Mongabay.co.id

‘Tarreang’, Sumber Pangan Kaya Nutrisi Orang Mandar

 

 

 

 

 

Motor melesat menuju wilayah perbukitan Pedalaman Tarreang, yang terhubung dengan Pambussuang, bagian pesisir Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat. Jalan beton berlubang, dengan lereng kebun kakao kanan kiri. Jalan itu berakhir di Galung Lego.

Di kampung ini, warga tanam jewawut. Israt baru pulang dari ladang jewawut, Agustus lalu.

Jewawut merupakan tanaman warisan keluarga. Di Kampung Tarreang, keluarga Israt pertama kali memulai berladang jewawut, secara turun menurun.

Di Polman, jewawut dikenal dengan sebutan tarreang, serupa dengan nama Kampung Tarreang. “Kata orang itu makanan burung, kalau di sini, kita makan setiap hari,” kata Israt.

Ladang Israt, tercetak di punggungan bukit sebelah, dibelah sungai kecil, tiga kilometer dari rumah panggungnya.

Saban pagi, berdua dengan sang kakak, Subur, Israt berjalan kaki ke punggung bukit. Menerabas hamparan ilalang, menuruni jurang, lalu menanjak jalan kecil yang dibuka peladang. “Itu sudah biasa.”

Ladang Israt melandai ke jurang, 200-an meter di atas permukaan laut sekitar dua hektar. Ia tercetak terasering dengan bongkahan batu kapur. Ladang tandus itu mengandalkan curah hujan. Ketika kemarau, begitu kering dan berpasir.

Di hamparan itu, tarreang tumbuh dengan tanaman lain. Ada jagung, kelapa, cabai, dan bawang Mandar (sejenis bawang prei).

Sepintas, tarreang seperti rerumputan liar, menjulang tak lebih dua meter. Batang kecil, dengan dedaunan melonjong kecil macam jagung, berselang-seling. Bulir tarreang berbulu halus, menggelantung di pucuk tangkai, bergerombol seperti bunga bayam. Biji tarreang kecil, berbentuk bulat, tetapi padat.

Tarreang di ladang itu, mulai menguning. Sebentar lagi panen.

Menanam tarreang, bukan perkara sulit. Hanya perlu menyiapkan lahan dan menabur benih dengan usia panen 75 hari tanpa perawatan berlebihan. Tak perlu irigasi macam padi. Bahkan, bisa tanpa pupuk.

Ketika tumbuh, Subur mencabut batang tarreang, untuk memberi jarak lowong. Jarak padat bikin tarreang tumbuh kurus.

Tarreang tak punya perlu racun kimia. “Cuma dongi-dongi (kelompok burung pipit), nanti kalau berbuah baru dijaga sampai panen. Kan makanan burung ini,” kata Subur terbahak.

“Biasa juga ada ulat-ulat kecil, warna merah. Tapi tidak terlalu banyak.”

 

Ladang tarreang di Kampung Tarreang. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Di atas ladang, Subur membentang tali senar ke berbagai arah. Ujung tali terikat potongan seng, plastik, daun kelapa, dan berhilir ke pondok kebun. “Kalau ada burung, tinggal tarik ini.”

Menanam tarreang, kata Subur, murah tetapi untung selangit. Di pasar, harga perliter cukup mahal dibanding beras yang dihargai Rp10.000. Kalau masuk Ramadan, atau hari raya Islam, perliter bisa Rp35.000. “Sekarang turun, Rp20.000.”

Di Galung Lego, tarreang punya peran sejajar dengan beras. Ia terolah jadi sokkol (songkolo), uleq-uleq (bubur gula merah), jepa (roti pipih), dodol, buras, atau umumnya dikukus bersama nasi. Kadangkala, warga menggiling biji tarraeng menjadi tepung.

Di Galung Lego, berladang tarreang adalah tradisi suku Mandar. Ia sudha jadi budaya mulai ribuan tahun silam.

 

***

Sekitar 10.000 tahun Sebelum Masehi (SM), di suatu kawasan yang melengkung dari bagian negara Iran, ke selatan Turki, hingga pantai Levantine sebelah timur Laut Tengah Mediterania, para pemburu-pengumpul menemukan jewawut tumbuh liar bersama gandum.

Di kawasan yang dikenal dengan Bulan Sabit Subur itu, para penduduk mulai budaya pertanian. Dari sinilah, budidaya jewawut mulai.

Sesuai nama, kawasan itu subur dan bagus untuk bertani. “Banjir tahunan yang terjadi di kawasan itu tidak hanya menyediakan air dalam jumlah melimpah,” kata Paul McMahon dalam bukunya Berebut Makan: Politik Baru Pangan. “Tetapi juga menimbun pasokan segar zat-zat bergizi dalam tanah setelah musim panen yang dapat memperbarui tingkat kesuburan.”

Budaya pertanian juga berkembang di beberapa tempat, Tiongkok, Amerika Tengah, Papua Nugini, dan kawasan tropis Afrika.

Di antara semua, Tiongkok memulai lebih awal. Sekitar 7.500 SM, di dataran rendah Sungai Kuning, orang-orang membudidaya jewawut sebagai pangan utama, bukan padi.

Sekitar 10.000 kilometer ke Afrika, orang-orang Suku Bantu memboyong sistem pertanian mereka ke seantero benua itu dengan penaklukan atau berbaur dengan suku lain. Hingga 300 Masehi, orang-orang Bantu menguasai nyaris seluruh benua Afrika. Mengubahnya sebagai ladang bebuliran dan jewawut, melalui pertanian tebas bakar.

Bagaimana jewawut bisa menyebar ke nusantara? Nani Somba, peneliti dari Balai Arkeologi Makassar mengatakan, jewawut diboyong gelombang migrasi para penutur Autronesia, sekitar 6.000 tahun lalu. Mencapai Sulawesi melalui jalur migran orang Tiongkok—dikenal dengan out of Taiwan.

Di mengatakan, jewawut berkembang di Tiongkok, setidaknya 3.000 tahun lalu. Sebelum sampai ke nusantara, jewawut dikembangkan di Taiwan dan Thailand. “Intinya, jewawut pernah berkembang di Asia Timur dan Asia Tenggara.”

 

Subur di ladang tarreang. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indoensia

 

Para migran itulah yang hingga turun menurun nenempati nusantara, dan mempengaruhi bahasa.

“Seperti penamaan jewawut. Ada pengaruh bahasa Austronesia. Di Enrekang, ba’tang. Di Bone, wutteng, bunyi akhirannya sama,” kata Nani.

Orang-orang nusantara masa silam, katanya, punya hubungan erat dengan jewawut. Sebagai pangan pokok maupun disertakan pada tiap ritual. Di beberapa daerah di Sulawesi, pelestarian jewawut bertahan, namun di sebagian daerah sudah lama ditinggalkan.

“Seperti Bone (Sulawesi Selatan), sudah tidak ada lagi. Paling jadi makanan burung.”

Di Enrekang, Sulawesi Selatan, jewawut lestari lewat ritual-ritual masyarakat setempat, seperti maccera manurung. Ia perayaan panen dan penghormatan pada leluhur dengan persembahan jewawut. Di beberapa tempat juga demikian. Jemawut jadi bagian budaya masyarakat sampai sekarang.

“Maka, jewawut itu dilestarikan untuk kepentingan ritual. Sekarang, nilai-nilai sakral itu berkurang karena perkembangan jaman,” kata Nani.

Selain itu, katanya, masyarakat sudah menganggap bukan sebagai pangan sehari-hari seperti beras, hanya sebagai makanan sampingan. “Anak-anak sekarang mana tahu jewawut.”

Di Mandar, selain memperkaya kuliner, jewawut masih bagian ritual. Pada makkuliwa, satu ritual meminta berkat dan menolak bala, atau ketika peringatan hari lahir Nabi Muhammad pakai jemawut. Lewat perhelatan khusus itu, kata Ridwan Alimuddin, pegiat Budaya Mandar, jewawut mampu terjaga.

“Tinggal dikampanyekan ke masyarakat umum untuk tetap mengkonsumsi tarreang di acara-acara khusus. Kalau orang banyak konsumsi, petani juga bersemangat menanam di musim-musim mendatang.”

Tarreang, kata Ridwan, berkaitan dengan ilmu pengetahuan, mata pencarian, dan teknologi yang jadi unsur budaya. Pengetahuan tentang tanda-tanda musim, teknik penyebaran benih, hingga teknik panen, dengan pakai raqapang, pemotong tandan buah tarreang yang digerakkan jari. Alat itu lazim dikenal dengan ani-ani atau ketam.

Di tempat lain, menanam tarreang punya perlakuan khusus. Tiap tahap diselingi ritual. “Ritual itu diyakini sebagai penangkal hama serangga,” kata Ridwan.

 

Bu;ir tarreang. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Ketahanan pangan

Di Galung Lego, tarreang, telah membentuk pola ketahanan pangan mereka. Ia bisa bertahan dan jadi persediaan pangan berbulan-bulan.

Selain Galung Lego, tarreang juga dikembangkan di Bala, Galung Tulu, Lambanan, dan di Ulumanda, daerah yang terisolir jalan rusak di Kabupaten Majene. Di Majene, jewawut dikenal dengan bailo, jenis berbeda yang ditemukan di Polman.

“Kalau pemerintah serius mengembangkan jewawut [untuk menopang ketahanan pangan], saya kira berpotensi sekali,” kata Makmur, agronom Universitas Sulawesi Barat (Unsulbar).

Kan, masyarakat di desa itu sudah terbiasa menanam jewawut. Punya pengalaman tradisional mengembangkan jewawut sejak dulu.”

Selama ini, pemerintah luput mempertimbangkan kondisi iklim ketika mengembangkan komoditas pertanian. Di wilayah masyarakat berladang tarreang, kata Makmur, pemerintah mengandalkan jagung. “Padahal, itu salah hamparan. Di sana, jagung tidak bisa menghasilkan tongkol bagus, karena selalu kekeringan.”

Makmur bilang, perlu ada pewilayahan komoditas pertanian. “Hingga jangan dipukul rata, di mana-mana [jagung] dikembangkan.”

Bila ingin serius, katanya, pemerintah mesti menguatkan dan membina kelompok peladang jewawut. Juga memastikan pupuk tersedia, bangun pabrik penggilingan jewawut dekat wilayah pengembangan dan mewadahi pemuliaan benih.

Ketika kelak berhasil, produksi jewawut bakal stabil. Kebutuhan pangan masyarakat lokal pun, katanya, terpenuhi dan menyisakan banyak jewawut buat dijual. “Mereka juga bisa menjual ke masyarakat kota untuk konsumsi,” kata Makmur.

“Kalau masyarakat kota membeli, ada mutualisme antar kota dan desa, kota sebagai penyangga produk-produk dari desa.”

Secara ekonomi, tarreang menguntungkan. Makmur pernah menganalisis pendapatan 30 peladang tarreang di Desa Lego, Polman. Dari hitungan bersih, seorang peladang bisa meraup Rp4 jutaan sekali panen, setelah dikurangi ongkos produksi Rp2 jutaan. Lebih murah lagi, bila memakai tai kambing yang diternak warga setempat sebagai pupuk.“Artinya, dari keuntungan itu, layak dikembangkan dari segi pertimbangan statistik.”

 

 

Kurang dilirik

Di Sulawesi Barat, banyak orang tak tahu tarreang. Politik beras yang begitu masif separuh abad terakhir, membuat tarreang seakan terlupa. Padahal, kandungan gizi tarreang terbilang unggul.

Analisis gizi di Laboratorium Biokimia Institut Pertanian Bogor, pada 2017 memperlihatkan, dari dua jenis jewawut dari Polman (tarreang), mengandung asam amino—esensial dan non esensial—lebih tinggi dibanding jewawut dari Gambirmanis. Asam amino bagi manusia penting, terlebih bagi kesehatan jantung dan stamina tubuh.

Protein tarreang 6,78%, unggul dari beras putih Ciherang yang hanya 5,54%. Sedangkan kadar lemak, 3,85%. Satu liter jewawut bisa mengenyangkan 10 orang.

Serat jewawut lebih tinggi kalau dibandingkan beras putih atau merah. Kandungan vitamin B dan C biji jewawut juga relatif tinggi. Data lain menyebut, jewawut mengandung gluten elastis, kedap udara, hingga tidak mudah putus jika tepung jewawut dibikin mie.

Kelebihan tarreang tidak berhenti pada gizi. “Dalam kaitan dengan ancaman krisis pangan di pemanasan global, jewawut tentu dapat diandalkan,” kata Titi Juhaeti, peneliti ahli utama Bidang Fisiologi Tumbuhan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Mengapa? Menurut Titi, ada banyak alasan, seperti kemudahan budidaya, umur panen pendek, dan gizi tinggi. Belum lagi, pengelolaan pascapanen sederhana. Kemudian, ketahanan tumbuh di lingkungan marjinal, seperti lahan kering dan lahan ternaungi 25%.

Di Sumba Timur, katanya, jewawut menjadi pangan alternatif pengganti beras dan jagung ketika paceklik. Kondisi tanah kering di Sumba menunjukkan kalau jewawut mampu beradaptasi.

“Dapat tumbuh di lahan kering tidak berarti tanaman itu tidak perlu air untuk pertumbuhannya,” kata Titi. “Jewawut bisa tumbuh di lahan kering, dengan catatan, air tersedia terutama pada saat awal tumbuh.”

 

 

***

Tarreang yang Israt tanam ketika penghujan, sudah panen. Tandan tarreang dia ikat, lalu jemur di teras rumah panggung. Dari ladang yang tak lebih sehektar itu, Israt memanen sekitar 300 liter tarreang.

Israt dan Subur tak menjual semua. Sebagian mereka bagi ke tetangga, sebagian disimpan buat dimakan saban hari. Bila tersisa, tarreang baru jual ke Pasar Pambussuang dan Campalagian, Polman.

“Ada sekitar Rp5 jutaan kalau dijual semua. Cuman kita utamakan dulu tetangga,” kata Israt.

 

Tulisan ini dukungan dari Climate Tracker’s Sustainable Diets Journalism Fellowship

 

 

Ladang tarreang Israt dan Subur. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version