Mongabay.co.id

‘Besesandingon,’ Tradisi Orang Rimba Tangkal Penyebaran Penyakit

 

 

Meriau duduk termenung di sudong—tempat tinggal sederhana khas Orang Rimba yang terbuat dari kayu dengan atap terpal, pertengahan Maret lalu. Di kejauhan, Induk Nyerau—sang istri–, meringkuk lemah karena penyakit misterius.

Ratap Induk Nyerau memecah keheningan tengah malam. Penutup tubuh yang melekat dia campakkan. Panas menjalar ke sekujur tubuh. Napas sesak. Badan bengkak-bengkak. Kerabat berkerumun, namun takut mendekat. Dua anaknya terpekik, tangis Induk Nyerau pecah.

Meriau berpikir dewo telah murka. Penyakit baru tanpa obat datang menyerang. COVID-19, kata orang kampung. Gelabah, kata Orang Rimba.

Gelabah, bisa diartikan penyakit atau wabah yang sejak lama meneror Orang Rimba, masyarakat adat yang mendiami kawasan di dalam dan sekitar Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) di Jambi ini. Sejak pembukaan lahan besar-besaran di era 1980an, gelabah datang silih berganti dengan gejala berlainan. Ada cacar, diare, muntaber, hepatitis, flu, malaria. Gelabah mengambil nyawa banyak kerabat dan sanak saudara.

Kali ini, gelabah dalam bentuk demam dan sakit pernapasan. Mereka harus menghadapi lagi. Semua orang dalam rombong Meriau ketakutan melihat gejala penyakit Induk Nyerau. Mereka mengira perempuan hamil itu mengidap Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Sontak mereka berhamburan, pergi ke hutan malam itu juga.

Tak peduli Induk Nyerau, meraung-raung takut. Sudong-sudong di bawah rindang sawit seketika lengang. Induk Nyerau yang sedang hamil lima bulan itu, pasrah.

Meriau pun sebenarnya takut bukan kepalang. Dia tidak sampai hati meninggalkan isterinya sendirian. Hampir 24 jam, Meriau hanya melihat dari jauh. Setelah menunggu puluhan jam, Induk Nyerau meminta air minum. Meriau mendekat memberi minum dan makan.

“Badan aku lah dingin. Ke sinilah,” kata Induk Nyerau kepada Meriau, yang sedang duduk di sudong dengan jarak sekitar lima meter.

Mengenang kisah Induk Nyerau, membuat Meriau sedih bercampur geli. Sebab, baik dia maupun puluhan orang dalam rombongan, hanya mengetahui, kalau penyakit corona ada gejala demam, sesak napas dan batuk-batuk.

Induk Nyerau kala itu, tak menderita COVID-19, melainkan penyakit bisul di pangkal paha.

 

Nyeruduk, orang Rimba. Foto: Dedi Supriansyah

Ketakutan rombong Meriau ini sebenarnya bagian dari besesandingon, — strategi pembatasan sosial (social distancing) yang diterapkan turun menurun oleh Orang Rimba.

Sejumlah studi antropologi menyebutkan, sistem sosial yang sangat ketat ini untuk mencegah penyakit baru datang meluas dalam komunitas mereka. Setiap orang yang memiliki gejala penyakit baru akan dijauhi (cenenggo). Ada ataupun tidak terjadi gelabah, setiap orang baru yang ingin masuk ke wilayah mereka wajib menjaga jarak dan bermalam beberapa hari sejauh 15-20 meter dari sudong orang Rimba.

“Semua untuk membuktikan, mereka tidak membawa penyakit,” kata Adi Prasetijo, antropolog dari Universitas Diponegoro, Semarang. Prasetijo mempelajari Orang Rimba selama 20 tahun terakhir.

Prasetijo bilang, Orang Rimba memandang dunia dalam dua bagian: dunia Orang Rimba sendiri (dalam hutan) dan dunia Orang Terang, seperti orang-orang Melayu dan masyarakat lain di luar hutan.

Mereka percaya, segala sesuatu dari dunia luar selalu membawa penyakit. Semua ini berasal dari konsep “layu,” atau mati. Orang Rimba melihat orang-orang di luar mereka sebagai me-layu, orang-orang yang menyebabkan kematian,–tentunya melalui penyakit.

“Sudah dari dulu, ratusan tahun sejak nenek moyang, kami paling takut dengan gelabah,” kata Meriau di Desa Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi, Sabtu (12/9/20).

Karena itu, katanya, wajar kalau penyakit misterius Induk Nyerau membuat Orang Rimba takut.

“Sekarang, kami mulai berhati-hati, untuk mendakwa penyakit. Setidaknya, kami akan memeriksa ke dokter dan tes, untuk mengetahui apakah itu termasuk COVID-19 atau penyakit biasa,” katanya.

Selama ini ,besesandingon terbukti efektif melindungi Orang Rimba dari wabah yang meluas. “Sudah jadi bagian dari kosmologi Orang Rimba untuk menghindari penyakit. Terlepas dari ada atau tidaknya pandemi,” kata Prasetijo.

Meski begitu, seiring penyusutan hutan, para ahli meyakini besesandingon tidaklah cukup melindungi orang rimba dari gelabah.

Studi mengenai kesehatan dan ketahanan pangan Orang Rimba juga menunjukkan, apa yang menjadi ancaman utama dari pandemi saat ini bukanlah COVID-19 per se, tetapi  bencana kelaparan yang mungkin terjadi saat Orang Rimba melakukan besesandingon ke dalam hutan ataupun perkebunan sawit yang mengelilingi mereka. Keragaman hewan dan tanaman liar, –yang jadi sumber protein dan karbohidrat–, alami penurunan.

 

Orang Rimba, sedang mengupas gadung, bahan pangan mereka. Foto: Dedi Supriansyah

 

Tradisi Besesandingon

Jalo, Depati Kedundung Mudo yang melingkupi rombong Meriau mengatakan, sejak informasi COVID-19 menyebar, semua Orang Rimba melakukan besesandingon dengan masuk ke hutan. “Lebih dari empat bulan, mereka tak bertemu dengan orang dari luar kecuali untuk urusan maha penting,” katanya.

Apabila, ada keperluan mendesak, misal, membeli bahan makanan, mereka pilih orang paling kuat secara fisik, untuk keluar dan bertemu orang luar.

Pulang dari luar, katanya, kalau dalam keadaan sehat, selama tiga hari membangun sudong berjarak 15-20 meter dari sudong lain. Bahkan, harus membangun sudong di balik bukit atau seberang sungai. Makanan yang dibawa pulang ke hutan, untuk bahan tidak basah akan direndam dalam air selama 3-5 jam. Untuk makanan basah, akan dijemur seharian.

Pernah terjadi, saat pulang dari luar, ada yang batuk. Dia harus mengantarkan makanan di titik terjauh dari sudong. Kemudian, dia diminta pergi dari hutan melewati jalan baru, bukan jalan yang ada. Untuk makanan yang dibawa orang sakit karena dari luar tadi, kata Jalo, harus didiamkan, tak boleh disentuh siapapun, sampai terkena embun.

Maria Kristiana Norad, Fasilitator Kesehatan Orang Rimba dari KKI Warsi, mengatakan, besesandingon Orang Rimba sangatlah ketat. Meski mereka sudah mengenal Maria sejak 2015, tetaplah sulit bagi Maria diterima masuk ke wilayah Orang Rimba.

“Saat pandemi pertama kali, Orang Rimba langsung menerapkan aturan adat yang sangat ketat. Kalau melanggar bisa denda kain, diusir, bahkan ada yang mengancam, orang luar masuk ke tempat mereka, akan ditembak,” katanya.

Dalam menjalankan tradisi besesandingon Orang Rimba masuk jauh ke pedalaman hutan, melarang orang asing berkunjung, tidak pergi ke lembah bertemu dengan orang luar. Misal, ada yang demam disertai batuk, langsung cenenggo atau diasingkan oleh kelompoknya, dengan membuat sudong terpisah. Anggota keluarga yang sakit tetap dirawat namun dengan jarak aman 10-15 meter (besesulangon).

Begitu pula saat pandemi, perlakuan Orang Rimba terhadap Maria, berubah drastis. Mereka sangat berhati-hati bahkan ada yang mengusir Maria keluar hutan. Maria tak pernah menyerah. Dia pergi ke Bukit Beringin, Pemenang, Tanjung Sarolangun, Bukit Tigapuluh, dan terakhir Bukit Duabelas.

Setelah isolasi mandiri selama 14 hari dan uji usap (PCR test), barulah Maria berhasil meyakinkan tumenggung bahwa dia sehat dan bersih dari COVID-19.

Maria pun bisa kembali pemeriksaan rutin untuk kesehatan anak-anak dan perempuan seperti imunisasi.

 

Sebanyak 25 keluarga Orang Rimba Makekal Hulu melangun dengan mendirikan sesudungon di kebun sawit milik warga Desa Sungai Bulian. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Hutan yang hilang

Setelah Induk Nyerau pulih, bersama suaminya, Meriau, menyusul rombong ke dalam hutan. Tak lama berselang, mereka harus kembali ke dalam perkebunan sawit karena Induk Nyerau hendak melahirkan.

Tradisi Orang Rimba, perempuan harus melahirkan di tanah peranokon (tempat melahirkan khusus) yang diwariskan turun temurun untuk setiap rombong, atas persetujuan dewo melalui dukun.

Sayangnya, tanah peranokon rombong Meriau kini sudah jadi kebun sawit warga transmigrasi. Lokasinya, di belakang Desa Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, Sarolangun. Selain di kebun sawit warga, tanah peranokon rombong Meriau sudah diratakan oleh perusahaan perkebunan sawit.

Luasan hutan sebagai sumber penghidupan dan tradisi Orang Rimba terus menyusut,  melemahkan strategi besesandingon Orang Rimba.

Menurut data Center for International Forestry Research (CIFOR), hutan hujan tropis menutupi lebih setengah (52%) wilayah Jambi pada 1982. Seiring transmigrasi besar-besaran, pembangunan jalan, dan pembukaan lahan untuk perkebunan sawit, hutan tanaman industri dan lain-lain, luas tutupan hutan di Jambi kini tersisa 17% (KKI Warsi, 2020).

Khusus daerah Air Hitam, tempat rombong Meriau tinggal, lebih setengah luas hutan sudah berubah. Hanya ada 60.500 hektar hutan ditinggali sebagian Orang Rimba. Sebagian lain, seperti rombong Meriau, harus menetap di perkebunan sawit.

Sukma Reni, manajer komunikasi KKI Warsi mengatakan, persoalan Orang Rimba sangat kompleks. Survei Warsi, populasi Orang Rimba pada 2018, ada 5.235 jiwa. Dari jumlah itu, 40% di dalam hutan, 50% di perkebunan sawit dan HTI, sisanya, di permukiman atau menyatu dengan masyarakat desa atau pendatang.

Orang Rimba memiliki kelompok (rombong) tersendiri yang berada di bawah tumenggung (pemimpin). Setiap ketumenggungan bersifat independen dan memiliki teritorial tanah adat masing-masing.

“Jadi, tidak saling menggangu. Artinya, yang dalam hutan, ya itulah wilayah penghidupannya. Sementara yang di sawit, ya di sanalah mereka tinggal,” kata Reni.

Rombong Meriau, yang termasuk dalam ketumenggungan Kedundung Mudo, tak punya pilihan lain selain tinggal di kebun sawit warga. Mereka menempati sembilan sudong. Jarak dua meter antar sudong. Mereka juga tak memiliki sumber air bersih.

Untuk mandi dan mencuci, mereka pakai air kubangan berwarna coklat berlumpur, dengan luas sekitar 3×5 meter. Air itu juga sisa pestisida dan aliran limbah warga.

Meriau bilang, hutan tersisa di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) punya Orang Rimba lain. “Kalau kami mau masuk, itu izin dulu dengan Tumenggung. Berapa bulan mau tinggal, tidak boleh berladang. Kalau sudah habis izin menumpang, ya kami keluar,” kata Meriau. Tampak kristal bening di sudut matanya.

 

Sungai di Mekekal yang menjadi sumber air bagi Orang Rimba. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Krisis pangan

Malam itu, Tumenggung Tarib, mengenang apa yang terjadi selama tiga dekade terakhir. Di suatu masa, pada 1980-an, penyakit misterius baru datang seiring dengan tumbangnya pohon-pohon di pinggiran hutan. Satu, dua, Orang Rimba meninggal setiap hari. Tak ada catatan pasti mengenai jenis penyakit ini. Yang pasti, Tumenggung Tarib dan rombong seketika besesandingon dengan ketat sekali.

“Kami Orang rimba tidak punya obat-obat dokter, melainkan hanya mengandalkan obat reramuan, dedaunan, dan akar-akaran,” kata Tarib di Desa Air Panas, Kecamatan Air Hitam Sarolangun.

Dengan begitu, katanya, besesandingon jadi andalan Orang Rimba. Kala itu, katanya, makanan banyak di dalam hutan. “Jadi memang aman untuk besesandingon. Dak pernah terjadi orang mati kelaparan.”

“Kalau sekarang, tidak mati karena gelabah, tapi karena tidak makan,” kata Tarib, lirih.

Winda Kartika, dari Universitas Jambi, menemukan, Orang Rimba memiliki ketergantungan tinggi terhadap sumber hutan. Untuk memenuhi kebutuhan protein, mereka mengkonsumsi setidaknya 65 spesies hewan seperti mamalia, reptil, ampibi, burung, ikan, dan invertebrate. Semua mereka konsumsi dalam jumlah wajar dan cara berburu yang memihak alam.

Untuk kebutuhan karbohidrat, mereka mengkonsumsi gadung (Dioscorea hipsida), benor, dan umbi-umbian lain. Puluhan jenis buah-buahan lokal di dalam hutan pun memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral mereka.

Namun Maknun, fasilitator pendidikan KKI Warsi, mengatakan, sangat prihatin dengan hal yang mungkin terjadi pada Orang Rimba di era pandemi ini. “Persoalannya, mereka kesulitan mencari makan. Bahkan, ada yang berhari-hari tidak makan. Karena makanan di hutan makin sedikit,” katanya.

Nyeruduk, Orang Rimba dari Kutai, dekat Desa Pematang Kabau, membenarkan hal ini. Selama besesandingon, dia dan rombong menggali benor—tanaman jenis umbi-umbian berbentuk busur panah, dengan tekstur lembut dan rasa sedikit manis–sedalam 1-2 meter dalam tanah. Kemudian mereka memakan gadung yang berbentuk bulat lonjong, bewarna coklat mirip sirsak. Rasanya lebih enak dan lezat dibanding singkong.

Gadung mudah didapat di dalam hutan namun pengolahan perlu enam hari, tiga hari di darat dan tiga hari di air.

“Kalau salah olah, bisa mabuk gadung. Susah nian lagi mabuk gadung. Kepala rasanya berputar-putar, mata berkunang-kunang, kerongkongan panas, dan muntah-muntah. Ada yang pingsan,” kata Nyeruduk.

Dia hanya tiga bulan berada dalam hutan. Setelah itu, kembali ke rumah semi permanen bantuan dari Kementerian Sosial. Perpindahan dari hutan ke tepi kampung, katanya, bukan tanpa alasan.

“Saya di dalam hutan tidak punya kebun, untuk menanam ubi. Gadung lah susah dicari, benor apalagi. Jadi, untuk makan harus beli beras. Untuk beli beras harus punya uang. Maka harus menyadap karet, buat bei beras,” kata Nyeruduk.

“Bahkan untuk mereka yang berada di luar hutan pun kekurangan nutrisi,” kata Kristiawan, fasilitator kesehatan Warsi pada 2015, saat ini studi magister epidemiologi di Universitas Diponegoro, Semarang

Dalam studinya yang masih proses, Kristiawan menemukan malnutrisi di kalangan Orang Rimba. “Untuk kelompok yang tinggal di rombongan sawit, banyak mengalami kekurangan sumber protein dan sumber karbohidrat,” katanya.

 

Tumenggung Tarip. Foto: Dedi Supriansyah

 

Rentan COVID-19

Pada 2015, KKI Warsi bekerjasama dengan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman untuk mengkaji genetika populasi Orang Rimba dan kaitan terhadap kerentanan mereka akan penyakit.

Mereka mengambil 583 sampel darah Orang Rimba, yang telah mendapatkan persetujuan etik, para peneliti mencoba mengkaji seluruh susunan DNA di dalam mitokondria,–sebuah organel penghasil energi dalam sel tubuh Orang Rimba.

Menurut Herawati Sudoyo, peneliti utama di Eijkman, terdapat beberapa penemuan menarik dari riset itu. “Kami menemukan, genome Orang Rimba lebih homogen,” katanya.

Kondisi ini menyebabkan Orang Rimba memiliki daya tahan tubuh lebih rendah dalam menangkal penyakit dari dunia luar. “Mereka kawin mawin dengan sesama hingga daya tahan tubuh seragam,” katanya.

Ketidaktahuan Orang Rimba akan jenis penyakit juga mempengaruhi kesehatan publik mereka.

Kristiawan mengatakan, Orang Rimba sudah memiliki pengetahuan tentang penyakit malaria yang muncul dari dalam hutan.

Mereka menyebutnya demam kuro atau demam monyet. Untuk Hepatitis B, penyakit Orang Terang yang menghantui komunitas Orang Rimba, mereka tidak punya pengetahuan untuk itu.

Hasil riset Eijkman dan KKI Warsi menemukan, penyakit Hepatitis B pernah singgah pada 33.9% Orang Rimba. Angka jauh lebih tinggi dibandingkan prevalensi nasional (1.2%) pada 2014.

“Kebanyakan Orang Rimba belum diimunisasi. Waktu itu kami mengajukan usul ke Kemenkes untuk vaksinasi Hepatitis B gratis untuk mereka,” kata Kristiawan.

Kali ini, mereka harus menghadapi penyakit baru lagi. Orang Terang pun baru memiliki sedikit pengetahuan tentang ini.

Saat ini, banyak Orang Rimba keluar hari hutan untuk mencari makanan. “Namun sehari-hari jarang sekali mereka memakai masker,” kata Reni.

Meskipun mereka masuk ke hutan lagi, ancaman terpapar COVID-19 tetap ada karena obyek wisata Air Terjun Telantam, yang menarik ribuan orang terang berkunjung, telah terbuka.

Hutan yang menghilang, pangan makin langka, daya tahan tubuh rendah, dan akses Orang Rimba ke fasilitas kesehatan publik buruk adalah sejumlah faktor yang dapat meningkatkan kerentanan mereka hadapi pandemi ini.

Prasetijo khawatir, gelabah pada akhirnya akan berhasil mencengkram Orang Rimba dan masyarakat adat lain di Indonesia.

Di Brazil, COVID-19 masuk ke hutan hujan dan ribuan masyarakat adat meninggal. “Tentu kita tidak ingin seperti itu, pemerintah harus bertindak untuk melindungi hak-hak Orang Rimba.”

 

* Suwandi dan Dyna Rochmyaningsih menulis liputan ini didanai hibah National Geographic Society’s Emergency Fund for Journalists.

 

Anak perempuan Orang Rimba yang hidup di kebun sawit. Hutan mereka telah hilang…Foto: Dedi Supriansyah

 

Exit mobile version