Mongabay.co.id

Pemanaran, Semangat Kolektif, dan Lahirnya Pengakuan Hutan Adat Orong

 

Dengan bangga Musmulyadi menunjukkan hamparan sawah dan hutan yang membentang di depannya. Area itu diapit pegunungan yang memenuhi seluruh pandangan mata. Lokasinya berada di lereng pegunungan, sebagian hutan itu tak terjamah semua dijaga melalui mekanisme adat yang ketat.

Kawasan hutan adat ini dimiliki oleh masyarakat adat Orong. Komunitas ini berada di Kecamatan Malua, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Areanya membentang di dua desa, yaitu Desa Buntu Batua dan Rante Mario.

Musmulyadi bercerita sejak ditetapkan sebagai hutan adat oleh pemerintah, hutan tersebut dijaga dan dikelola masyarakat melalui fungsi produksi dan lindung.

“Luas hutan adat yang ditetapkan pemerintah sekitar 84 hektar, di mana kita dorong [untuk] fungsi produksi dan fungsi lindung. Fungsi produksi fokus pada kawasan Area Penggunaan Lain (APL) seluas 64 hektar, sementara sisanya 34 hektar sebagai fungsi lindung.”

Di luar wilayah itu, hamparan sawah seluas 300 hektar yang membentang pun dikelola secara kolektif melalui mekanisme adat yang disebut pemanaran.

Untuk pengelolaan hutan adat, Kelembagaan Adat Orong, pemerintah desa, dan Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) membentuk kelompok yang dinamai KUPS Bawanna Orong yang beranggotakan 25 orang. Anggota kelompok, dipilih melalui musyawarah adat.

 

Musmulyadi menunjukkan kawasan Hutan Adat Orong yang telah mendapat pengakuan pemerintah sejak 2018 silam. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

“Anggota kelompok kita pilih dari masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan.  Karena masih percontohan kita berdayakan dulu masyarakat yang tinggal sekitar hutan, karena aksesnya dekat dan mereka paham dengan kondisi yang ada di hutan adat,” jelas Musmulyadi yang juga salah satu tokoh adat Orong ini.

Hingga saat ini luas lahan yang telah dikelola kelompok seluas 7 hektar ditanami pala dan durian. Bibitnya disediakan oleh BPSKL. Pala dan durian dipilih karena dianggap cocok dengan kondisi lahan setempat.

“Sebenarnya pengelolaan hutan sudah ada sebelum SK Hutan Adat ini terbit. Sudah digarap oleh masyarakat adat, bahkan di fungsi lindung sudah ada pemiliknya.”

Tanaman lain yang telah dibudidayakan warga adalah cengkeh dan kopi, namun cengkeh hilang tergantikan pinus. Kopi tersisa sedikit saja.

Cengkeh dalam perjalanan waktu tidak lagi jadi pilihan warga, karena dalam jangka panjang tanaman ini rawan penyakit. Demikian juga dengan kopi, -yang sistem perakarannya tidak panjang, sehingga dikhawatirkan dapat mengganggu kelestarian tanah.

“Pala dan durian dianggap bagus dan prospektif, pala pohonnya kokoh dan panjang. Jati putih juga ditolak karena ketika besar nanti akan ditebang juga hasilnya.”

Hutan Adat Orong sendiri telah diakui dan ditetapkan pemerintah pada 10 Juli 2018 silam yang diserahkan langsung oleh Presiden Jokowi. Sebelumnya, komunitas ini mendapat pengakuan sebagai masyarakat adat oleh Pemda Enrekang melalui Surat Keputusan Bupati No. 159/Kep/II/2018 tentang Pengakuan Terhadap MHA Orong Kabupaten Enrekang.

Sejak penetapan hutan ini, menurut Musmulyadi, ia mendapat tanggapan positif dari masyarakat. Ia dirasa dapat memberi rasa aman dan nyaman bagi masyarakat mengelola lahan. Tak seperti sebelumnya, saat masyarakat harus ‘kucing-kucingan’ dengan pihak kehutanan.

“[Meski] belum pernah ada yang ditangkap atau dipenjara, namun pernah ada warga yang dipanggil ke ibukota kabupaten untuk diperiksa. Itu kan menimbulkan rasa waswas bagi warga untuk beraktivitas di kebun mereka.”

Basri, Kepala Desa Buntu Batua, termasuk tokoh yang berperan dalam proses pengakuan ini. Dia bilang Hutan Adat harus terus diberi dukungan.

“Kami bantu fasilitasi ke masyarakat terkait prosedur hutan adat dan pentingnya pengakuan ini. Kita sampaikan hutan dikelola tetapi fungsi hutan harus tetap dijaga.”

Pemerintah Desa Buntu Batua dan Rante Mario sendiri sedang membentuk Badan Usaha Masyarakat Adat (BUMA) sebagai upaya fasilitasi pemasaran produk-produk yang dihasilkan dari hutan adat.

“Tujuannya agar ke depan pengurus BUMA bisa mewadahi aktivitas masyarakat adat. Komoditas hasil bumi dijual ke BUMA jadi masyarakat tak susah lagi menjual. Keuntungan BUMA nanti bisa digunakan untuk pengembangan kelembagaan adat dan masyarakat, termasuk bangun irigasi dan embung.”

 

Bagan silsilah 13 Batu Ariri (unit adat). Pembagian ini terutama digunakan dalam hal pengelolaan tanah pusaka yaitu lahan sawah seluas 300 hektar. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Pemanaran sebagai Sistem Kelola Kolektif Persawahan

Kelembagaan adat Orong sendiri sudah ada sejak dahulu dan masih eksis hingga sekarang, termasuk perangkat-perangkat dan mekanisme pengelolaan kawasannya.

Kelembagaan adat Orong disebut Malepongna Bawangna Orong, yang bisa diartikan ‘keseluruhan semua apa yang ada di dalam baik dari segi wilayah, kekayaan alam sampai penduduk Orong’. Dalam bahasa setempat Orong berarti ‘dirangkul’.

Menurut sejarah, leluhur Orong bernama To Malangke. To Malangke melahirkan dua anak, salah satunya bernama Tu’tu. Keturunan Tu’tu inilah yang kemudian berkembang di wilayah Orong.

Tu’tu punya 4 anak yang menjadi cikal bakal berdirinya Batu Ariri (unit adat) di Orong, yaitu Pagaunang, Paurunan, Parinding, dan terakhir Matali.

Dalam perkembangannya, keempat kelembagaan Batu Ariri ini berkembang menjadi 13 Batu Ariri. Dari 13 Batu Ariri ini dipimpin oleh ketua kelembagaan adat yang disebut Ambe Kampong. Saat ini Ambe Kampong dijabat oleh H. Safaruddin.

Ambe Kampong memiliki empat perangkat pemerintahan, yaitu Lektondidi atau jabatan sekretaris, kemudian Takea yang membidangi pertahanan keamanan kampung. Balombong yang mengatur urusan keuangan, dan terakhir Sara yang membawahi bidang keagamaan dan sosial.

Di bawah lima pemangku adat utama ini terdapat 13 orang Batu Ariri yang meliputi Orong, Mandalang, Kanunang, Orong Salliu, Orong Lalliu, Bamba Talinga, Rante Padang, Pongko, Pongko Saleanan, Tombang, Kambuang, Bamba, dan Tombang.

Musmulyadi menjelaskan 13 Batu Ariri sangat erat terkait dengan pengelolaan sawah yang merupakan tanah pusaka atau pemanaran. Setiap Batu Ariri memiliki kawasan persawahan yang  dikelola secara kolektif bergilir yang diatur setiap 2 tahun. Luasan sawah yang dikelola berbeda-beda yang diatur di masing-masing Batu Ariri.

Dengan mekanisme kolektif ini semua warga Orong memiliki hak kelola yang diatur setiap tahun.

“Satu kepala keluarga bisa mengelola sawah sekitar setengah hektar. Bahkan pendatang sekalipun, kalau menikah dengan perempuan Orong dapat jatah garapan tersendiri.”

Untuk menentukan luasan tergantung luasan lahan. Satu persil persawahan misalnya dikelola oleh 10 garis keturunan atau 10 nenek. Masing-masing nenek memiliki 2-3 petak sawah yang akan dibagi-bagi lagi keturunannya secara bergiliran. Satu Batu Ariri biasanya terdiri dari 30 kepala keluarga.

Dari hasil panen sawah ini sebagian disetor ke kelembagaan adat yang disebut infaq, digunakan untuk kepentingan sosial. Infaq disetor dalam bentuk gabah untuk disimpan di lumbung yang disebut batutu, yang tersedia di 8 dusun di 2 desa.

“Tak ada patokan jumlah gabah yang harus disetor namun biasanya sekitar 3-5 persen dari panen.

Terkait pengelolaan hutan adat sendiri belum ada mekanisme pemanfaatan atau pengelolaan. Namun Musmulyadi optimis bahwa mekanisme tersebut akan segera ditetapkan di dalam musyawarah adat Orong.

 

 

Exit mobile version