rekor. Sebab, ada 1.250 tukik yang dilepasliarkan. “Memang waktu itu sangat banyak, karena kami menemukan sarang cukup banyak juga. Sehingga begitu menetas, ternyata ada 1.250 tukik. Pelepasliarannya dilaksanakan pada Agustus 2019,”katanya.

Sedangkan pelepasliaran tahun 2020 telah dilaksanakan beberapa kali. Yakni pada Agustus lalu ada 250 tukik yang dilepasliarkan bersama dengan Wakil Bupati Kebumen Arif Sugiyanto. Kemudian ada juga anak-anak yang melepasliarkan 7 tukik. Dan pada September ini, ada pelepasliaran bersama Komandan Kodim (Dandim) 0709 Kebumen sebanyak 50 tukik.

“Mulai bulan Agustus, kelompok kami juga berubah. Sebab, ada yang keliru pada awal pembentukan kelompok. Meski inginnya kami adalah konservasi, namun malah membentuk Pokdarwis. Pada Agustus lalu, Pokdarwios Gajah Gunung berganti nama menjadi Kelompok Pelestari Alam Jogosimo. Hal ini dilakukan karena fokus kami memang pada konservasi,”ujarnya.

baca juga : Menikmati Keindahan Pantai Selatan, dari Geowisata hingga Konservasi Penyu Lekang

 

Tukik menuju laut bebas di Pantai Sodong, Cilacap. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Bagaimana dengan pembiayaan?

“Selama ini, kami membiayai diri sendiri untuk konservasi penyu. Sejak awal sampai sekarang, kami harus mengeluarkan uang untuk mengganti telur penyu yang ditemukan oleh warga baik itu nelayan maupun masyarakat biasa. Selain itu, kami juga harus membiayai pemeliharaan selama tukik berada di tempat penampungan sementara. Kalau hitung-hitungan jelas rugi. Namun, sejak awal, kami telah bertekad untuk menyelamatkan penyu. Sehingga apapun yang terjadi harus jalan.”

Akhirnya, kata Munajat, Kelompok Pelestari Alam Jogosimo mempunyai jalan. Yaitu, bagaimana caranya memadukan wisata dengan konservasi. Ia menyebutnya dengan eduwisata. “Contohnya sudah dipraktikkan. Jadi, pelepasliaran7 tukik yang dilakukan anak-anak sebetulnya merupakan program dari eduwisata. Kami memiliki dua paket yakni paket Rp50 ribu dan Rp75 ribu dengan melepasliarkan tukik. Tarikan uang tersebut bukan untuk membeli tukik, melainkan membeli snak dan makanan serta penyeberangan di Pantai Jogosimo. Salah satu kegiatan konservasinya adalah melepas tukik,”katanya.

Sampai sekarang, Kelompok Pelestari Alam Jogosimo masih memiliki 250 tukik di tempat penampungan sementara. Ratusan tukik yang ada di tempat penampungan sementara tersebut. Tukik-tukik yang di tempat penampungan masih berusia antara 1-3 minggu, sehingga masih menunggu agak besar lagi. Selain itu, juga untuk jaga-jaga kalau ada yang akan melepasliarkan. “Bagi pelajar dan mahasiswa yang datang ke Jogosimo, akan mendapatkan informasi mengenai dunia penyu,”ujarnya.

Menurut Munajat, Kelompok Pelestari Alam Jogosimo telah resmi menjadi kelompok konservasi binaan dari Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Jateng. “Kebetulan beberapa waktu lalu, BKSDA melihat aktivitas kami dan ikut ronda selama dua hari di Jogosimo. Alhamdulillah, saat sekarang kelompok kami telah resmi menjadi kelompok konservasi yang dibina oleh BKSDA Jateng,”katanya.

baca juga : Enam Penyu Mendarat di Perairan Cilacap dalam Kondisi Mati, Ada Apa?

 

Areal digunakan untuk tempat penetasan telur penyu. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Gerakan di Cilacap

Kisah Munajat itu juga ada di Cilacap. Adalah Jumawan, warga di Desa Karangbenda, Kecamatan Adipala. Jumawan yang kini memimpin Komunitas Konservasi Penyu Nagaraja, Cilacap. Kiprahnya dimulai pada 2019 lalu. Keprihatinan menjadi alasam utama bagi Jumawan untuk terjun menyelamatkan penyu. Caranya adalah dengan mengevakuasi telur-telur penyu yang kerap menjadi incaran orang dan predator.

“Bagi masyarakat nelayan di sini, telur penyu yang diperoleh sebagai pengganti ketika tidak dapat tangkapan saat melaut. Kalau ketemu telur, mereka menjulanya dengan harga Rp2.000 hingga Rp5.000 per butir. Ini memang memprihatinkan,”katanya.

Hingga satu ketika, tepatnya Juni 2019 silam, beredar informasi mengenai jual beli telur penyu di Cilacap secara daring atau online. “Tanpa pikir panjang, saya mencari penjualnya. Waktu ditawarkan di media sosial, ada 100 butir telur penyu. Namun, sesampai di tempat, ternyata sudah laku. Saya hanya mendapatkan 50 telur penyu. Saya langsung bayar. Kemudian telur-telur itu saya sembunyikan di salah satu tempat yang aman dari predator maupun manusia. Saya membuat lubang dengan kedalaman 40 cm sebagai tempat penetasan,”kata Jumawan.

Ia mengaku mengambil uang sendiri untuk membayar telur-telur yang ditemukan para nelayan. “Kasihan juga jika tidak ada uang pengganti. Apalagi, nelayan di sini waktu itu menyatakan kalau telur “pasiran” (sebutan untuk penyu), itu juga merupakan rezeki pada saat nelayan tidak memperoleh ikan saat melaut,”ujarnya.

Jumawan mengakses internet untuk mendapatkan pengetahuan mengenai cara-cara menetaskan telur menjadi tukik. Dari 50 telur yang ditetaskan, ada 33 telur yang dapat menetas menjadi tukik. “Ada rasa bahagia pada saat saya bisa menetaskan telur menjadi tukik. Apalagi, menunggunya dari telur sampai menetas membutuhkan waktu sekitar 45 hari. Begitu menetas, saya menunggu beberapa saat agar tukik agar besar. Pada September 2019, kali pertama kami melepasliarkan tukik di Pantai Sodong, Kecamatan Adipala, Cilacap,”kata dia.

Setelah pelepasliaran itu, Jumawan menginisiasi pembentukan kelompok konservasi penyu di Cilacap. Akhirnya, terbentuklah Komunitas Konservasi Penyu Nagaraja pada akhir 2019 lalu. “Kegiatannya sama saja, bagaimana menyelamatkan telur-telur penyu dari predator maupun manusia. Pada pekan lalu tepatnya pada Senin (14/9) lalu, kami kembali melepasliarkan sebanyak 142 tukik. Kami akan terus berjalan dan telah mendapat dukungan dari berbagai pihak,” ungkap Jumawan.

menarik dibaca : Pulau Langkai, Surga Penyu yang Terlupakan

 

Tukik menuju laut bebas di Pantai Sodong, Cilacap. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Diapresiasi

Ahli Biologi Laut Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Romanus Edy Prabowo mengungkapkan bahwa pesisir Laut Selatan di wilayah Cilacap, Kebumen, Purworejo dan sekitarnya memang menjadi habitat bagi penyu.

“Berdasarkan tipologi pantai serta catatan ilmiah maupun cerita masyarakat, kawasan pantai dari Pangandaran di Jabar, Cilacap, Kebumen hingga Purworejo, merupakan tempat pendaratan bagi penyu ketika nesting. Tipologi pantai pasir yang bersih dan terbuka, tenang dan gelap menjadi syarat bagi penyu ketika bertelur. Penyu nesting pada malam hari, harus gelap tidak ada cahaya buatan. Penyu mengandalkan cahaya alam yang terpantul di permukaan laut. Ketika ada kehadiran manusia, bisa jadi penyu batal bertelur,”jelas Romanus.

Dengan semakin ramainya pantai dan semakin banyaknya cahaya buatan, maka berdampak pada populasi penyu. “Berdasarkan sejarah dan catatan ilmiah, penyu pernah sangat banyak di alam. Tetapi dalam 100 tahun terakhir, penyu kian lama semakin turun populasinya. Dugaan kuat faktornya adalah adanya permintaan daging penyu, telur, cangkang yang eksotis meningkatkan peruburan penyu. Ini berdampak pada populasi penyu yang merosot sangat tajam,”katanya.

Menurutnya, tanpa gangguan saja, daya “survive” penyu sebetulnya cukup rendah. Jika telur dan penyu dewasa terancam karena perburuan, maka tukik atau anakan penyu juga banyak ancamannya. Misalnya, pada saat menetas, tukik harus berusaha keluar secara bersama-sama dari dalam pasir. “Di sisi lain, tukik juga terancam oleh predator laut,”ujarnya.

Ia mengapreasiasi yang dilakukan beberapa komunitas di pesisir selatan yang telah peduli terhadap konservasi penyu. “Saya kira, yang dilakukan komunitas sangat penting untuk penyelamatan telur penyu sampai menjadi tukik, kemudian  dilepasliarkan. Gerakan konservasi ini perlu didukung oleh semua pihak, baik perusahaan maupun perguruan tinggi. Dengan adanya komunikasi antarkomunitas dan pihak lain maka akan terjalin sinergi. Perguruan tinggi dapat memberikan pendampingan dan perusahaan-perusahaan bisa memberikan bantuan untuk konservasi penyu,” tambahnya.

 

Exit mobile version