Mongabay.co.id

Ketika Wilayah Adat Rakyat Penunggu Tergusur di Tengah Pandemi

alat-berat-milik-PTPN-2-meKarokaronghancurkan-rumah-masyaraakat-adat-dan-tanaman-tanaman-yang-ada-di-sekitarnya-Ayat-S-.jpg

 

 

 

 

Jerit dan tangis histeris puluhan perempuan dan anak-anak, pecah di wilayah adat Rakyat Penunggu Kampong Durian, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, Selasa pagi (29/9/20).

Suara bentakan keras saling bersahutan dari sejumlah pria berbadan tegap menyuruh mereka pergi. Warga menghalangi alat berat masuk ke wilayah mereka.

Bentakan itu keluar dari sekuriti PTPN II yang berupaya ambil alih lahan yang mereka sebut masuk dalam izin hak guna usaha perusahaan pelat merah itu.

Para perempuan adat ini menjerit. Mereka ada yang ditendang dan terdorong hingga masuk ke parit. Bahkan seorang perempuan adat dari Kuala Begumit, Sandrah, dilarikan ke rumah sakit karena alami bengkak di dada dan pinggang.

Upaya menghalangi alat berat masuk ke wilayah adat gagal. Begitu alat berat masuk, langsung menghancurkan apa saja yang ada. Mereka hanya bisa menangis dan berteriak histeris.

 

 

“Kami didorong, dipijak anak-anak kami teterinjak-injak. Ibu-ibu ini yang sudah tua diangkat dicampakkan begitu saja ke pinggir hingga masuk ke parit ke dalam kubangan. Kami tak mampu menahan mereka masuk. Kami kalah jumlah. Di mana pemerintah? Tolonglah kami, tolonglah kami kembalikan tanah ulayat kami yang diambil paksa oleh PTPN II, ” kata Inun, sambil menangis memeluk anaknya menahan sakit pada bagian kaki.

Sejumlah aparat penegak hukum gabungan dari TNI dan Polri juga berada di lokasi untuk pengamanan.

Tanaman jeruk dan palawija hancur. Selama ini, hasil pertanian ini jadi penopang hidup masyarakat.

Karena begitu banyak yang mengalami cedera, mereka lebih fokus pengobatan. Bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumatera Utara, masyarakat adat yang jadi korban pergi ke Polres Langkat untuk membuat pengaduan penganiayaan terhadap mereka.

Sastra, kuasa hukum PTPN II menjelaskan, lahan yang akan dibersihkan dan ditanami tebu adalah HGU nomor dua dan nomor tiga, yang berlaku sejak 2013 hingga 2025. Artinya, lahan itu HGU aktif PTPN II.

“Karena itu, tidak benar ada klaim sepihak yang menyebutka PTPN II telah merampas tanah rakyat. Kami tidak akan membawa kasus ini ke jalur hukum, jika lahan akan dipergunakan lagi kembalikanlah,” katanya.

Irwan SP, Manager Kuala Mad PTPN II, mengatakan, setelah pembersihan lahan selesai mereka akan tanami dengan tebu. Penanaman ini merupakan dukungan untuk program pengembangan tebu untuk gula, dan swasembada gula nasional.

Untuk tenaga kerja, mereka siap menampung dari masyarakat sekitar. Dengan pengembangan areal itu, katanya, akan perlu tenaga kerja cukup banyak pula.

“Kami siap bekerja sama dengan pihak sekitar di kebun Kuala Madu. Ini lahan HGU PTPN II berdasarkan SK BPN jadi kami punya hak,” katanya.

Ansyurdin, Ketua BPH AMAN Sumut, mengatakan, masyarakat adat sejak 2006 menguasai kembali wilayah adat mereka yang diambil paksa perkebunan negara, PTPN II.Masyarakat adat terdiri dari 500 keluarga ini menguasai kembali lahan sekitar 117 hektar selama 15 tahun hingga kini. Mereka menggantungkan hidup dari lahan pertanian di sana.

Masa pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), saat perekonomian lumpuh, masyarakat adat Rakyat Penunggu Kampong Durian Selemak, mampu bertahan hidup dari hasil pertanian. .

Pengambilan tanah ulayat ini menyebabkan warga adat Rakyat Penunggu Kampong Durian Selemak kehilangan ruang hidup.

Terhitung sejak Agustus–September 2020, masyarakat adat Rakyat Penunggu merasa tidak aman dengan intimidasi dan teror dari aparat keamanan, baik TNI dan Polri yang membujuk warga menerima “tali asih” agar keluar dari wilayah adatnya.

Pemerintah Sumut dan Gugus Tugas Reforma Agraria Sumut didesak segera mengakui dan melegalisasi wilayah adat Rakyat Penunggu.

“Meminta Kanwil BPN Sumut untuk enclave HGU PTPN II di wilayah adat Rakyat Penunggu Kampung Durian Selemak,” kata Ansyurdin.

 

Warga panen biji kakao terakhir sebelum semua hancur oleh alat berat. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Ceritanya, belasan tahun lalu, warga adat Rakyat Penunggu Kampong Durian Selemak hidup miskin karena wilayah adat jadi HGU PTPN II. Para petua adat pun musyawarah dengan kesepakatan pengambilan kembali wilayah adat dari PTPN II. Kala itu, lahan telantar.

Pada 2006, warga adat menguasai tanah adat  seluas 110 hektar. Pada 2020, berkembang jadi 167 hektar. Selama di tangan masyarakat adat, lahan produktif. Mereka berladang dengan menanam berbagai jenis tanaman palawija, buah-buahan, , termasuk sawit.

Wilayah adat ini berada dalam administrasi pemerintahan Desa Pertumbukan, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat, Sumut. Mereka ada 500 keluarga dengan 280 perempuan dan 220 laki-laki. Di sana terdapat janda 50 orang dan 160 anak yatim.

Rata-rata satu keluarga mengelola tanah adat 12.5 rante setara 0,5 hektar. Dari hasil pengelolaan tanah adat, warga memiki pendapatan rata rata Rp2.500.000 per bulan.

Pendapatan ini untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti, makan, biaya pendidikan dan kebutuhan rumah tangga dan lain-lain.

Selain ladang, di sini warga juga bangun rumah. Ada sekitar 20 keluarga punya rumah untuk tempat tinggal yang dibangun dari hasil berladang.

Tak selamanya berjalan lancar. Sejak 24 September 2020, warga mendapat intimidasi dari PTPN bersama aparat TNI dan Polres Langkat untuk kuasai lahan dan menggusur sekitar 167 hektar.

Mereka mendatangani rumah warga satu per satu, baik pagi, siang dan malam hari. Mereka tawarkan menawarkan tali asih Rp2 juta untuk satu hektar dan Rp20 juta untuk bangunan rumah.

Tawaran tali asih ini ditolak warga juga pengurus Kampung Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI).

Mereka berhitung, lahan seluas 167 hektar itu, kalau per meter Rp10.000 saja, maka nilai asset wilayah adat ini 167 hektar x 10.000 meter x Rp10.000, sekitar Rp16,7 miliar.

“Nilai belum termasuk tanaman produktif yang menghasilkan miliaran pertahun, dan rumah-rumah permanen warga,” kata Ansyurdin.

Akibat penolakan tawaran tali asih, PTPN II bersama TNI dan Polres langkat, memberikan ‘pengumuman’ bahwa pada Senin 28 September 2020, akan melakukan pembersihan tanaman warga.

Sebelumnya, PTPN II bersama aparat TNI dan Polres Langkat sudah kuasai wilayah Rakyat Penunggu Kampong Pertumbukan, semua tanaman siap panen, lenyap tergilas buldoser.

Wina Khairina, peneliti agraria dari Articula mengatakan, konflik-konflik agraria melibatkan masyarakat adat, harus didekati dengan pendekatan khusus.

Masyarakat adat, katanya, memiliki sejarah asal-usul yang pembuktian bisa minta ke mereka. Kemudian pemerintah daerah verifikasi dan validasi kepada komunitas masyarakat adat mengenai bukti keberadaan mereka.

Dalam Permendagri 52/2014 menyebutkan, masyarakat adat bisa dikenali berdasarkan genealogy dan teritorial.

Dalam konteks Sumut, katanya, keberadaan masyarakat Rakyat Penunggu sudah memperjuangkan eksistensi, dan klaim wilayah adat sejak 1953.

BPRPI Kampung Durian Selemak adalah bagian dari masyarakat Rakyat Penunggu. Sebelum ada HGU PTPN II di Kebun Kwala Madu, masyarakat Rakyat Penunggu sudah lebih dahulu ada di wilayah itu.

 

Tanaman jeruk warga sebelum rata dengan tanah. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Kabupaten Langkat, kata Wina, memiliki Perda tentang Masyarakat Adat Langkat No. 2/2019. Untuk itu, katanya, langkah bagus kalau Pemda Langkat mengambil peran dalam menginisiasi pengakuan dan perlindungan masyarakat adat ini.

Kalau tak ada pengakuan dan perlindungan wilayah adat, masyarakat bukan hanya kehilangan hak atas tanah dan pengelolaan sumber daya alam, juga jaminan atas keamanan harta benda, hak atas pekerjaan dan penghidupan layak. Warga juga kehilangan hak atas perlindungan semasa pandemi.

Akumulasi konflik agraria ini, katanya, melibatkan banyak kepentingan dan aktor hingga tidak bisa tuntas hingga kini. Tentu saja, upaya perwujudan reforma agraria sejati di Sumut sedang teruji.

“Apakah para pihak memang memihak kepada kelompok-kelompok rentan khusus masyarakat adat, atau sebaliknya?”

Amnesty International Indonesia turut bersuara mengenai sengketa lahan antara masyarakat adat Penunggu di sumut dengan PTPN II ini.

Ary Hermawan, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia mengatakan, bulan lalu masyarakat adat Kinipan, sekarang warga Penunggu kehilangan hak tanah.

Menurut dia, begitu banyak masyarakat adat mengalami nasib serupa karena upaya pengalihan lahan kepada pihak tertentu. Banyak dari mereka, akhirnya terusir dari lahan mereka karena ekspansi oleh perusahaan-perusahaan skala besar.

Pemerintah dan aparat Indonesia, katanya, harus paham kalau tanah itu sumber hidup dalam memenuhi hak sosial dan ekonomi, termasuk pangan, air, pekerjaan dan tempat tinggal.

Pemerintah, katanya, belum sepenuhnya menjamin hak atas tanah, wilayah, budaya dan sumber alam yang, sebagian besar, mereka miliki turun-temurun. Dalam pembangunan, kata Ary, pemerintah seringkali melupakan hak-hak masyarakat adat dan tak melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan.

Aparat penegak hukum, kata Ary, sebaiknya mengedepankan interaksi dan jadi garda terdepan melawan segala bentuk perampasan hak-hak masyarakat adat. Aparat

Semestinya, mereka bisa dialog dan mendengarkan keluhan masyarakat. “Di masa wabah COVID-19 ini, katanya, perlindungan masyarakat adat seharusnya lebih diperhatikan.”

 

 

Keterangan foto utama:  Alat berat  PTPN II  menghancurkan rumah warga adat dan tanaman di sekitarnya. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version