Mongabay.co.id

Siasat Menambah Produksi Pangan Lokal di Nusa Penida (bagian 3)

 

Warga Nusa Penida menemukan momentum kembali bertani saat pandemi ini. Sejumlah warga kembali ke ladang di darat dan laut. Untuk bertani rumput laut, menanam ketela, kacang, dan mencoba pangan alternatif lain seperti sorgum dan porang.

Namun, sejauh mata memandang, lahan pertanian yang tidak terolah jauh lebih banyak daripada yang sudah ditanami. Terutama bahan pangan. Pemerintah kabupaten terlihat belum memanfaatkan peluang semangat warga bertani ini dengan program strategis dan masif menghidupkan kembali pertanian.

Saya berkendara motor selama tiga hari mengelilingi Pulau Nusa Lembongan dan Nusa Penida. Dimulai dari sisi utara menuju selatan. Sebagian besar perjalanan adalah melaju di jalan raya berkelak-kelok tajam dan jalan berbatu saat memasuki dusun-dusun.

Lembongan-Ceningan-Nusa Penida adalah tiga pulau yang termasuk wilayah Klungkung kepulauan, disebut Kecamatan Nusa Penida. Sementara sebagian wilayah Klungkung lain masuk di Pulau Bali, kerap disebut Klungkung daratan.

Topografi berbukit, sebagian karang dan sebagian batu kapur memberikan panorama yang nyaris sama di setiap bahu bukit. Keindahan lansekap pertanian lahan kering yang berundak-undak atau terasering (bataran). Sejumlah warga yang ditanya tak ingat, kapan terasering itu dibuat karena sudah ada sejak nenek kakek mereka.

Lahan terjal disiasati dengan membuat terasering, menyangga pinggiran undakan dengan bebatuan karang. Melihat rapat dan rapinya susunan batuan karang yang kuat ini, inilah jejak kerja keras mengolah lahan dari nenek moyang warga Nusa Penida. Bataran ini juga saksi sunyi seluruh lahan dan ladang produktif di masa lalu.

Model terasering juga memastikan lapisan tipis tanah tak terkikis erosi, material yang sangat dibutuhkan untuk bertani di atas bebatuan. Jika hujan datang, air juga tak langsung terhempas mengikuti gravitasi tapi ditahan oleh terasering. Penataan ruang pertanian seperti ini juga memudahkan warga mengolah ladangnya.

Tiga pulau di gugusan ini, Nusa Lembongan, Nusa Ceningan, dan Nusa Penida termasuk dalam Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Bali. Luasnya sekitar setengah dari Klungkung daratan.

baca : Pariwisata Mati, Rumput Laut Hidup Lagi (bagian 1)

 

Petak ladang yang berisi kelapa, ubi kayu, dan kacang-kacangan. Namun konsumsi pangan utama adalah beras yang tidak diproduksi. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Sejak Maret, nadi pariwisata yang menjadi hirup pikuk harian di tiga pulau ini mati dampak Covid-19. Padahal pada 2019 saja Dinas Pariwisata Klungkung dalam laporannya mencatat, lebih dari 400 ribu turis yang ke kawasan Nusa Penida dilihat dari data retribusi dari total lebih dari 500 ribu orang pembayar retribusi. Jumlahnya bisa lebih banyak karena dikutip dari laporan ini, pemerintah kekurangan sumberdaya manusia dalam sistem pungut retribusi dan masih banyak speedboat yang belum bekerjasama untuk pemungutan retribusi ini.

Sementara jumlah total kunjungan wisata yang direkap termasuk data non retribusi lebih dari 839 ribu pada 2019. Data ini diakumulasikan juga dari jumlah pengunjung dari sejumlah festival, pameran, dan kunjungan ke desa wisata.

Jumlah kunjungan akumulatif ini membuat tiga pulau ini lebih banyak wisatawan dibanding jumlah warganya. Karena jumlah penduduk di Kecamatan Nusa Penida menurut data BPS Bali 2018 lebih dari 45 ribu orang (36%) dari sekitar 178 ribu penduduk Kabupaten Klungkung (74%).

Wayan Karta, Ketua Yayasan Taksu Tridatu di Nusa Penida mengatakan saat ini warga seperti kembali ke masa lalu. “Warga balik ke pertanian, masa lalu, ini peluang biar tak impor (memasok dari pulau lain),” harapnya. Menurutnya bertanam di tanah berkapur bisa sama suburnya dengan bertanam di pot. Namun, di masa lalu, belum terpengaruh pupuk urea, akhirnya kini lahan dinilai kurang subur.

Pria muda yang sedang menjalankan program pemberdayaan masyarakat bidang pertanian dengan GEF-SGP ini sedang mengembangkan Rumah Belajar Bukit Keker, sebuah area yang difungsikan sebagai percontohan. Mengkombinasikan pengelolaan sampah, penggunaan solar panel, kebun permakultur, dan pengolahan limbah ternak dan manusia jadi biogas.

Area ini berada di Banjar Nyuh Kukuh, Desa Ped, sekitar 10 menit berkendara dari pelabuhan Banjar Nyuh. Sejumlah lembaga yang bekerjasama dalam program GEF-SGP, difasilitasi Yayasan Wisnu di Bali ini mempertemukan ide dan garapan mereka di Rumah Belajar.

baca juga : Jika Pariwisata Hidup Lagi, Apakah Pertanian Kembali Mati? (bagian 2)

 

Terasering di lahan berbatu dan berkarang ini dibuat di masa lalu sebagai petanda kerja keras petani Nusa Penida mengolah lahannya. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Menurut Karta, pertanian yang dikembangkan di Nusa kurang ekonomis, karena menunggu musim hujan, hanya sekadar pangan. “Pengolahan tidak ada,” ujarnya terkait peningkatan nilai tambahnya. Hingga kini, yang ditanam masih dominan palawija seperti jagung, ketela, kacang-kacangan, dan lainnya.

Tanah-tanah pun sudah banyak milik investor, sehingga pengembangan pertanian sebagai mata pencaharian terhambat. Karena itu, pihaknya mendorong peningkatan efektivitas lahan, misalnya mendistribusikan biji sorgum untuk alternatif pangan dan pelatihan fermentasi pakan untuk peternak.

Ida Bagus Juanida, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Klungkung saat dihubungi Senin (14/9/2020) mengatakan belum ada data pertanian yang bisa membandingkan sebelum dan setelah pandemi di Nusa Penida.

Sebelum dan sesudah menurutnya sama, yang ditanam adalah palawija seperti jagung, ketela pohon, untuk bahan pangan. “Sudah berjalan dan potensinya itu, cuma karena perkembangan pariwisata banyak ditinggalkan, warga beralih ke aktivitas pariwisata,” ujarnya.

Karena saat ini turis tidak ada, kondisi saat ini menurutnya ke titik bawah, warga kembali bertani. “Ada beberapa orang yang menginisiasi masuknya tanaman porang, hidroponik, sayuran. Pisang, pepaya sebagian kecil. Kondisinya lahan kering,” tambah Juanida.

Pertanian dominan adalah jagung dan ketela, untuk pemenuhan kebutuhan lokal.  “Setelah beras masuk, jagung dan ketela bukan jadi panganan pokok,” lanjutnya.

perlu dibaca : Kebun Hidroponik di Atap Hotel, Siasat Pasok Pangan di Nusa Penida

 

Aneka hasil pangan lokal dari Nusa Penida seperti jagung, kacang, dan sorgum. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Program pertanian yang hendak diprioritaskan selama pandemi tidak ada, hanya mendampingi peningkatan produktivitas jagung, ketela pohon, dan kelapa. Belum ada komoditas dan teknologi baru. Junaida menambahkan, sebelum berkembangnya pariwisata, pertanian memberi pendapatan domestik bruto lumayan , walau komoditasnya terbatas. “Tak ada keinginan mengurangi, walau konsentrasinya ke pariwisata,” kilahnya terkait kurangnya pengembangan pertanian.

Saat pandemi ini, ada rasionalitas penganggaran. “Rasionalitas kegiatan pemerintah saja, tak ada menomorduakan, pertanian menyediakan pangan,” tukasnya.

Nyaris semua bahan pangan didatangkan dari luar pulau, terlebih beras yang tidak diproduksi di Nusa Penida. Sayangnya belum ada data detail kebutuhan pangan ini.

Terkait munculnya budidaya porang dan sorgum, ia mengakui memang ada warga yang memulai. Namun kebijakan dan kewenangan pihaknya masih di budidaya padi, jagung, ketela, dan bawang.

“Bukan tak memperhatikan komoditas lain yang diinginkan petani. Kita punya Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) untuk mendampingi dan fasilitasi,” ujarnya. Ia mengaku senang jika kemandirian warga sudah nampak.

Dengan luas wilayah 202 km2, Nusa Penida sekitar 2/3 dari luas keseluruhan Kabupaten Klungkung yang luasnya 315 km2. Dari permohonan data melalui surat, Juanida menyebut luas area pertanian di Nusa Penida berupa ladang/tegalan 1.927 hektar atau setengah dari luas keseluruhan area pertanian di Klungkung yakni 4.276 hektar.

Dari catatan tulisan tangan yang diterima, komoditas pertanian yang tercatat pada 2019 adalah jagung, ketela pohon, kacang tanah, kacang hijau, mangga, jeruk, pisang, pepaya, kelapa, jambu mete, sapi bali, dan unggas.

baca juga : ‘Bom’ Benih, Cara Unik Hijaukan Nusa Penida

 

Dua jenis bibit porang yang ditanam dan memerlukan waktu panen 1-3 tahun. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Jumlah rumah tangga pertanian di seluruh kabupaten Klungkung diklaim 21.892 KK. Jumlah rumah tangga di perkebunan kelapa tercatat 3075 KK. Sementara jumlah rumah tangga jambu mete sebanyak 2010 KK. Pohon kelapa terlihat ditanam berjauhan di sebagian lahan, dan sebagian lagi sudah berubah jadi kebun pohon jati.

Dilihat dari luasan lahan, komoditas terbanyak adalah jagung tercatat 1826 hektar di luar panen dengan produktivitas 3,6 ton/hektar. Kelapa dengan luas tanam 1410 hektar, tingkat produksi 496 ton/tahun. Ketela pohon atau ubi kayu luasnya sekitar 916 hektar, dengan produktivitas sekitar 10 ton/hektar.

Diricek dari data BPS, Klungkung dalam Angka 2019, hampir semua hasil pertanian itu dominan di Kecamatan Nusa Penida, dibanding 3 kecamatan lain yakni Banjarangkan, Dawan, dan Klungkung. Hanya beras dan sayuran (hortikultura) yang data produksinya tak ada dari Nusa Penida. Misalnya bawang merah, cabai, kentang, kubis, tomat, dan wortel.

Dari pasar-pasar tradisional yang dikunjungi, sayur produksi lokal misalnya daun labu, kacang komak, kelor, dan lainnya yang hidup di daerah kering kalah banyak dari jenis sayuran di atas.

Jenis tanaman biofarmaka atau herbal seperti jahe, laos, kencur, lidah buaya, dan kunyit juga tak ada nampak data produksinya di Nusa Penida. Hanya diproduksi di Dawan, Klungkung daratan, yakni kunyit sebesar 11 ton pada 2018.

 

Salah satu keluarga petani rumput laut di Nusa Penida ini bersyukur ada penyelamat di tengah anjloknya pariwisata. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Keunikan lahan Nusa Penida

Lahan kering di Nusa Penida adalah kekuatan. Sebuah hasil penelitian bertajuk Analisis Degradasi Lingkungan Akibat Pembangunan Jalan Lingkar Nusa Penida oleh Kadek Diana Harmayani, P. Alit Suthanaya dari Program Pasca Sarjana Teknik Sipil Universitas Udayana, 2015. Dari ulasannya, nampak kekuatan lahan kering Nusa Penida ini yang terdiri dari formasi karang dan batu gamping.

Berdasarkan peta Geologi yang ditulis oleh Purbo-Hadiwidjoyo (1998), formasi geologi wilayah Pulau Nusa Penida sebagian besar merupakan formasi selatan (Tmps) dengan litologi berupa batuan miosen tua dan batuan kapur miosen muda. Batuan pada formasi ini sebagian besar berupa batu gamping keras dengan ketebalan berkisar 600 meter dan merupakan batuan sedimen (endapan) kimia jenis batu kapur fosil. Formasi ini terbentuk pada daerah akumulasi kalkaris dari fosil kerangka terumbu karang.

Struktur geologis Formasi Selatan menunujukkan bahwa perbukitan batu gamping di bagian selatan perbukitan merupakan bagian yang terangkat sehingga sepanjang pantai selatan perbukitan ini berupa batas yang terjal dan curam. Berdasarkan peta jenis tanah tinjau Provinsi Bali (Dai dan Rosman,1970), jenis tanah pada kawasan lokasi kegiatan termasuk berjenis Mediteran Coklat Kemerahan merupakan jenis tanah yang bahan induknya berupa batuan kapur, tersebar di seluruh kawasan karst Nusa Penida.

Sedangkan jenis tanah allivial di kawasan ini terdapat pada wilayah yang terbatas. Tanah jenis regosol coklat kelabu yang bahan induknya adalah endapan laut tersebar pada wilayah yang paling terbatas yaitu hanya terdapat di sepanjang pantai.

Pulau Nusa Penida yang merupakan Formasi Selatan dengan litologi batu gamping yang secara hidrogeologi terpisah dari daratan Pulau Bali, sehingga water recharge-nya (proses pembentukan air tanah) hanya berasal dari air hujan.

Air yang masuk ke dalam tanah akan mengalir ke daerah yang lebih rendah sebagai aliran/sungai bawah tanah yang dapat muncul sebagai mata air. Beberapa mata air yang memiliki debit air cukup besar yaitu mata air Penida,mata air Seganing 175 lt/detik , Temaling , Guyangan , dan Pelilit . Total potensi airnya adalah sebanyak 800 lt/detik . Semua mata air tersebut muncul di tepi pantai dengan tebing yang curam (di bawah jurang) sehingga sulit dijangkau. Air dari mata air Penida sudah diangkat ke atas dan ditampung kemudian didistribusikan melalui jaringan pemipaan.

Kondisi geografis dan tanah kering ini membuat jenis pertanian yang tumbuh subur adalah palawija seperti jagung, kacang-kacangan, dan ubi kayu. Untuk menambah varian sayuran lain, sejumlah warga mencoba sejumlah siasat.

Misalnya Ari Setyawati, yang membuat area hidroponik di atap hotelnya di Desa Ped, Nusa Penida. Ia membuat green house, sebuah area tertutup dengan dinding dan atap plastik bening dengan rangka baja ringan untuk mencegah hama dan memastikan kebersihannya.

Dalam rumah kebun ini berderet demplot-demplot sayuran terutama pelengkap salad seperti selada air, pokcoy, terung, kangkung, bayam, paprika, timun, cabai, tomat, dan lainnya. Semua kebutuhan utama restoran dan dapur hotelnya. Walau di kawasan hotelnya ada akses air dari PDAM, ia mencoba menghematnya dengan memanfaatkan air keluaran pendingin udara (AC) dari kamar-kamar hotelnya.

Namun berkebun hidroponik akan sulit di kawasan tanpa akses air, hanya mengandalkan tabungan air hujan atau sumber air yang terbatas. Hal ini dialami sejumlah warga di pesisir barat sampai timur Nusa Penida. Warga yang bisa mengakses laut akhirnya kembali berladang rumput laut. Salah satu sentranya adalah Desa Suana. Patok-patok kayu memenuhi pinggir pantai sampai sekitar 100 meter ke arah kaki langit. Gubuk-gubuk bambu hidup dari pagi sampai sore.

 

Topografi pulau dari gugusan karang dan batu gamping ini membuat lahan pertanian di Nusa Penida istimewa. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Solusi pertanian berkelanjutan

Sayu Komang Sri Mahayuni, aktivis perempuan Yayasan IDEP yang aktif mendampingi petani dengan program permakultur di sejumlah daerah di Indonesia membagi pengalamannya mendampingi warga. Dari program pemberdayaan di Nusa Penida yang berjalan hanya satu tahun dengan GEF SGP melalui Yayasan Wisnu, ada kerjasama dengan 3 petani untuk menjadi petani benih lokal.

Beberapa keluarga masih menerapkan kebun pekarangan mereka meski masih butuh pendampingan intensif. “Untuk membentuk mindset keluarga bahwa pendapatan tidak hanya dari pariwisata,” ujarnya.

Tantangan paling besar adalah kebiasaan masyarakat yang sebagian besar tergantung pada pariwisata. Sementara tantangan cuaca dan iklim masih bisa diatasi dengan solusi sistem pertanian lahan kering. “Pengalaman kami di wilayah Flores, akan berkelanjutan jika kita dampingi intensif 3-5 tahun,” lanjut Sayu.

Untuk pertanian skala besar paling cocok komoditas yang mampu menyesuaikan dengan perubahan iklim dan kondisi iklim kepulauan seperti kelapa, sorgum, jagung, buah, dan tanaman konservasi seperti bambu. Dengan kondisi seperti di Nusa Penida, kebijakan saja menurutnya tidak cukup.

“Perlu ada tindaklanjut dan aplikasi support pertanian yang nyata di lapangan,” sebutnya.

Karena Nusa Penida membuktikan sistem teras batu (terasering batu) merupakan sistem terbaik di Bali dengan kontur dan karakter tanahnya. Ini bisa menjadi daya tarik dan daya jual yang tinggi. Jika pemerintah serius maka jadikanlah pertanian lahan kering dengan sistem lokal mereka sebagai program utama. Demikian juga pariwisata diarahkan ke pariwisata agro lahan kering.

Masalah klasik lainnya adalah pengolahan hasil panen. Kadek Suandra, petani 42 tahun ini sedang kebingungan. Ia terpaksa membuang sebagian hasil panen sorgum putihnya sekitar 100 kg untuk ternak karena gagal mengolah. Ini hasil panen pertamanya setelah mendapat bantuan bibit dari pendampingnya. “Sudah campur beras, tapi tidak menyatu, rasanya aneh,” keluhnya.

Padahal ketika mencoba menanam tak sulit, misalnya ia hanya menggunakan pupuk 2 kg, urea dan kandang. Hasilnya pun bagus karena bisa dipanen 2-3 kali.

Akhirnya ia fokus tanam jagung saja di lahan sekitar 50 are, hasilnya sekitar 4 ton. Bibit hibrida dibeli di pasar. Ia memilih hibrida dibanding jagung lokal yang lebih putih karena hasilnya lebih banyak dan besar. Jika hibrida satu tongkol bisa sampai 25 cm, lokal hanya sekitar 10-15 cm. Namun ia masih menanam varietas lokal sekitar 10%.

 

Petani rumput laut menuju laut yang sedang pasang untuk merawat ladang rumput lautnya di Nusa Lembongan, Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Gede Sugiarta, Koordinator Program Ecologic Nusa Penida dari GEF SGP mengakui pentingnya pendampingan pasca panen ini. Pihaknya sudah mencoba olah jadi kue seperti cookies dan hasilnya enak. Awal program ini untuk melihat apakah sorgum putih bisa berhasil ditanam dan jenis sorgum putih yang bibitnya dari Flores Timur ini memiliki nilai jual lebih tinggi di perkotaan, sekitar Rp30 ribu/500 gram tepung sorgum.

Ia menyebut masyarakat yang telah didampingi ada di Banjar Semaya-Suana, Banjar Tanglad-Tanglad, Banjar Mawan-Batumadeg, Banjar Dinas Batukandik 2-Batukandik, Pura Saab-Batumadeg, Pura Puncak Mundi-Klumpu, Banjar Pulagan, dan Banjar Jurangaya-Kutampi Atas.

Pemahaman yang diberikan tentang pupuk organik cair dan cara tanam di lahan kering, ternyata bisa menanam sayur di Nusa Penida dan bisa panen di musim kering. Namun untuk beberapa wilayah seperti Semaya, Tanglad, Kutampi Atas yang tidak mendapatkan saluran PDAM agak sulit menerapkan pertanian pekarangan rumah. Air minum hanya cukup untuk kebutuhan rumah tangga. Sehingga masyarakat hanya mengandalkan musim hujan untuk bercocok tanam.

Menurutnya ada kemungkinan pertanian akan ditinggalkan lagi apabila pariwisata normal kembali. Strateginya, fokus pendampingan di area lahan kering yang tidak begitu tergantung pada usaha pariwisata.

Lainnya, serius menggarap ternak sapi masyarakat agar nilai jualnya tidak murah, di Nusa dihargai Rp40ribu/kg, di Bali bisa Rp80 ribu/kg. Pihaknya menyebarluaskan penerapan pakan ternak kering bagi peternak saat musim kering dan subsidi molasis/jamu ternak sebagai vitaminnya.

Strategi lain adalah menggerakkan BUMDes untuk menyediakan kebutuhan peternak dan petani yang ramah lingkungan (bukan pestisida atau benih hibrida) karena toko pertanian/peternakan sulit ditemukan di Nusa Penida. Ia berharap bantuan pestisida dan benih hibrida dihentikan, memanfaatkan potensi lokal yang ramah lingkungan.

Selain itu memberikan bantuan cubang-cubang air di lahan pertanian masyarakat, identifikasi pengembangan pertanian/peternakan karena berpotensi sebagai lumbung pangan walaupun pariwisata marak kembali.

Ia berharap para pihak mengurangi program yang sifatnya administrasi dan seremonial dibandingkan aksi nyata. Membuka akses pasar bagi hasil ternak/pertanian lokal di sektor pariwisata, dan mengharuskan pengusaha menyerap hasil pangan lokal dengan harga baik. “Sekaranglah saat yang tepat untuk menggencarkan pertanian/peternakan sebelum pariwisata marak kembali,” sebutnya.

 

Sebagian besar warga Lembongan, Nusa Penida, Bali, kembali bertani rumput laut ketika sektor pariwisata ambruk selama pandemi ini. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Laporan terkait rantai nilai rumput laut di Indonesia bisa dibaca dari laporan berjudul Value Chain Analysis Indonesia Seaweed Extracts Commissioned by The Centre for the Promotion of Imports from developing countries (CBI) ProFound, February 2019.

Disebutkan, sejumlah kelemahan pertanian komoditas ini adalah kurangnya manajemen sumber daya. Banyak proses pengolahan rumput di Indonesia bertindak sebagai pedagang dan tidak mengambil tanggung jawab untuk memastikan supply chain dalam hal volume, kualitas, dan penelusuran. Khususnya di pasar Eropa, produksi dinilai tidak mengembangkan produk yang memenuhi kebutuhan pasar, tidak sesuai dengan kualitas, dokumentasi, sertifikasi, atau jalur yang tepat untuk memperkenalkan produk-produk inovatif ke pasar Eropa.

Muhammad Hariyadi Setiawan dari EntreVA, Food and Agri Business Enabler dalam sebuah diskusi yang dihelat Climate Tracker pada 3 September lalu berharap kembalinya warga bertani rumput laut di Nusa Penida mendapat jaminan dari pemerintah. Misalnya mendorong kebijakan yang membuat para pembudidaya tetap nyaman berproduksi.

Misal memudahkan informasi akses insentif buat produsen selama masa pandemik ini. “Bagaimana rumput laut bisa menjadi pendapatan utama warga hingga nanti situasi membaik dan turisme/wisata bergiat kembali. Sehingga wisata nantinya menjadi bonus penghidupan warga melengkapi penghidupan utama dari sektor produksi pangan,” harapnya. Tidak kembali mematikannya.

Sistem pangan handal dan berkelanjutan mensyaratkan penguatan stimulus pangan, subsidi untuk masyarakat dengan daya beli rendah, menjamin tata niaga pangan seperti perdagangan, standar, dan regulasi. Memperkuat penyimpanan, pengolahan, dan manufaktur.

Stabilitas akses pangan seperti keberlanjutan, pengendalian inflasi, promosi, labelling, pengemasan, serta keamanan dan informasi pangan. Penguatan korporasi petani dan efisiensi distribusi pangan meliputi memperkuat sistem pasar, grosir dan retail, rantai pasok, dan lainnya.

Dilihat dari gizi dan pola konsumsi, berdasar data Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian 2014-2018 menyebutkan keragaman pangan di Indonesia masih rendah. Dari parameter pemenuhan pangan, yang berlebih adalah beras, minyak, lemak, dan gula. Masih rendah di protein hewani, sayuran, buah, dan kacang-kacangan.

Padahal keragaman pangan Indonesia termasuk kaya, misalnya sumber karbohidrat ada 77, namun fokus pemenuhan pangan hanya beras. Kemudian sayuran 228, kacang-kacangan 26 jenis, sumber protein 75 jenis, dan lebih dari 300 jenis buah.

 

Exit mobile version