Mongabay.co.id

Saat Jaga Hutan bagian Tak Terpisahkan dari Konsep Adat Orang Uru

 

Wilayah Komunitas Adat Uru berada di salah satu lereng gunung Latimojong Kabupaten Enrekang. Untuk sampai ke sana, butuh waktu beberapa jam dari ibukota kabupaten mengendarai mobil, -melalui jalan beton berliku dan terkadang melewati jalan rusak, sebelum tiba di Desa Ledan, Kecamatan Buntu Batu, pusat komunitas ini.

Setibanya di rumah ketua adat, untuk sampai ke hutan adat, didampingi oleh pemandu lokal, Darwin dan Darmadi, saya melanjutkan perjalanan dengan kendaraan roda dua. Kendaraan roda empat tidak dapat melintasi, karena jalan yang berlumpur.

“Semua bentang ini, di sekitar lereng gunung adalah Hutan Adat Uru. Kawasan yang sudah diverifikasi sekitar 2.000 hektar. Seharusnya ini sudah ditetapkan, namun prosesnya terhenti karena adanya pandemi ini,” jelas Darwin. Dia juga salah satu pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Massenrempulu Enrekang.

Menurut Darwin, hutan di Uru masih terjaga terpelihara, baik oleh aturan pemerintah yang menetapkannya sebagai hutan lindung ataupun karena aturan adat.

 

Aziz yang disebut Nene’ Evi, pemangku adat tertinggi komunitas adat Uru bergelar Pejujung Bungah. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Menurut Azis, Ketua Adat Uru yang sering disebut Nene’ Evi, nama Uru diambil dari nama sebuah pohon besar di salah satu lokasi di dalam hutan. Dia bilang, kealamian hutan Uru masih terjaga. Bahkan di dalamnya masih bisa ditemui anoa, salah satu satwa endemik Sulawesi, di hutan tersebut.

Bagi orang Uru, hutan juga merupakan ruang dan pusat spiritual. Ada hubungan antara manusia dengan hutan, yang dinyatakan dalam ritual adat.

Ritual terbesar orang Uru adalah Maccera Manurung yang dilakukan sekali dalam 7 tahun. Dalam ritual ini terdapat penyembelihan kerbau hitam pekat (bolong kappu) atau biasa disebut tedong puju. Selain kerbau ada juga kambing dan ayam.

“Kerbau biasanya diambil dari daerah Bassarang Orong. Harganya sekitar 25-70 juta. Biayanya ditanggung adat dan masyarakat yang menyumbang,” jelas Nene’ Evi.

Ritual lain adalah Memalah Padang, yang dilaksanakan lima tahun sekali. Terakhir ritual ini dilaksanakan pada Maret 2018 silam.

Tujuan ritual ini agar tanaman yang diusahakan warga tumbuh dengan baik, dan permohonan doa kepada pencipta agar kehidupan warga senantiasa sejahtera dan dipenuhi keberkahan.

“Di ritual memalah ini setiap rumah tangga memotong 3 ekor ayam warna apa saja selain warna putih. Ini semacam cera tanaman, di dalam tabo atau hutan yang di dalamnya terdapat sebuah pohon yang disebut banga, sejenis pohon yang berukuran besar dan tinggi,” jelasnya.

Ada juga ritual yang disebut Menammu, yang dilaksanakan setiap tahun, bertujuan sebagai tolak bala, menolak masuknya penyakit ke dalam kampung. Ritual ini sempat dilakukan bulan Juni lalu sebagai tolak bala atas wabah Corona.

“Dalam ritual ini antara lain dilakukan mappeong, yang dimakan bersama telur. Ada tiga jenis ayam yang dipotong, yaitu Manu Sapang, ramme dan jenis ayam apa saja.”

 

Hunian dan hutan yang masih terjaga. Warga komunitas adat Uru sebagian besar adalah petani kopi, cengkeh, merica, dan padi. Dengan terbitnya SK Hutan Adat mereka berharap bisa mengelola hasil hutan seperti rotan dan damar. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Adat Jaga Hutan

Menurut Nene’ Evi, meski selama ini dalam penguasaan negara, Hutan Adat Uru dijaga dengan mekanisme adat. Terdapat aturan pengelolaan hutan yang tegas. Misalnya, terdapat larangan menebang pohon di kemiringan tertentu.

“Pohon yang berada di kemiringan tertentu tak boleh ditebang. Anoa juga tak bisa diambil karena dilindungi oleh negara dan adat. Kalau ada yang melanggar maka akan diberi sanksi adat berupa denda dan tidak akan dilayani ketika melakukan ritual pribadi di rumah masing-masing,” ujarnya.

Untuk kebutuhan pembangunan rumah, selama ini mereka memanfaatkan kayu yang ditanam di dalam kebun atau sekitar hutan.

Rencana penetapan hutan adat oleh pemerintah disambut baik masyarakat karena memberi ketenangan dan keleluasaan bagi mereka untuk mengelola hutan sesuai prinsip-prinsip adat yang berlaku.

“Kalau sudah ada SK hutan adat nanti kami akan mengelola hasil hutan, misalnya paling potensial itu rotan. Dulu kan tidak bisa. Kami juga bisa tanam kopi dan panili. Ada juga kayu songka, nato dan afrika yang bisa dimanfaatkan.”

Pengelolaan hutan ini nantinya dilakukan melalui skema Kelompok Tani Hutan Adat yang merupakan kelompok ekonomi masyarakat adat.

 

Salah satu perempuan yang sedang menjemur hasil bumi. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Kelembagaan Adat Uru

Komunitas adat Uru memiliki 12 orang pemangku adat yang dipimpin oleh tetua adat yang disebut Tomatoa Pejujung Bungah, yang terdiri dari dua orang. Mirip ketua dan wakil ketua dalam struktur organisasi. Mereka dipilih berdasarkan garis keturunan.

Pejujung Bungah dapat diartikan sebagai orang yang memikul beban, atau yang bertanggungjawab. Diambil dari kata jujung yang berarti dibawa di atas kepala, sementara bungah adalah ‘awal’ atau ‘utama’.

Ketika Tomatoa Pejujung Bungah meninggal atau diganti, maka penggantinya bisa dari anak, saudara atau keponakan. Pemahaman atas sejarah komunitas dan faktor usia menjadi salah satu pertimbangan utama.

Pejujung Bungah bisa diganti kalau ada kelakuan yang dianggap melanggar adat atau kondisi sulit yang berlarut-larut. Indikasinya, kalau kondisi masyarakat dianggap tidak berkembang, tanaman tidak bagus, banyak macam penyakit, orang banyak sakit atau mati maka diyakini pasti ada masalah dengan pemangku adatnya.”

Pejujung Bungah dianggap sebagai orang yang memahami seluk beluk komunitas, dan kepemilikan tanah pusaka secara silsilah.

Pemangku lain adalah Sando yang berfungsi sebagai tabib atau ahli pengobatan. Ada juga Sorong yang mengurusi masalah pertanian. Sorong dijuluki Parewa Lolo Tallu, yang berari memahami tiga hal, yaitu kesehatan manusia, hewan dan tanaman.

Ada juga Bukurara sebagai penanggungjawab ritual. Lalu ada Takea sebagai keamanan komunitas, yang bertugas menangkap pelanggar adat untuk dibawa ke ketua adat untuk diselesaikan perkaranya.

Pemangku lain adalah Tomettaung yang menangani masalah pancaroba, menentukan dan waktu menanam padi.

Lalu ada juga Indobanua, yang menangani perlengkapan ritual dan membagi tugas para pemangku. Tugas Indobanua ini cukup unik. Salah satu tugasnya adalah membagi daging ke pemangku adat untuk dimakan di acara ritual atau pesta.

“Ketika acara ritual pemangku adat mendapat jatah potongan daging tertentu, tidak asal makan begitu saja. Semua menjadi wewenang Indobanua untuk membagikan. Kalau saya makan pada bagian yang disebut gasing-gasing yang berada bagian di atas paha,” kata Nene’ Evi.

Indobanua juga diyakini memiliki keahlian dalam mengelola konsumsi pada acara perkawinan atau hajatan lainnya. Ia mampu memperkirakan kebutuhan daging dan bahan makanan lainnya agar kebutuhan pesta tercukupi.

Pemangku lain adalah Tuan Guru sebagai imam kampung yang mengurusi masalah keagamaan.

Para pemangku adat ini mendapat fasilitas berupa lahan pusaka, sawah, lembong atau kolam ikan, yang akan diberikan kepada penggantinya yang berasal dari garis keturunannya, saat dia meninggal.

 

 

Exit mobile version