Mongabay.co.id

Jalan Trans Papua Hampir Semua Terhubung, Dampak bagi Orang Papua dan Lingkungan?

 

 

 

 

Kini, ada dua pilihan untuk pergi dari Jayapura ke Wamena. Lewat udara atau menempuh jalan darat. Hutan lebat, sungai, dan gunung tinggi yang biasa tampak dari pesawat, kini bisa dilalui dengan mobil atau motor. Jalan trans Papua, telah menghubungkan dua wilayah itu. Jalan ini membelah perkampungan, hutan belantara termasuk kawasan konservasi.

Wamena adalah ibu kota Kabupaten Jayawijaya. Kota di Lembah Baliem ini sejak lama jadi pusat aktivitas ekonomi dan pemerintahan di wilayah pegunungan tengah Papua. Letaknya 1.800 meter di atas permukaan laut. Dengan pesawat, Wamena bisa terjangkau dalam 45 menit dari Bandara Sentani, Kabupaten Jayapura.

Proyek jalan trans Papua membuat wilayah ini akhirnya bisa ditembus dengan jalan darat. Jalan trans Papua, satu proyek infrastruktur utama Pemerintahan Joko Widodo di Papua dan Papua Barat. Ia masuk dalam proyek strategis nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KPUPR) menyebutkan, panjang jalan trans Papua di Papua mencapai 2.902 km. Ini meliputi ruas Jalan Merauke-Tanah Merah-Waropko (543 km), Waropko-Oksibil (136 km), Dekai-Oksibil (225 km), dan Kenyam-Dekai (180 km). Lalu, Wamena-Habema-Kenyam-Mamug (295 km), Jayapura-Elelim-Wamena (585 km), Wamena-Mulia-Ilaga-Enarotali (466 km), Wagete-Timika (196 km), dan Enarotali-Wagete-Nabire (285 km).

Jayapura-Elelim-Wamena adalah ruas jalan trans Papua terpanjang di Papua. Elelim, ibu kota Kabupaten Yalimo. Sebelumnya sudah ada jalan darat dari Wamena ke Elelim. Menembus jalan ini, jalur baru dibuka dari Jayapura melalui Senggi, Kabupaten Keerom.

Pada Juni 2018, untuk pertama kali warga gunakan jalan ini. Yoni Walela, mahasiswa di satu perguruan tinggi di Kota Jayapura pernah lalui jalan ini. Yoni, dari Kampung Wogi di Wamena. Bersama 31 orang lain, melakukan perjalanan dari Jayapura, sebagian dengan tujuan Elelim.

“Saking semangatnya, ada beberapa teman yang sudah rencana naik (ke Wamena). Saya juga tergerak hati untuk ikut,” kata Yoni saat ditemui Senin (28/9/20) di Jayapura.

Motor, peralatan bengkel, bahan bakar, makanan, dan obat-obatan jadi teman perjalanan. Guna meminimalisir kesulitan, satu motor ditumpangi satu orang. Jalan dari Kota Jayapura hingga Distrik Senggi, Keerom relatif mudah dilalui karena sudah beraspal. Begitu juga sampai di Distrik Benaho, Kabupaten Yalimo hingga Kota Wamena. Sisanya baru dibuka.

“Karena baru buka dan belum ada kendaraan lewat jadi masih aman dan bagus. Beberapa jembatan belum jadi, hingga kita harus pikul (angkat) motor, lalu jalan lagi.”

Dua sungai yang waktu itu belum tersambung atau belum ada jembatan adalah Kali Yahuli dan Kali Kil. Beberapa kendaraan rusak dan harus berhenti untuk diperbaiki. Dari Jayapura perlu tiga hari sampai di Kota Wamena.

“Dari Benawa masuk ke Elelim itu yang agak susah. Di situ yang rawan kecelakaan. Ada satu gunung paling tinggi dari antara semua gunung di situ. Mereka bikin jalan dengan kasi botak di atasnya. Jalan di atas, tidak di samping.”

“Kita harus naik sampai di puncak itu lalu sampai di atas kita harus turun lagi. Turunnya berkelok-kelok sampai tiba di bawah lalu ke sebelah naik lagi.”

Sepanjang ruas jalan yang baru dibuka sepi dan tidak ada pemukiman warga.

Yoni kembali melakukan perjalanan pada Agustus 2019. Jembatan-jembatan sudah terbangun. Waktu tempuh ke Wamena jadi dua hari dan sudah bisa dilalui mobil. Sebagian besar mobil mengangkut barang termasuk bahan bangunan seperti semen.

 

Warga berhenti untuk memperbaiki kendaraan yang rusak. Foto: Gerson Wetapo

 

Mengejar konektivitas

Dalam rencana pembangunan nasional, Papua dan Maluku menjadi satu simpul koridor ekonomi. Sebagai satu koridor ekonomi, akan ada proyek investasi berbasis sumber daya alam, pengembangan kawasan khusus, sampai dengan penciptaan pusat-pusat perekonomian baru.

Pembangunan infrastruktur jalan, salah satu cara menghubungkan wilayah-wilayah ini. Adapun lima kegiatan ekonomi utama di koridor Papua-Maluku adalah pertanian pangan, tembaga, nikel, migas, dan perikanan.

Jalan trans Papua jadi proyek nasional karena menghubungkan Papua dan Papua Barat. Proyek yang direncanakan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dikerjakan KPUPR melalui Balai Jalan Nasional.

“Jalan trans Jayapura Wamena itu nanti dari Wamena lanjut lagi ke Lani Jaya, ada yang langsung ke Tolikara, Puncak, Puncak Jaya, Paniai, Nabire, sampai ke Papua Barat,” kata Yan Ukago, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Yalimo, akhir September lalu.

Proyek ini, katanya, ditangani pemerintah pusat dan dikerjakan Balai Jalan Nasional. “Kebetulan melewati Kabupaten Yalimo,” katanya.

Yan menyebutkan, konektivitas antar wilayah jadi target proyek jalan trans Papua. Target saat ini, katanya, jalan sudah bisa dilalui meski belum semua bagus. Peningkatan jalan, sampai semua beraspal memerlukan waktu lama dan dana besar.

Pembangunan jalan melaui tiga tahap. Pertama, tahap pembangunan atau pembongkaran hutan sampai terbentuk badan jalan. Kedua, peningkatan badan jalan, jalan labil dipadatkan dengan material. Ketiga, peningkatan dengan pengaspalan.

“Dari sifatnya tidak bisa kerja sekaligus. Harus bertahap. Itu tergantung anggaran. Satu kilometer itu bisa mencapai Rp12 milliar. Kalau pembangunan bisa Rp3-Rp4 milliar. Peningkatan bisa sampai Rp5-Rp6 milliar. Terus aspal juga sama. Jadi, kira-kira bisa mencapai Rp12 miliar persatu kilometer.”

Dalam pengerjaan proyek jalan trans Papua, pemerintah kabupaten bertanggungjawab mengurus soal lahan terutama pelepasan lahan yang melewati kebun atau pemukiman warga.

“Tidak semua tempat ada pelepasan. Kalau melewati lahan kebun, lahan pinang atau dulu pernah berkebun itu memang mereka menuntut pelepasan. Itu biasa nego. Intinya walaupun ada pro kontra, ada pemalangan tetapi pembangunan bisa berjalan karena sesungguhnya masyarakat sadar, jalan ini penting untuk masyarakat demi kemajuan daerah.”

 

Taman Nasional Lorentz, yang juga dilalui jalan Trans Papua. Foto: Ufhii22/Wikipedia

 

Lewati kawasan konservasi

Di Kabupaten Yalimo, panjang ruas jalan trans Papua mencapai 380 km. Yan mengatakan, sekitar 100 km melewati Suaka Marga Satwa Membrambo Foja.

“Dari Benawa, Jembatan Yahuli sampai Elelim itu masuk kawasan lindung. Tetapi status kawasan bisa diubah dengan izin Menteri Kehutanan (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Jadi, jalan sudah terbangun, artinya proses sudah dilalui.”

Meskipun demikian, katanya, walau status hukum kawasan sudah berubah, tak akan menghentikan dampak lingkungan yang akan timbul.

Yan menyakini akan ada pemukiman baru di ruas Jalan Trans Papua yang saat ini masih sepi.

“Ketika jalan dibuka agak jauh ke sana di hutan sana, mereka (masyarakat) juga akan pindah ke sana karena itu juga wilayah mereka. Mereka akan bermukim di sepanjang jalan.”

Dengan begitu, katanya, otomatis, daerah yang awalnya hutan belantara karena ada jalan, akan jadi pemukiman, berkebun maupun peruntukan lain. “Dari segi ekologi atau lingkungan itu berpengaruh.”

Belum diketahui keseluruhan kawasan konservasi yang dilalui jalan trans Papua. Hasil penelitian The Asia Foundation (TAF) bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan, salah satu kawasan konservasi yang dilalui jalan trans Papua di pegunungan adalah Taman Nasional Lorentz. Taman nasional ini memiliki keragaman hayati sangat tinggi. Bahkan, disebut sebagai kawasan dengan ekosistem terlengkap di Kawasan Asia Pasifik.

Pada 1999, Unesco menetapkan kawasan itu sebagai situs warisan dunia. Taman Nasional Lorentz merupakan kawasan konservasi terluas di Asia Tenggara, dengan luas sekitar 2,35 juta hektar. Jalan trans Papua Habema-Nduga-Kenyam, melewati kawasan ini.

Kalau merujuk Undang-undang Nomor 5.1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, tak boleh ada jalan. Pembangunan jalan ini juga lewat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK.782/Menhut-II/2012.

Permen ini mengatur tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 891/KPTS-II/1999 tentang penunjukan kawasan hutan di wilayah Irian Jaya seluas 42. 224.840 hektar. Pertumbuhan ekonomi jadi alasan perubahan fungsi kawasan ini.

“Kalau kita bayangkan di masa akan datang kalau jalur ini sudah sangat bagus, kemudian konektivitas meningkat dan trip banyak di situ, bisa jadi punya potensi mengganggu keragaman hayati di Taman Nasional Lorentz,” kata Yulia Indri Sari, koordinator tim peneliti saat diwawancarai Selasa (29/9/20).

Dari catatan Unesco, di kawasan itu ada tanaman sangat penting dan langka, hutan notofhagus dengan status terancam (endangered).

Tim mengutip laporan Unesco 2014 dan 2015 serta laporan KLHK. Disebutkan, pembangunan jalan di jalur ini menyalahi prosedur. Tidak ada dokumen resmi analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan berita acara penebangan pohon untuk pembukaan jalan.

 

Pemetaan infrastruktur pendukung pengembangan wilayah Papua. Sumber: FWI

 

Jalan untuk komunitas bukan komoditas

Pemerintah berambisi menghubungkan Merauke hingga Sorong lewat pembangunan jalan trans Papua. TAF dan LIPI justru menyarankan, pemerintah lebih banyak membangun jalan-jalan antar kampung dan pusat-pusat layanan kesehatan, pendidikan, ekonomi di distrik dan kabupaten di Papua.

Jalan-jalan ini yang lebih diperlukan terutama Orang Asli Papua (OAP), yang sebagian besar skala ekonomi penghidupannya belum membutuhkan pasar di luar kabupaten di mana mereka tinggal.

Pembangunan infrastruktur jalan di Tanah Papua, katanya, disarankan tak mengikuti pendekatan pembangunan infrastruktur konektivitas di seluruh Indonesia, dengan jalan dan jembatan lebih fokus untuk peningkatan ekonomi dan pergerakan komoditas. Pembangunan jalan di Papua, harus memperhatikan konteks non-ekonomi seperti relasi sosial dan lingkungan hidup.

“Pesan utama kami itu tadi, jalan itu penting, tetapi yang berorientasi untuk komunitas Orang Asli Papua, bukan semata-mata pertumbuhan ekonomi,” kata Yulia.

Penelitian TAF dan LIPI pada Januari sampai Juni 2018. Mereka ingin melihat dampak pembangunan jalan trans Papua terhadap penghidupan OAP dan lingkungan hidup. Penelitian ini secara khusus melihat pembangunan jalan trans Papua pada era Jokowi. Jalur yang diamati antara lain jalur Jayapura-Waris-Senggi, Wamena-Elelim, Wamena- Habema, Sorong-Mega-Sausapor, Sorong-Batu Payung, Manokwari-Kebar, Manokwari-Ransiki- Bintuni, dan Manokwari-Pegunungan Arfak-Ransiki.

Tim peneliti mengunjungi jalur-jalur itu, mengamati, mewawancarai warga, pengguna jalan, penyedia layanan dasar, dan pemerintah.

Dalam penelitian ini menunjukkan, pembanguan jalan trans Papua era Jokowi memang cepat mendorong perbaikan jalan. Ada kegiatan pelebaran, pengaspalan, pengerasan hingga pembukaan jalan baru.

Pembangunan jalan berdampak positif pada peningkatan layanan dasar kesehatan dan pendidikan orang asli Papua. Warga lebih mudah mengakses sekolah-sekolah di wilayah perkotaan. Petugas kesehatan juga jadi lebih sering berada di tempat karena angkutan ke tempat tugas lebih lancar dan mudah terjangkau dari wilayah tempat tinggal mereka.

Namun, sebut penelitian itu, pembangunan jalan trans Papua ini tidak berdampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi orang asli Papua.

 

Jembatan Kali Wara Kabupaten Yalimo. Foto: Gerson Wetapo

 

Barang-barang dari luar menjadi lebih mudah masuk. Sebaliknya, tidak ada komoditas hasil usaha masyarakat ke luar. Kondisi ini karena hasil pertanian masyarakat biasa skala kecil dan dijual di pasar-pasar di pusat kabupaten atau distrik.

“Yang terjadi konektivitas yang meningkat karena perbaikan jalan pada masa Jokowi itu lebih bisa dimanfaatkan oleh pendatang karena keahlian dan networking mereka lebih cocok dengan perdagangan,” katanya.

Peneliti juga menyoroti dampak terhadap relasi sosial. Satu sisi, pembangunan jalan trans Papua meningkatkan intensitas perjumpaan antar warga, sisi lain berpotensi meningkatkan ketegangan.

Ketegangan terutama terjadi antara orang asli Papua dengan warga pendatang. Ada kekhawatiran pembukaan jalan trans Papua akan memudahkan orang-orang masuk dan menguasai sumber-sumber penghidupan.

Pasca jalan terbuka, kerusakan lingkungan mulai terjadi. Selain melewati kawasan konservasi, masalah sampah dan peningkatan aktivitas penebangan hutan cukup signifikan di beberapa tempat. Masyarakat dipakai oleh para cukong untuk menebang dan menjual kayu-kayu. Pemekaran kampung-kampung baru dan program dana desa juga ikut berpengaruh pada peningkatan permintaan kayu untuk pembangunan rumah.

Hasil penelitian beserta rekomendasi, katanya, sudah disampaikan ke pemerintah seperti Bappenas, Kantor Sekretariat Presiden, KPUPR, Pemerintah Papua dan Papua Barat awal 2019.

Hadi Sucahyono, Kepala Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW) mengatakan, komitmen KPUPR terhadap Papua sangat tinggi. Terbukti kucuran anggaran naik dari 2016 sampai 2019. Pada 2019, anggaran sampai Rp 6 triliun Papua dan Papua Barat lebih Rp3 triliun.

“Angka tinggi ini menunjukkan komitmen kita untuk membangun Papua. Namun kita harus introspeksi diri, seberapa jauh manfatnya untuk masyarakat. KPUPR konsern juga tentang hal itu,” katanya, dalam rapat koordinasi awal Agustus lalu dikutip dari laman KPUPR.

Beberapa proyek infrastruktur sudah berjalan, seperti pembangunan Jalan Trans Papua yang menyambungkan barat ke timur dan utara ke selatan. Hingga kini, katanya, tinggal sedikit belum tersambung, sekitar 200-300 kilometer dari total 3.000-an kilometer.

Proyek lain, katanya, pembangunan Jembatan Holtekamp dan Pos Lintas Batas Negara atau PLBN, salah satu di Skouw di Jayapura Papua.

 

Truk tergelincir di Jalan Trans Jayapura Wamena. Foto: Gerson Wetapo

 

 

Exit mobile version