Mongabay.co.id

Sebagian Jateng Kekeringan, Saat Pancaroba Waspadai Cuaca Ekstrem

 

 

 

Sebagian wilayah di Jawa Tengah, seperti Sragen dan Grobongan, Blora, dan Brebes, dilaporkan mengalami kekeringan. Kemarau panjang berujung kekeringan dan krisis air juga terjadi di Bantul dan Sleman, Yogyakarta. Beberapa daerah kemarau diperkirakan sampai Oktober. Sebagian wilayah sudah masuk penghujung kemarau dan memasuki masa penghujan. Pada masa pancaroba, BMKG dan BNPB mengingatkan, antisipasi dan waspada hadapi cuaca ekstrem.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana, menyebutkan, bencana hidrometeorologi masih dominan dalam September ini.

“Tampaknya bencana hidrometeorologi masih dominan hingga bulan kesembilan tahun ini. Di tengah beberapa wilayah mengalami banjir, banjir bandang, tanah longsor dan angin kencang, kekeringan terjadi di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah,” kata Raditya Jati, Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Minggu, 20 September lalu.

Pusat Pengendali Operasi (Pusdalops) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menerima laporan pada Rabu lalu, 2 September, Sragen mengalami kekeringan. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sragen mencatat intensitas hujan menurun hingga menyebabkan sumber mata air di kawasan ini berkurang.

Raditya dalam keterangan kepada media itu menjelaskan, data BPBD Sragen sampai Sabtu, 19 September, terdampak kekeringan di wilayah ini mencapai 478 keluarga atau 1.697 jiwa.

Ia tersebar di enam kecamatan, yaitu, Kecamatan Jenar (Desa Ngepringan, Banyurip dan Dawung), Sukodono (Desa Baleharjo), dan Kecamatan Sumberlawang (Desa Ngagortirto, Tlogotirto, Pagak dan Ngargosari). Juga, Kecamatan Tangen (Desa Dukuh dan Katelan), Kecamatan Miri (Desa Bagor dan Gilirejo) dan Kecamatan Gesi (Desa Srawung).

Warga alami krisis air bersih. Pemerintah kemudian mendistribusikan bantuan air bersih ke daerah terdampak serius. “Merespon kondisi kekeringan, BPBD Sragen kaji cepat dan berkoordinasi dengan instansi terkait. Pemerintah daerah telah mendistribusikan bantuan air bersih 42.000 liter,” tulis Raditya.

Data BNPB hingga akhir Agustus 2020, kekeringan terjadi 16 kali dengan warga terdampak 948.754 jiwa. Dalam keterangan itu menyebutkan, Sragen termasuk wilayah administrasi yang memiliki risiko bahaya kekeringan sedang hingga tinggi. Sebanyak 20 kecamatan dengan luas lebih 90.000 hektar memiliki potensi bahaya kekeringan.

“Salah satu upaya jangka pendek yang dapat dilakukan masyarakat dengan keterbatasan air bersih, dengan pemanfaatan air secara bijak.”

Wilayah Sragen, berbatasan dengan Ngawi, Jawa Timur. Di sebelah barat berbatasan dengan Boyolali, sebelah selatan Karanganyar, dan utara dengan Grobogan.

 

Warga Grobokan dapat bagian air bersih. Foto: BNPB

 

BNPB juga mendapat laporan kekeringan melanda Grobogan. BPBD Grobogan menyalurkan air 325 tangki setara 1,431 juta liter untuk 80 desa di 13 kecamatan terdampak kekeringan. Distribusi bantuan air bersih sejak Sabtu, 8 Agustus hingga Senin, 21 September.

Kekeringan yang melanda sebagian besar wilayah Grobogan berdampak pada 2.384 keluarga atau 5.727 jiwa. Data BPBD Grobogan menyebutkan, ada 100 desa terdampak kekeringan. Sebanyak 97 desa di 14 kecamatan masuk daerah rawan bencana kekeringan 2020.

Menurut hasil monitoring cuaca Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), per 10 September 2020 menunjukkan, sebagian besar Grobogan masih berpotensi mengalami hari tanpa hujan (HTH) dengan klasifikasi antara satu hari (sangat pendek) hingga 21-30 hari (panjang). “Itu sekaligus menunjukkan, potensi musim kemarau masih akan berlangsung hingga satu bulan ke depan.”

HTH, istilah dalam klimatologi yang berarti tak terjadi hujan atau curah hujan kurang dari satu milimeter sejak pengamatan hingga hari hujan. Hari hujan adalah hari dengan curah hujan sama atau lebih dari satu milimeter.

Adapun desa-desa yang rawan kekeringan, antara lain, Desa Tirem, Temon dan Lemahputih (Kecamatan Brati). Kemudian, Desa Jono, Plosorejo, Pojok, Mayahan, Pulorambe, Tawangharjo, Tarub dan Godan di Kecamatan Tawangharjo.

Kemudian, Desa Prigi, Karanglangu, Panimbo, Kentengsari dan Kedungjati (Kecamatan Kedungjati). Desa Tanggungharjo, Mrisi, Brabo dan Ringinpitu di Kecamatan Tanggungharjo.

Berdasar laporan BPBD Grobogan, dampak kemarau tahun ini tidak seberat tahun lalu kalau melihat wilayah terdampak. Tahun lalu, 15 kecamatan, 116 desa terdampak. Penerima bantuan air terbesar adalah Kecamatan Wirosari, dengan terdampak enam desa. Jumlah bantuan air 72.000 liter.

“Para pemangku kebijakan diharapkan lebih optimal penyimpanan air pada musim hujan untuk memenuhi danau, waduk, embung, kolam retensi, dan penyimpanan air buatan lain di masyarakat melalui gerakan memanen air hujan.”

 

 

Nyaris seluruh wilayah    

Informasi BPBD Jawa Tengah soal rawan kekeringan 2020 menyebutka, total jiwa terdampak 2.345.169 orang, atau 780.233 keluarga.

Dari 35 kabupaten dan kota, hanya empat kabupaten dan kota yang tak memunculkan data terdampak kekeringan. Empat kabupaten itu adalah Salatiga, Tegal, Batang, dan Magelang.

Jumlah jiwa terdampak paling banyak karena kekeringan ada di Grobogan, 571.000 jiwa. Disusul Blora 450.506 jiwa, dan Brebes 218.627 jiwa.

BMKG Stasiun Klimatologi Semarang juga merilis potensi kekeringan meteorologis di Jateng dasarian (satuan waktu meteorologi selama 10 hari) 1 September 2020. Ada empat tingkatan, yaitu tak ada peringatan, waspada, siaga, dan awas.

Kabupaten dengan tingkat waspada hingga siaga dari sisi barat ke timur Jawa adalah Brebes, Banyumas, Purbalingga, Purworejo, Semarang, Demak, Kudus, Pati, Rembang, Blora, dan Wonogiri.

BMKG Stasiun Klimatologi Semarang kembali merilis prospek iklim yang diperbarui 20 September lalu untuk dasarian III September 2020. Sebagian besar wilayah Jawa Tengah curah hujan diprakirakan dalam kriteria rendah hingga menengah, 21 hingga 75 mm.

Curah hujan dengan kriteria rendah berpotensi terjadi di sebagian Demak, Jepara, Kudus, Pati, dan Grobogan. Curah hujan dengan kriteria menengah berpotensi terjadi di Jateng bagian tengah hingga barat. Tidak ada potensi curah hujan dengan kriteria tinggi dan sangat tinggi di Jateng untuk dasarian III September.

BMKG Stasiun Klimatologi Semarang menyebut, Jateng mulai memasuki periode akhir musim kemarau. Sebagian wilayah memasuki masa peralihan ke musim hujan.

Mitigasi bencana dalam pancaroba antara lain, memangkas ranting pohon-pohon besar di dekat permukiman atau fasilitas umum. Selain itu, membersihkan saluran air dan sungai, membawa payung atau jas hujan selama berkegiatan di luar ruang, dan menghindari berteduh di bawah pohon.

Raditya mengimbau, dengan cuaca ekstrem ini, masyarakat waspada dan siap siaga terhadap potensi bencana hidrometeorologi, seperti banjir, bandang, tanah longsor dan angin kencang atau puting beliung.

“Bencana hidrometerologi ini masih dominan terjadi dengan dampak luar biasa baik dari sisi korban jiwa maupun kerugian material,” katanya dalam rilis 27 September 2020.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sudah menyampaikan arahan kepada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di 27 provinsi pada Rabu (23/9/20).

 

Embung yang mengering di Gunungkidul. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Dalam rilis BMKG pada 22 September lalu, menyebutkan, selama September-Oktober ini, periode peralihan musim (pancaroba) dari kemarau ke penghujan, Meskipun begitu, masih berlangsung di beberapa wilayah Indonesia, dengan kondisi hujan tak merata bisa terjadi dengan intensitas sedang hingga lebat dalam durasi singkat.

Masyarakat di wilayah, dekat dengan sungai baik hulu maupun hilir, katanya, dan wilayah berpotensi banjir agar meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan.

 

 

Wilayah Yogyakarta

Kekeringan juga dilaporkan melanda sebagian wilayah Yogyakarta. Stasiun Klimatologi Yogyakarta pada 2 September lalu berdasar data untuk dasarian II, HTH kategori kekeringan ekstrem atau lebih dari 60 hari terjadi di Bantul.

Untuk kategori panjang, antara 21-30 hari di Bantul, meliputi Kecamatan Piyungan, Pandak, dan Pajangan. Di Gunungkidul meliputi Kecamatan Tepus, Girisubo, Rongkop, Karangmojo. Di Kabupaten Sleman meliputi Kecamatan Sleman.

BPBD Daerah Istimewa Yogyakarta mengimbau warga mewaspadai potensi cuaca ekstrem pada periode peralihan musim atau pancaroba. Hujan lebat dalam durasi singkat disertai kilat dan angin kencang bisa terjadi. Juga angin puting beliung dan fenomena hujan es.

BPBD Yogyakarta sejak tahun lalu mempopulerkan gerakan memanfaatkan dan mengelola air hujan. Menghadapi musim hujan mendatang, BPBD kembali mengajak warga mempersiapkan memanen air hujan. Dia perkirakan musim hujan jatuh pada akhir Oktober atau awal November.

Gertrap atau gerakan tampung, resapkan, alirkan, pelihara menjadi gerakan untuk tidak menyia-nyiakan curahan air hujan. Harapannya, gerakan ini bisa jadi solusi mengatasi kekurangan air bersih di musim kemarau, sekaligus mengurangi dampak banjir di musim hujan.

 

Keterangan foto utama:  Kemarau panjang melanda Grobogan, Jawa Tengah, hilangga warga alami krisis air. Foto: BNPB

 

Exit mobile version