Mongabay.co.id

Nasib Pulau-pulau Kecil di Kepri kala Sawit Datang [1]

Jalan dari Desa Linau ke Sambau, Lingga. Kedua desa ini sudah ada izin kebun sawit belasan ribu hektar. Foto: Yogi Eka Sahputra /Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Wiwin, tengah membersihkan kebun singkong di belakang rumahnya, pertengahan September lalu. Luas kebun itu hanya sekitar 25 meter. Itulah sebagai sumber pangan Wiwin dan keluarga.

Kondisi itu terjadi setelah kebun sawit sudah memenuhi sekitar rumahnya. “Sekarang saya tidak ada kerjaan,” kata warga Desa Linau, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau itu. Wiwin tulang punggung keluarga. Suaminya, lumpuh.

Sebelum kebun sawit masuk desa, perempuan 40 tahun ini berkebun lebih luas dan peroleh penghasilan lumayan. Kini, tidak bisa. Kala bercocok tanam, babi datang menyerang tanaman.

Awalnya, lahan sekitar daerah Wiwin masih berhutan. Setelah perusahaan sawit masuk, hutan ditebang, berganti sawit. Awalnya, dia berpikir, meskipun tak bisa berkebun masih bisa kerja jadi buruh perkebunan sawit.

Sawit terbengkalai, tak terurus, babi hutan yang kehilangan tempah hidup kini masuk ke kebun-kebun warga.

“Ditanam pisang diganggu (babi), ditanam ubi diganggu (babi), kita mau apalagi?” kata Wiwin.

Perusahaan sawit di Desa Linau, Kabupaten Lingga itu bernama PT Sumber Sejahtera Logistik Prima (SSLP). Setelah kayu hutan ditebang, perusahaan tanam sawit, lalu meninggalkan lahan begitu saja.

Luas kebun sawit pertama di Lingga itu sekitar 1.200 hektar. Ia ada belasan tahun lalu.

Tugiem, bilang, kebun sawit terbengkalai itu jadi sarang babi hingga meresahkan masyarakat sekitar. Dia lakukan berbagai cara agar tanaman singkong tumbuh subur, seperti bikin pagar sekeliling kebun.

Babi-babi tetap masuk dan merusak tanaman. “PT itu cuman bisa mengambil kayu saja, setelah itu mereka entah kemana,” katanya.

 

Jejak babi di Linau. Babi hidup di kebun sawit yang terlantar dan selalu merusak kebun warga. Foto: Yogi Eka Sahputra /Mongabay Indonesia

 

Dulu, warga memenuhi sebagian keperluan dari hutan, seperti bahan bakar, keperluan papan rumah tangga juga untuk pancang kelong ikan teri.

Setelah hutan hilang, warga Linau sekitar 400 jiwa itu tak lagi punya persediaan kayu. Terpaksa mereka mencari kayu ke daerah lain.

“Sekarang malahan kami kalau cari kayu untuk pencang minta ke daerah lain,” kata Musdar, Kepala Desa Linau, Lingga, awal September lalu.

Selain ancam kebun warga sekitar, babi juga bikin was-was di jalanan. Sawit berada jalan lintas warga menuju desa lain. “Kalau kami lewat jalan itu, hendak ke desa lain harus was-was, pernah kejadian masyarakat hampir diserang babi, kalau lewat sana jumpa babi sudah sering,” katanya.

Jarak sawit dengan permukiman warga sekitar satu kilometer. Bagi yang tinggal di kebun sawit pun banyak masuk kepemukiman warga.

Setahu dia, sejak 2015, kebun sawit sudah terlantar dan banyak babi.

Saya menelusuri perkebunan di Linau itu, sawit tumbuh setinggi dua sampai empat meter. Rumput liar tumbuh di sekitar.

Pos penjagaan di pintu masuk perkebunan terlihat hancur. Atap pos sudah ambruk tanda terbengkalai, tak terurus. Tidak terlihat lagi akses jalan ke kebun sawit, karena sudah tumbuh semak belukar.

Upaya mendapatkan konfirmasi terhadap PT SSPL melalui Maryono Landung tak membuahkan hasil. Telepon maupun pesan via WhatsApp, tak berbalas.

Kebun sawit juga mau masuk ke tetangga Linau, yakni, Desa Sambau. Ada perusahaan sawit mau masuk PT Citra Sugi Adytia (CSA) akan mengembangkan kebun sawit seluas 14.000 hektar, 14 kali lipat di Desa Linau.

 

Bercermin dari masalah sawit

Memet Susanto, kesulitan melintasi jalan dari Linau menuju Desa Sambau, pertengahan September lalu. Jalan itu becek dan berlubang. Jalan tanah berlumpur. Itu satu-satunya akses masyarakat ke Desa Sambau, desa dengan masih penuh tutupan hutan yang terancam jadi kebun sawit.

Warga di sana tak menginginkan ada sawit. Sikap warga juga senada dengan Pemerintah Lingga, yang menolak investasi sawit.

Warga sebagian besar nelayan. Mereka bilang, hidup dari nelayan bagi sudah cukup. Perusahaan terus berupaya bisa mendapatkan restu pemerintah daerah. Pemerintah Lingga, kekeuh menolak.

Memet bilang, belajar dari Linau, katanya, jadi alasan mereka menolak. “Saya takut terulang seperti kebun sawit di Linau yang meresahkan warga, hutan diambil, kayu-kayu diambil, yang tinggal hanya pokok-pokok kayu tak berpasal. Masalah hama babi sampai sekarang,” katanya.

Jadi nelayan, kata Memet, sudah lebih dari cukup, bisa bertahan hidup, tanpa merusak atau membabat hutan. “Jadi, tanpa ada kebun sawit kami bisa bertahan.”

Apalagi, katanya, sawit bakal membuat kekeringan masa mendatang. Begitu juga dampak terhadap tanaman di sekitar kebun sawit. “Kalau ada sawit, pasti tanaman sekitar mati karena kekeringan,” katanya.

Serupa Memet, Yuni, warga Dusun II juga tolak sawit. Dia bilang, tidak perlu ada sawit di Lingga, lebih baik pemerintah fokus mencarikan bantuan nelayan di Sambau. “Meskipun ada sawit, kita belum tentu juga kerja disana, dampaknya pasti ada.”

Ruswardi, tetangga Yuni juga menolak sawit di Lingga. Dia belajar dari pengalaman tinggal di kelilingi perkebunan sawit di Riau. Menurut dia, Lingga tak punya lahan inti untuk perkebunan sawit. Jadi, produksi tidak akan banyak. Kondisi itu, katanya, tidak membuat perkebunan sawit berkembang. “Saya sudah paham sebenarnya dengan kondisi ini, jangan sampai seperti di Linau, sawit tak ada illegal logging terjadi,” katanya.

Ada juga beberapa warga Sambau setuju perkebunan sawit, apalagi dijanjikan jadi kepala koperasi di bawah perusahaan perkebunan. Mansur, warga Sambau ini setuju sawit. Dia bilang, kebun sawit bisa meningkatkan ekonomi masyarakat.

Permasalahan sawit di Sambau, katanya, karena ada yang ingin jadi sawah dan sebagian jadi kebun sawit.

Dalam pertemuan pemerintah, masyarakat dan pengusaha sawit, katanya, telah disepakati Sambau bagian lembah jadi sawah, lereng jadi kebun sawit. “Bahkan, waktu itu saya sudah diminta jadi kepala koperasi, kita mendambakan sawit.”

CSA belum beraktivitas apapun di hutan Lingga. Komisaris CSA Suptitoyo mengatakan, proses izin sedang mengajukan hak guna usaha (HGU). Bupati Lingga Alias Wello menolak ada sawit dengan cara memperlambat izin. “Salah satunya dia (Alias Wello) menyebut izin kami sunsang, kita dihambat terus maka izin tidak selesai. Bupati tidak koorperatif,” katanya.

 

Pos penjagaan di perkebunan sawit yang tak terurus. Foto: Yogi Eka Sahputra /Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, saat Alias Wello Ketua DPRD Lingga pernah memberikan dukungan pada perusahaan buka kebun sawit di Sambau.

Toyo menceritakan, awal mula berminat berinvestasi di Lingga. Ketika pemerintah daerah sebelumnya menawarkan mengarab bouksit, dia jelaskan kalau terbiasa dan mengerti bisnis sawit. “Saya bilang, saya tidak berminat, karena saya tidak paham, tetapi kalau kebun sawit kita bisa, karena sudah ada di Sumatera,” katanya.

Setelah perundingan itu, Toyo memutuskan membuka sawit di Lingga. Kondisi Lingga, katanya, cocok untuk berkebun sawit. “Kalau bouksit itu ada masa habisnya, tetapi kalau sawit sampai 25 tahun, setelah itu bisa masa peremajaan.”

Dia sudah merencanakan, bagaimana akses jalan di Lingga kalau sawit 14.000 hektar bisa masuk Sambau. Tidak hanya membuka lahan untuk kebun sawit, Toyo berencana membangun pabrik pengolahan sendiri.

Toyo membantah anggapan Lingga kekeringan seperti disampaikan bupati. Dia bilang, persediaan air di Lingga terdapat di bagian timur. Sedangkan hutan yang akan dia garap jadi sawit di Lingga Utara. “Yang mau kita tanami di Lingga Utara, disana memang sudah tidak ada air,” katanya tanpa merujuk kajian atau riset relevan.

 

Pemerintah Lingga tolak kebun sawit

Siswadi, Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Lingga menegaskan, Pemerintah Lingga tetap menolak sawit, selain merusak lingkungan, Lingga termasuk pulau-pulau kecil.

“Kami mendukung pemda tidak memberikan izin, bahwa pulau ini kecil, dampaknya salah satu dampak lingkungan, kita tidak mau itu terjadi,” katanya saat dihubungi 18 September 2020.

Selain itu, katanya, mereka juga mengacu kepada Instruksi Presiden (Inpres) tentang penghentian sementara (moratorium) perluasan lahan dan evaluasi perkebunan sawit. “Meskipun CSA itu izin sudah diproses lama, tetapi sepemahaman kami tetap itu sawit baru karena belum ada penanaman, pemahaman kami begitu,” katanya.

Kepala Dinas Penanam Modal, Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Perdagangan (PM PTSP) Kabupaten Lingga melalui Kepala Bidang, Abdul Hamid mengatakan, soal CSA, izin perusahaan ada yang menjanggal, yaitu HGU belum terbit tetapi analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) sudah keluar. “Kita tetap pada prinsipnya tidak mendukung perkebunan sawit.”

 

Soal sawit Linau?

Siswadi juga sudah menerima laporan masyarakat terkait hama babi yang meresahkan warga Linau, dampak kebun sawit terlantar. Dia berencana membahas masalah ini dengan bupati.

Dia berharap, warga yang berkebun di kawasan itu sementara membuat pagar agar babi tak merusak tanaman. “Tentu akan kita sikapi, apakah nanti dengan cara hama babi itu diracun, atau diburu, kita lihat kondisi nanti.”

Dia bilang, kasus sawit di Linau sudah lama terjadi, jauh hari sebelum menjabat sebagai Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan. “Saya belum begitu tahu kasusnya, saya tidak mengikuti karena sudah lama betul, seperti apa izinnya saya tidak tau,” katanya.

Abdul membenarkan ada sawit ratusan hektar yang tidak terawat di Desa Linau.

Abdul tidak mengetahui izin sawit itu karena izin sudah ada sejak 2004. “Saat itu PTSP belum ada, saya kurang begitu paham.”

Dia bilang, kala itu perusahaan melakukan pembalakan liar hingga soerang dari perusahaan sempat kena pidana. “Waktu itu masih pembibitan, tapi keburu ditangkap, akhirnya sekarang sudah besar sawitnya.”

Dia berdalih belum bisa me-riview izin perusahaan karena izin sebelum PTSP ada. “Lahan itu kan dikuasai PT, kita tidak tahu sampai dimana, izin sampai mana kita tidak tahu, apakah sampai IUP (izin usaha perkebunan) atau tidak.”

Pemerintah daerah, katanya, bisa mengambil lahan itu untuk dialihkan agar tak merugikan masyarakat. “Lahan terbangkalai bisa dicabut, tetapi kita harus pelajari dulu izinnya.” (bersambung)

 

*Yogi Eka Sahputra di Tempo. Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia

 

Keterangan foto utama: Jalan dari Desa Linau ke Sambau, Lingga. Kedua desa ini sudah ada izin kebun sawit belasan ribu hektar. Foto: Yogi Eka Sahputra /Mongabay Indonesia

Exit mobile version