Mongabay.co.id

Bisakah Manusia Berdamai dengan Macan Tutul Jawa?

Macan tutul jawa, yang sering disebut macan kumbang ini, tersebar merata dari ujung barat hingga ujung timur Pulau Jawa. Foto: Conservation International/Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

 

 

Konflik antara manusia dengan macan tutul jawa [Panthera pardus melas] kerap terjadi. Akankah pertikaian ini berakhir?

Hendra Gunawan, Peneliti Ahli Utama Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengungkapkan, sesungguhnya peran macan tutul jawa yang merupakan karnivora besar terakhir di Jawa, sangat penting bagi keseimbangan ekosistem.

Fungsinya menjaga keseimbangan populasi satwa mangsa sangat berpengaruh bagi lingkungan. Ini dapat dilihat dari jumlah babi hutan yang terjaga sehingga tidak menganggu kehidupan manusia.

“Dapat dipastikan keseimbangan ekosistem berubah keseluruhan apabila predator puncak ini hilang,” terangnya.

Hendra yang merupakan profesor riset konservasi macan tutul jawa mengatakan, tanpa kita sadari, karnivora ini juga menjaga kesehatan manusia melalui pengendalian satwa mangsa yang menjadi vektor pembawa penyakit.

“Dengan begitu, manusia terhindar dari penyakit zoonosis,” ungkapnya dalam diskusi webinar bertajuk “Berdamai dengan Macan Tutul Jawa: Mulai dari Mana?” belum lama ini.

Baca: Hendra Gunawan, Penjaga Asa Keberadaan Macan Tutul Jawa

 

Macan tutul jawa sering disebut macan kumbang, tersebar dari ujung barat hingga ujung timur Pulau Jawa. Foto: Conservation International/Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

 

Konflik

Harus disadari, rusaknya habitat merupakan ancaman besar kehidupan macan tutul jawa saat ini. Berdasarkan hasil penelitian, Hendra menyatakan, fragmentasi habitat berakibat pecahnya populasi macan tutul ini sehingga muncul metapopulasi.

Saat ini terdapat 49 metapopulasi, namun sebanyak 15 non-equilibrium metapopulation menandakan keberadaan habitatnya sebesar 31 persen yang tidak memadai dan terisolasi. Dampaknya adalah, apabila tidak ada treatment, maka kepunahan akan semakin dekat.

“Jika habitat seperti hutan dijadikan jalan tol, seterusnya tetap jalan tol. Tidak ada unsur terpulihkan karena bersifat permanen,” ujarnya.

Hendra menambahkan, apabila manusia belum bisa bersahabat dengan macan tutul, maka pertikaian akan tetap terjadi. Berdasarkan data, dari 1993 hingga 2020 sudah terjadi 180 konflik.

Kejadian terbaru, akhir Juni 2020, macan tutul jawa masuk perangkap yang dipasang warga Dusun Cikupa, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Satwa ini diburu karena turun ke permukiman dan diduga memangsa ternak warga.

“Konflik merupakan masalah kompleks. Dari segala sisi perlu diperhatikan, baik sosial ekonomi masyarakat maupun kehidupan satwa. Manusia sebagai penentu kebijakan perlu berperan adil sehingga menguntungkan kedua pihak,” jelasnya.

Hendra mengatakan, perlu dibuat konservasi khusus macan tutul agar terfokus pelestariannya. Selain itu, adanya pembinaan dan pemulihan habitat, translokasi dan reintroduksi, dan pembangunan koridor jelajah dapat dikembangkan sebagai solusi efektif meredam konflik manusia dengan macan tutul jawa.

Baca: Konflik Manusia dengan Macan Tutul Jawa Belum Berakhir

 

Relief di Candi Penataran sebagai simbol yang menggambarkan keharmonisan hubungan manusia dengan macan tutul. Foto: Dok. Didik Raharyono

 

Budaya dan spiritual

Didik Raharyono, Direktur Peduli Karnivor Jawa mengungkapkan, dari segi sosial budaya hubungan manusia dengan macan tutul sudah ada sejak lama, sebagaimana tergambar di relief Candi Penataran di Jawa Timur.

“Dari sisi budaya, banyak cerita di balik simbol yang mencerminkan manusia sejak zaman dahulu dapat berkomunikasi dengan macan tutul. Setiap kawasan yang terdapat macan tutul, memiliki kearifan lokal tersendiri,” ujarnya.

Dulu, terdapat kebudayaan yang disebut rampogan macan, sejak abad ke-17 hingga ke-19. Kegiatan tersebut berupa adu kerbau dengan macan atau harimau yang menjadi sebuah pertunjukan massal, layaknya gladiator.

“Namun, saat ini, macan tutul jawa menjadi target perburuan liar bahkan menjadi “musuh” apabila muncul di lingkungan warga.”

Dalam sisi spiritual, Didik meyakini, sejak zaman nenek moyang, masyarakat Jawa memegang teguh prinsip semua yang berada di alam merupakan ciptaan Tuhan. Keyakinan tersebut menggerakan jiwa raga mereka untuk dapat hidup berdampingan dengan macan tutul jawa, dengan cara menghormati dan melestarikannya.

Baca juga: Pertaruhan Nasib Macan Tutul Jawa dengan Manusia

 

Kedekatan manusia dengan seekor macan tutul jawa. Foto: Dok. Peduli Karnivor Jawa

 

Berdamai dengan macan tutul

Didik menjelaskan, pengamatan dan pengalaman turun temurun, seperti dari kakek hingga ke cucunya, sangat penting untuk diteruskan, sebagai bentuk kearifan pelestarian macan tutul.

“Kearifan ini masih ada, perlu digali lagi. Kita perlu juga menggandeng guru di sekolah agar dapat menyuarakan konservasi kepada generasi muda. Dengan begitu sinergi dapat diraih, macan tutul bisa hidup, ekonomi berjalan, dan pengetahuan bisa dipertahankan,” terangnya.

Didik menambahkan, kolaborasi pemerintah, masyarakat, komunitas dan pihak- pihak terkait seperti Perhutani yang sudah menerapkan HCV [High Conservation Value] untuk mengatur tata kelola kawasan dengan baik, harus dilakukan. Hal ini penting, agar pemahaman dan keterbukaan informasi terkait perlindungan macan tutul dapat dilakukan.

“Data mengenai perilaku, populasi, dan daya dukung habitat juga menjadi persoalan karena masih minim informasi. Kolaborasi akan menghasilkan informasi lebih cepat dan dalam. Hubungannya juga bisa lebih baik dan terbentuk regulasi komprehensif.”

Senada, Hendra mengajak para pihak untuk berbagi ide dan inovasi konservasi macan tutul jawa. “Kita bisa berkontribusi sesuai profesi, seperti anggota dewan membuat perda dan mahasiswa melakukan penelitian. Tidak perlu menuntut orang lain karena belum tentu dilakukan,” ujarnya.

Pendekatan budaya dan ilmu pengatahuan bisa menjadi solusi. Partisipasi seluruh pihak untuk turut andil dalam konservasi macan tutul bisa menjadi tonggak perubahan. “Apabila dapat diwujudkan dengan baik maka konflik bisa dihentikan dan kita sebagai manusia dapat hidup damai dengan macan tutul jawa,” jelasnya.

Kalau bukan kita, siapa lagi?

 

* Muhammad Arkan Dzaky, Divisi Mammalogi Himbio Universitas Padjadjaran [Unpad]

 

 

Exit mobile version