Mongabay.co.id

Upaya Menjaga Kota Sebagai Habitat Lestari Hunian Manusia

Kota adalah habitat bagi 55,8 persen populasi  manusia Indonesia, dan diproyeksikan akan terus semakin meningkat pada tahun 2025, yaitu atau 170,4 juta jiwa (59,3 persen)  dari total penduduk Indonesia 287 juta jiwa (Worldometers, 2019). Dengan lebih dari setengah jumlah penduduk Indonesia tinggal di perkotaan, maka kualitas daya dukung wilayah kota akan menjadi isu yang semakin penting untuk dicermati.

Daya dukung ekologis kota, pun bakal menjadi sumber daya andalan bagi kelangsungan hidup warganya. Didalamnya, termasuk semua kebutuhan dan jasa ekosistem lingkungan yang diperlukan bagi warga perkotaan untuk memelihara kesehatan fisik, mental dan kesejahteraan mereka.

Secara sederhana ekosistem perkotaan mencakup segala flora, fauna, manusia yang  mendiami kota. Diluar bangunan dan infrastruktur lain fisik, maka kota memiliki taman terbuka, jalur hijau, danau dan area lain tidak terbangun, yang menjadi inti urban ekosistem yang didominasi oleh  manusia.

Ekosistem kota  juga menyediakan kebutuhan mendasar seperti sebagian bahan pangan, air bersih, menyediakan  sistem untuk pengendalian penyakit. Dari sisi manfaat lingkungan,  ekosistem kota  memberi manfaat  seperti  udara yang baik untuk dihirup, potensi untuk mengurangi penggunaan energi untuk pendingin udara.

Vegetasi tanaman di kota  membantu memperbaiki kualitas udara dan menekan  polusi suara, menyediakan ruang sosial  bagi warga untuk berinteraksi.  Fungsi lain yang vital adalah menyediakan sistem untuk bertahan dari  bencana  seperti banjir, erosi tanah dan dampak-dampak  lain dari perubahan iklim.

Dengan demikian, kita meyakini  begitu banyak  banyak alasan untuk mempertahankan kota sebagai habitat yang lestari.

Baca juga: Kawasan Cekungan Bandung Terpuruk, Akibat Rencana Pembangunan Buruk?

 

Daya dukung lingkungan perkotaan yang akan mempengaruhi kualitas hidup warganya. Ilustrasi dari kondisi permukiman padat yang tidak tertata di satu wilayah di Kota Bandung. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Permasalahan Keberlangsungan Ekosistem Kota Lestari

Bagi masyarakat perkotaan,  mobilitas manusia  dan kebutuhan energi rumah tangga  untuk  utilitas dan konsumsi menyerap sumber daya  yang  terbesar.  Sebagai contoh, pergerakan manusia di sektor transportasi dan konsumsi energi rumah tangga menempati porsi kedua pelepas emisi CO2e di DKI Jakarta berdasarkan data 2018. Sebab itu efisiensi merupakan salah satu kunci utama mempertahankan  kota sebagai habitat yang layak untuk ditinggali dalam jangka panjang.

Secara umum efisisensi  di perkotaan bisa dilakukan, diantaranya  melalui  penggunaan kendaraan umum dan menekan penggunaan energi di rumah tangga  dengan  pemanfaatan secara bijak  air dan penggunaan listrik.

Selain itu, salah satu konsekuensi urbanisasi adalah konversi lahan untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal dan infrastruktur di sektor lain seperti sektor publik dan komersil. Proses konversi lahan umumnya melibatkan lahan produktif  pertanian yang dikonversi menjadi lahan terbangun untuk kebutuhan yang bersifat sosial  dan ekonomi.

Prinsip konversi lahan hendaknya mempertimbangkan perencanaan penggunaan lahan secara  menyeluruh. Hal ini untuk memastikan keseimbangan antara kebutuhan untuk memelihara stabilitas fungsi  ekosistem perkotaan dengan  keniscayaan perkembangan kota.

Didalamnya, termasuk pertimbangan  ketersediaan ruang terbuka, taman,  jalur hijau,  ruang serapan air  dan vegetasi.  Disamping itu, penting untuk melakukan afirmasi bagi  populasi  yang rentan  di perkotaan  sebagai bagian dari tujuan  konversi lahan, seperti mengupayakan ketersediaan rumah yang terjangkau di lokasi tempat tinggal  yang terhindar dari potensi  untuk terpapar dampak bencana.

Baca juga: Banjir dan Politik Ekologi Perkotaan

 

Pesatnya pertumbuhan penduduk memberi tekanan bagi lngkungan. Sebagai contoh di Jakarta, ‘rumah’ air seperti rawa dan situ sudah berubah jadi pemukiman atau ‘hutan beton’. Daerah ini juga minim ruang terbuka hijau. Foto: BNPB

 

Kota Berbasis Solusi Alam

Nature-based solution (solusi berbasis alam) merupakan konsep yang muncul dari keinginan untuk mengintegrasikan pendekatan berbasis ekosistem  dalam perencanaan pembangunan.

Untuk konteks perkotaan, konsep ini memadukan gagasan untuk mempertimbangkan  keberlangsungan ekosistem  dalam setiap  tindakan untuk merespon kebutuhan  dan tantangan pembangunan.

Selain itu  pendekatan ini  merujuk pada pilihan-pilihan tindak yang mengedepankan ekosistem sebagai sebagai solusi. Beberapa contoh semisal sistem pengelolaan air bersih di perkotaan yang harus mencakup prinsip keberlanjutan, penyediaan jalur pedestrian hijau, pengaturan wilayah hunia dan ruang terbuka hijau, pemanfaatan vegetasi tanaman untuk melindungi kawasan pesisir dan rawan longsor serta menjaga keberadaan ruang terbuka  untuk fungsi serapan air.

Upaya berikutnya adalah memperbaiki perilaku  masyarakat. Sebagian masalah perkotaan berakar  pada  perilaku.  Sehingga  upaya untuk mempertahankan  manfaat ekosistem perkotaan  juga  berarti mengupayakan perbaikan perilaku masyarakat.

Namun, bagi sebagian masyarakat perkotaan, pertimbangan jangka panjang untuk kelestarian ekosistem belum menjadi bagian dari kesadaran kolektif. Segala tindakan untuk mempertahankan  manfaat ekosistem perkotaan seperti yang disebutkan sebelumnya tidak akan mencapai tujuan yang dikehendaki jika tidak  terjadi perubahan perilaku yang mendukung.

Masyarakat perlu  membiasakan diri dengan  perilaku yang berawal dari diri sendiri. Mulai dari  yang sangat populer seperti pengurangan volume sampah di sumber asal dengan menggunakan kembali atau menekan penggunaan material yang berpotensi menghasilkan sampah hingga sesedikit mungkin dan secara bijak mengelola  konsumsi.

Perilaku lain yaitu membiasakan ikut merawat fasilitas umum yang tersedia, mempraktekkan perilaku rendah karbon seperti menggunakan kendaraan yang hemat energi. Untuk mencegah polusi udara, pun sudah waktunya warga yang memiliki ekonomi yang lebih sejahtera, untuk menggunakan bahan bakar dengan kadar oktan yang lebih tinggi.

Perilaku  yang sama seharusnya juga menjadi prinsip  bagi sektor lain di perkotaan untuk sama-sama  mengubah perilaku  kelompok.  Sebagai bentuk ajakan untuk aktivitas kolektif warga urban, sudah waktunya ia menjadi bagian dari perilaku harian dan sikap yang melekat bagi setiap individu.

Pada akhirnya  kita berharap  tidak ada dikotomi dan barter antara kepentingan yang bersifat  ekologis dan ekonomi, yang dapat merusak dan memperburuk ekologi kota.

 

* Suryani Amin, penulis adalah C40 Climate Leadership City Advisor, artikel ini adalah opini penulis dan tidak mewakili organisasi

 

 

Exit mobile version