Mongabay.co.id

Belajar dari Warga Glintung Bangun Kebun Pangan di Tengah Kota Malang

 

 

 

 

Aneka sayur mayur ada. Dari terong, cabai, tomat, selada, brokoli dan sawi berderet di sepanjang jalan di RW 5 Kelurahan Purwantoro, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, Jawa Timur. Jalan masuk di gang permukiman padat penduduk ini tampak asri. Sepanjang mata memandang terhampar sayur mayur dan tanaman pertanian. Kampung ini dikenal dengan sebutan Glintung.

Tanaman disemai di dalam polybag, dan pot bekas drum plastik dan kaleng cat. Sebagian pakai instalasi hidroponik. Sekitar empat instalasi hidroponik dibangun di tepi gang permukiman warga itu.

Suyati, menarik pipa air menyirami tanaman sayuran. Air dari sumur yang dibangun fasilitas gedung pertemuan RW 5, Purwantoro.

Aktivitas ini dilakoni perempuan 77 tahun ini saban pagi, sejak pukul 07.00. Selain menyirami tanaman, dia tak lupa menyiangi rumput di sela tanaman sayuran. Suyati, warga setempat yang turut mengembangkan pertanian perkotaan atau urban farming.

“Jam 10 selesai merawat tanaman, pulang dan istirahat di rumah,” katanya.

Sejak pagi, puluhan warga meriung di gedung pertemuan RW 5. Mereka mulai dengan beragam kesibukan pertanian perkotaan, dari merawat tanaman, memberi pakan ikan, dan entok. Bahkan, sebagian memilah sampah kering meliputi kertas, plastik dan logam.

Satu gudang penyimpanan mereka letakkan depan gedung. Mereka mengelola bank sampah.

Sampah organik diolah jadi kompos. Satu bangunan komposter di depan gedung pertemuan. Kompos untuk pupuk sayuran. Tak tersisa, semua sampah bermanfaat. Bahkan, sebagian mereka bikin beragam kriya yang memiliki nilai ekonomi.

Ageng Wijaya Kusuma, Ketua RW 5 Purwantoro, mengatakan, para petani tergabung dalam kelompok. Terdiri dari petani sayuran, budidaya ikan, budidaya peternakan entok dan lingkungan untuk mengelola bank sampah dan kompos.

 

Warga Glintung menyirami tanaman di depan rumah mereka. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Mulai 2016, warga Kampung Glintung bersama kelompok kerja (Pokja) Tim Penggerak PKK Kota Malang bidang ketahanan pangan mengawali pertanian perkotaan. Awalnya, mereka menebar 500 benih nila di saluran drainase dan lele di drum terpal depan Balai Pertemuan RW. Mereka juga tanam 250 polybag cabai, dan 250 tomat.

Tak mudah mengembangkan urban farming, maklum sebagian besar warga bekerja sebagai wirausaha, pekerja pabrik dan tukang kayu. Mereka tak memiliki pengetahuan dan ilmu pertanian. Awalnya, tanaman sayuran layu tak berkembang, tubuh lele penuh jamur. Lantas Dinas Pertanian mendampingi warga budidaya perikanan dan pertanian.

“Ternyata, media tanam diganti setelah panen, diberi pupuk kompos,” katanya.

Sejak itu, mereka tekun mengembangkan urban farming di perkampungan padat Malang ini.

 

Bank sampah

Mulai 2018, mereka menerapkan konsep kampung ketahanan pangan dengan model urban farming. Dibentuk kelompok khusus budidaya perikanan, pertanian, peternakan dan lingkungan. Masing-masing beranggotakan 10 orang. Mereka bertanggungjawab terhadap budaya pertanian, perikanan, peternakan dan mengelola sampah rumah tangga yang dihasilkan warga.

Setiap bulan, bank sampah menghasilkan antara Rp500.000- Rp1 juta. Uang terkumpul dari hasil penjualan sampah kering untuk biaya posyandu balita dan manula. Sebagian untuk bahan pokok yang dibagikan kepada seluruh warga.

Sebagian untuk membangun fasilitas kampung. Kompos khusus memupuk seluruh tanaman. Mereka juga mengolah sisa sayuran, limbah makanan jadi pakan ikan.

Sedangkan kelompok pertanian membudidayakan aneka sayur seperti sawi, selada, aneka sayuran seperti brokoli, tomat, selada, sawi, cabai dan terong. Semua sayuran untuk konsumsi warga.

Budidaya pertanian di perkotaan, katanya, cocok untuk ketahanan pangan terutama saat pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).

“Siapapun bisa mengambil saat panen tiba. Sisanya, dijual ke pedagang sayur keliling,” katanya.

Sedangkan budidaya ikan mas, nila, lele, gurami, dan wader mulai membuahkan hasil. Tamu beli ikan oleh-oleh. Setiap panen lele menghasilkan sekitar satu kwintal. Untuk nila masa panen antara 4-5 bulan. Mereka turut mengolah lele jadi bakso, terutama ukuran jumbo, setiap ekor berbobot tiga kilogram. Bahkan, mereka juga olah jadi kudapan sempol dan steak.

“Bisa memenuhi 25% konsumsi pangan warga,” katanya.

Ada sekitar 10% atau 60 orang dari 600 jiwa warga kampung yang terlibat pertanian perkotaan di Purwantoro. Sebagian besar manula yang tak bekerja dan menampung para pemuda setempat.

 

Pemukiman Glintung pun jadi asri. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Kelompok sadar wisata

Sejak dua tahun lalu mereka membentuk kelompok sadar wisata (pokdarwis) dengan membangun konsep wisata urban farming. Mereka menyebut dengan Pokdarwis Glintung Water Street (GWS) Para pengunjung diajak berkeliling kampung, belajar bertani, budidaya ikan air tawar, beternak dan mengolah sampah.

Setiap pengunjung ditawarkan paket makan siang, dengan menu makanan rumahan. Berupa lauk nila, wader, lele dengan aneka sayur lalapan Rp30.000, juga bakso per porsi Rp25.000.

Sebelum pandemi, banyak tamu berkunjung. Mereka belajar pengelolaan kawasan perkampungan perkotaan dengan konsep urban farming. Kunjungan berasal dari Gresik, Lamongan, Pasuruan, Ponorogo, Tasikmalaya, sampai Palembang dan Kalimantan Timur.

Sebulan rata-rata ada kunjungan lima sampai 10 kelompok. Selain itu, biasa juga mahasiswa sengaja belajar dan tinggal bersama masyarakat. Sejak pagi mahasiswa bersama warga turut mengolah sampah, bertani, budidaya ikan dan ternak.

Mereka sediakan home stay untuk menginap delapan orang. Sehari membayar Rp150.000 dengan fasilitas sekali makan dan minum.

Pokdarwis GWS beranggota ibu-ibu PKK, dan pemuda Karangtaruna. Kini, kampung yang langganan banjir menjadi perkampungan penduduk aman dari banjir, dan nyaman ditinggali.

 

Warga juga budidaya ikan. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indoenesia

 

Budidaya ikan di selokan

Kicauan tiga burung perkutut menyapa setiap tamu yang melintas di depan rumah Joko Suprayitno 62 tahun. Warga RW 5 Kelurahan Purwantoro, Kecamatan Blimbing, Kota Malang ini memelihara perkutut untuk hiburan. Sangkar perkutut dia kaitkan di tiang rumah dua lantai di perkampungan padat di pusat Kota Malang.

Sejak pandemi, tak ada pekerjaan tetap. Sebagai tukang batu, Joko tak bekerja hingga lebih banyak menghabiskan waktu di rumah.

Selain merawat burung, dia juga memelihara nila di kolam samping rumah. Saban pagi, Joko rutin memberi pakan empat idukan nila dan 70-an anakan.

Kolam dibangun sejak dua bulan lalu. Awalnya, bibit nila dari sungai lahar belakang rumah dia perlihara di akuarium. Tubuh ikan tak tumbuh dan berkembang, hingga dia buat kolam panjang dan lebar empat meter dengan kedalaman satu meter.

“Siapa saja warga yang membutuhkan silakan ambil. Sama-sama bisa menikmati ikan yang dipelihara,” katanya terkekeh.

Joko merupakan anggota Kelompok Tani Sumber Mili, khusus budidaya ikan. Beragam ikan dibudidayakan antara lain nila (Oreochromis niloticus), mas (Carassius auratus), lele (Clarias), wader (Barbodes binotatus) dan gurami (Osphronemus goramy).

Selain di dalam kolam, ikan juga dipelihara di drainase depan rumah warga. Drainase khusus limpahan air dari empat sumber mata air yang digunakan mandi dan mencuci juga menampung air hujan. Sedangkan air limbah rumah tangga disalurkan melalui jaringan pipa pembuangan ke Sungai Lahar.

Warga Kelompok Tani Sumber Mili juga membudidayakan beragam ikan hias seperti koi (Cyprinus rubrofuscus), arwana (Scleropages formosus) dan cupang (Betta). Khusus arwana dan cupang dipelihara di akuarium yang berjajar di gang perkampungan. Sedangkan koi dipelihara di aliran drainase di jalan utama perkampungan warga.

 

Sayur mayur di depan rumarh warga Glintung. Foto: EKo Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Dulu kawasan banjir parah

Joko tinggal di RW 5 Kelurahan Purwantoro sejak 1965. Saban musim hujan setiap tahun, banjir melanda permukiman. Rata-rata air menggenangi rumah antara satu meter sampai 1,5 meter. Lantaran sungai tak menampung aliran air hujan dan meluber ke permukiman. Sedangkan posisi permukiman lebih rendah dibandingkan jalan raya.

“Bukan banjir, tenggelam,” kata Joko.

Kalau banjir, berbagai perabot rumah tangga berbahan kayu membusuk, rusak dan hancur. Bahkan, kasur juga tak bisa dipakai hingga terpaksa dibuang.

Sejak empat tahun terakhir warga membangun embung dan drainase untuk menampung air hujan.

Genangan air menimbulkan jentik nyamuk, hingga warga berinisiatif membudidayakan lele dan nila. Kemudian, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Malang turut membantu membangun saluran drainase sepanjang 12 meter, lebar satu meter dan kedalaman satu meter. Selain itu, juga dipasang pompa untuk menyedot dan mengalirkan air yang tak tertampung ke sungai.

Kini, kalau banjir genangan antara 40-50 centimeter. Kalau dulu air menggenang sampai setengah hari, sekarang dua jam sudah surut. Banjir juga menyebabkan aspal mengelupas.

Rencananya, setiap depan rumah pasang instalasi hidroponik yang dibantu dari Universitas Merdeka Malang. Mereka juga akan bangun sel surya dan kincir air menggerakkan generator penghasil listrik untuk pompa air. Pompa ini akan mengalirkan air dari sumur ke jaringan instaalsi hidroponik. Mereka ingin jadikan Kampung Glintung Water Street indah dan nyaman.

 

Ketua RW 5 Purwantoro, Ageng Wijaya Kusuma menyiangi rumput di sela tanaman sayuran. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version